Suara detik jam di ruang kerja terasa lebih lambat dari biasanya. Hayes duduk di balik meja kayu besar yang dipenuhi berkas, namun matanya tak benar-benar membaca isi laporan. Pena di tangannya hanya berputar-putar tanpa arah, sementara pikirannya melayang pada satu wajah yang terus membayangi.
Luna.
Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa sesak. Bukan karena benci, melainkan sebaliknya. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang berhasil mengacaukan ritme hidupnya yang selama ini tertata rapi.
Ia mengetuk ujung pena ke permukaan meja, mencoba mengalihkan pikiran. Biasanya, ketertiban adalah wilayah kekuasaannya—semua orang di perusahaan tahu Hayes bukan orang yang suka membuang waktu dengan hal-hal tak perlu. Ia tegas, teratur, dan selalu menjaga jarak dari karyawan, apalagi perempuan.
Namun, sejak kehadiran Luna, prinsip itu terasa rapuh.
Bukan hanya sekali ia memergoki dirinya menatap gadis itu lebih lama dari seharusnya.
Ia menarik napas dalam. Apa sebenarnya yang terjadi padaku? gumamnya dalam hati.
Pikiran Hayes terlempar pada momen beberapa hari lalu, saat ia tanpa sengaja menyentuh jemari Luna ketika memberikan segelas air. Sentuhan singkat itu meninggalkan jejak aneh di kulitnya. Seolah-olah, tubuhnya mengingat hangatnya tangan Luna lebih baik daripada otaknya ingin mengakuinya.
Itu hanya kecelakaan, ia mencoba menepis. Aku tidak berniat apa pun.
Tapi bayangan wajah Luna yang terdiam kala itu, mata gadis itu yang membesar karena terkejut, justru membuatnya sulit tidur malamnya. Ada bagian dari dirinya yang terhibur dengan kepolosan Luna, sekaligus terpicu untuk menguji batasannya lagi.
Beberapa hari terakhir, Hayes semakin sering “kebetulan” bertemu Luna di rumahnya. Tentu, ia tahu alasan sebenarnya: Axel meminta Luna datang hampir setiap sore untuk mengerjakan skripsi. Rumah keluarga Ludwig kini lebih sering diwarnai tawa dan obrolan mereka berdua.
Namun, di sela itu semua, Hayes selalu saja menemukan dirinya berada di dekat Luna. Kadang ketika ia turun dari lantai dua, langkahnya bersinggungan dengan Luna yang baru saja lewat membawa setumpuk buku. Kadang saat ia membuka kulkas di dapur, Luna sudah berdiri di sana, menuang segelas air. Dan setiap kali mata mereka bertemu, Hayes merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Luna berusaha menjaga sikap. Gadis itu jelas menahan diri, sopan, tidak pernah mencoba mendekat. Tapi justru itu yang membuatnya semakin menggoda. Kepolosannya, cara ia buru-buru menunduk setiap kali kepergok menatap Hayes terlalu lama—semua itu menjadi semacam bensin bagi api yang berusaha Hayes padamkan.
Dia sahabat anakmu, suara logika Hayes berulang kali mengingatkan. Jangan hancurkan batas itu.
Namun bagian lain dari dirinya—bagian yang lebih liar dan manusiawi—justru bertanya: Tapi kenapa tidak?
***
Hari itu, Axel mengajak Luna mengerjakan skripsi di ruang belajar. Hayes berusaha menahan diri untuk tidak mencampuri, tapi pikirannya tetap saja melayang ke arah gadis itu. Beberapa kali ia melintas lorong, sekadar memastikan keadaan, atau mungkin—ia tak ingin mengakuinya—untuk sekadar melihat Luna duduk di sana.
Menjelang pukul lima sore, ketukan pelan terdengar dari pintu ruang kerja.
“Permisi,” suara Luna.
Hayes menoleh. Ruangan yang sepi itu mendadak terasa lebih hidup hanya karena sosok gadis itu berdiri di ambang pintu. Luna mengenakan blus putih sederhana, rambutnya diikat setengah, wajahnya polos tanpa hiasan berlebihan.
