Suara tawa Luna memenuhi ruang keluarga sore itu. Suara jernih yang riang, melodius, dan seakan mampu mengusir segala debu dari sudut rumah yang terlalu lama hening. Rumah Ludwig memang besar, tapi sejak kepergian Evelyn, kehangatannya perlahan menguap. Ada Axel, tentu saja, tapi anak muda itu sering kali tenggelam dalam dunianya sendiri. Hayes terbiasa dengan kesunyian. Bahkan mungkin ia sudah berdamai dengannya.
Namun hari ini berbeda.
Hayes duduk di kursi pojok, sebuah laporan kerja terbuka di tangannya. Ia berusaha tampak sibuk membaca grafik pertumbuhan perusahaan cabang luar negeri, tapi matanya tidak benar-benar menelusuri kata-kata. Fokusnya tertarik ke arah lain—ke gadis muda yang duduk di karpet, bersila di samping Axel. Rambut panjang Luna jatuh menutupi sebagian wajah, tapi sinarnya tetap terlihat jelas.
Axel baru saja melontarkan lelucon receh, sesuatu yang tak lucu sama sekali bagi Hayes, tapi entah bagaimana mampu membuat Luna terpingkal-pingkal. Bahunya berguncang, tangan kecilnya menutup mulut, dan tawanya pecah semakin keras. Kilau lampu ruang keluarga menari di matanya, membuatnya terlihat jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya.
Hayes terdiam. Ada sesuatu yang mengusik dadanya. Seakan suara tawa itu bukan milik Luna, melainkan gema dari masa lalu—masa ketika ia sendiri masih muda, masih bisa tertawa selepas itu, sebelum hidup mengeras, sebelum ambisi dan tanggung jawab membuatnya kaku.
Dan seketika, ia terlempar jauh ke belakang.
Kenangan itu hadir begitu jelas.
Hayes remaja, duduk di bangku SMA dengan seragam putih abu-abu kusut karena terburu-buru. Di sampingnya seorang gadis dengan rambut dikuncir dua, wajahnya penuh kehidupan. Evelyn.
Ia masih bisa merasakan degup jantungnya saat itu. Evelyn tertawa karena ceritanya—tentang bagaimana pagi tadi ia jatuh dari sepeda saat menghindari seekor kucing yang menyeberang. Tawa Evelyn lepas, jernih, seakan mampu menyembuhkan luka lecet di sikutnya. Hayes ingat wajahnya panas, bukan karena malu, tapi karena terpesona.
Tawa Evelyn adalah musik pertama yang ia cintai.
Dan gadis itu, dengan segala kelembutannya, adalah cinta pertamanya.
Hayes mengerjap, kembali ke kenyataan. Ia menunduk, berusaha menetralkan napas yang tiba-tiba berat. Bertahun-tahun ia tidak mengingat Evelyn dengan begitu detail. Setelah menikah, setelah Evelyn sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, setelah ia menenggelamkan diri ke dalam kerja dan membesarkan Axel seorang diri—ia pikir bagian hatinya yang dulu begitu hidup bersama Evelyn sudah mati.
Namun sore ini, hanya karena seorang gadis bernama Luna, memori itu bangkit.
Hayes menutup laporan di tangannya. Matanya terpaksa menatap Luna lebih lama. Caranya tertawa, caranya menoleh ke Axel dengan mata berbinar, bahkan caranya menyeka sudut mata karena terlalu banyak tertawa—semuanya menghidupkan kembali rasa yang seharusnya sudah lama terkubur.
“Pa, kenapa ngeliatin gitu?” suara Axel menyentak lamunannya. Axel menoleh sambil menyeringai. “Ada yang salah sama kita?”
Hayes buru-buru meraih gelas kopi di meja kecil. “Tidak,” jawabnya singkat, suara sedikit parau. “Kalian berisik sekali.”
Luna menoleh, senyumnya masih merekah. “Maaf, Tuan Ludwig. Tadi Axel cerita hal konyol banget. Aku sampai nggak tahan ketawa.”
Hayes hanya mengangguk, tidak berani menatap langsung. Ada ketakutan menjalar—takut kalau matanya akan terlalu jujur.
***
Malamnya, setelah Axel mengantar Luna pulang, Hayes duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja kecil menyala, cahayanya kuning temaram. Ruangan itu penuh dengan rak buku dan map tebal, tapi di balik salah satu laci, tersimpan sesuatu yang sudah lama tidak disentuhnya.
Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya ia menarik keluar sebuah kotak kayu kecil berdebu. Kotak yang sejak Evelyn pergi, jarang sekali dibuka.
Di dalamnya ada beberapa foto lama. Sebagian sudah menguning, sudutnya melengkung. Hayes mengambil satu. Foto dirinya remaja bersama Evelyn di festival sekolah. Evelyn mengenakan seragam dengan pita merah, rambutnya tergerai, senyumnya lebar, tawa seperti hampir terdengar kembali hanya dari gambar itu.
Hayes menutup mata, jantungnya berdetak kencang. Suara tawa Luna tadi siang—persis sama dengan Evelyn.
Gelombang rasa bersalah menyergap. Evelyn sudah lama hilang, tapi apakah adil kalau ia membiarkan bayangan Evelyn melekat pada Luna? Apakah ia benar-benar melihat Luna sebagai Luna, atau hanya menjadikannya pantulan dari cinta yang sudah mati?
Ia meletakkan foto kembali, menutup kotak, dan mengembuskan napas berat. “Bodoh,” gumamnya. “Dia hanya anaknya orang lain. Teman Axel. Jangan macam-macam, Hayes.”
Namun, bahkan setelah ia berusaha menenangkan diri, senyum Luna tetap menari-nari di kepalanya.
***
Keesokan harinya, rumah kembali ramai. Axel sengaja mengajak Luna datang lagi, kali ini untuk mengerjakan revisi data. Hayes pura-pura sibuk, duduk di ruang kerja dengan laptop terbuka. Tapi suara dari ruang belajar terus merambat ke telinganya—suara Luna yang bertanya, tertawa kecil, menghela napas karena Axel menjatuhkan pensil untuk kesekian kali.
Entah bagaimana, Hayes mendapati dirinya berdiri terlalu lama di ambang pintu dapur dengan secangkir kopi di tangan. Matanya tersedot pada Luna yang menunduk, menulis sesuatu dengan wajah serius. Cahaya sore yang masuk lewat jendela membuat rambutnya berkilau cokelat keemasan. Ada sesuatu yang lembut tapi hidup di wajah itu—sesuatu yang jarang ia temui sejak Evelyn pergi.
Hayes sadar, ia sedang hidup dalam bahaya.
Bahaya karena terlalu lama memperhatikan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.
Malam itu, Hayes tidak bisa tidur. Ia berbaring di ranjang besar yang kosong, menatap langit-langit dengan pikiran yang berisik.
Yang muncul bukan hanya Evelyn. Tapi juga Luna. Dua wajah berganti-ganti. Dua senyum yang bertumpuk. Dua tawa yang bercampur.
Ia membalikkan badan, memejamkan mata lebih erat, tapi justru semakin jelas.
“Jangan, Hayes,” bisiknya pada diri sendiri. “Jangan ulangi kesalahan lama. Jangan jatuh pada sesuatu yang tidak seharusnya.”
Namun tubuhnya menolak. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena beban, bukan karena stres kerja, melainkan karena sesuatu yang ia pikir sudah lama hilang—rasa hidup, rasa bergetar, rasa muda.
Dan itu jauh lebih menakutkan daripada kehampaan yang selama ini ia kenal.
Hayes menatap jendela kamarnya. Malam di luar begitu tenang, tapi di dalam dirinya badai bergemuruh.
Ia sadar, kehadiran Luna membangkitkan Evelyn dalam dirinya.
Ia juga sadar, yang ia rasakan pada Luna perlahan melampaui sekadar nostalgia.
Dan itulah yang membuatnya takut.
Karena cahaya seperti itu bisa menghidupkan—tapi juga bisa menghancurkan.