“Axel sedang mandi. Dia minta aku menyerahkan buku ini pada Anda,” ujar Luna, melangkah pelan masuk lalu meletakkan sebuah buku tebal di atas meja kerja Hayes.
“Terima kasih,” jawab Hayes singkat. Ia berusaha menjaga nada tetap netral, meski matanya sempat menelusuri wajah Luna lebih lama dari seharusnya.
Luna hendak berbalik pergi, tapi suara berat itu menahannya.
“Luna.”
Gadis itu menoleh, tubuhnya menegang. “Ya, Tuan Ludwig?”
Hayes meraih buku itu sekilas, lalu menutupnya kembali. Suaranya lebih rendah, seperti hanya untuk mereka berdua.
“Pesanku semalam … kenapa tidak kamu balas?”
Pertanyaan itu membuat jantung Luna berdegup kencang. Ia menunduk, jemarinya meremas tali tas. “Maaf, Tuan … aku ketiduran. Seharian kemarin aku kelelahan.”
Hening sejenak. Hayes menatapnya, tajam tapi juga seakan menahan sesuatu. Senyum tipis melintas di bibirnya, samar dan nyaris sinis.
“Ketiduran, ya …,” gumamnya, seolah tidak sepenuhnya percaya.
Luna menggigit bibir, lalu buru-buru berkata, “Aku tidak bermaksud mengabaikan, Tuan.”
Hayes bersandar ke kursinya, matanya tak lepas dari Luna. “Aku mengerti. Tapi lain kali … jangan biarkan aku menunggu terlalu lama.”
Nada itu dingin, tapi juga sarat dengan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Luna merasa panas merambat ke kulitnya, buru-buru menunduk lagi.
“Baik, Tuan,” jawabnya pelan.
Ia lalu pergi, meninggalkan Hayes dengan detak jantung yang tak seharusnya sekencang itu untuk seorang pria yang biasanya setegas baja.
Begitu pintu menutup, Hayes meremas pena di tangannya. “Sial,” gumamnya lirih. Ia benci ketika dirinya kehilangan kendali seperti ini.
***
Jam makan malam tiba. Meja panjang ruang makan dipenuhi hidangan dari dapur—sup hangat, ayam panggang, dan salad segar. Hayes duduk di ujung meja, Axel di sisi kanan, sementara Luna duduk agak jauh di seberang.
Percakapan ringan terjadi antara Axel dan Luna, membahas teori penelitian dan dosen pembimbing yang rewel. Hayes hanya diam, sesekali menanggapi, tapi matanya lebih sering terpaku tanpa sadar pada Luna. Gadis itu tampak sederhana, tertawa kecil ketika Axel bercanda, mengibaskan rambutnya yang terlepas dari ikatan.
Hayes cepat-cepat menunduk, menusuk potongan ayam. Ia tidak seharusnya memperhatikan hal-hal seperti itu.
Setelah makan malam, Axel kembali mengajak Luna ke ruang belajar sebentar untuk merapikan berkas. Sekitar pukul delapan, gadis itu akhirnya pamit pulang.
“Terima kasih, Tuan Ludwig. Maaf sudah merepotkan beberapa hari ini,” ucap Luna sopan sambil menunduk sedikit.
Hayes menggeleng singkat. “Tidak masalah.”
Axel menawari untuk mengantarnya pulang, dan kali ini Luna tidak menolak. “Boleh, Xel. Aku agak lelah kalau harus pesan kendaraan lagi,” ucapnya dengan senyum tipis.
“Ya sudah, ayo. Sekalian aku butuh udara segar,” jawab Axel ringan.
Hayes berdiri di lorong, menyaksikan tanpa suara. Tatapannya mengikuti setiap gerakan Luna yang melangkah bersama Axel menuju mobil. Ia tidak bergabung, hanya berdiri tegak dalam bayang-bayang lampu temaram rumah besar itu.
Mobil Axel keluar pelan dari garasi, lampu depan menyoroti jalanan gelap. Dari balik jendela, Hayes masih menatap hingga cahaya itu perlahan menghilang di tikungan.
Namun, bukannya mereda, hening yang tersisa justru terasa semakin menekan d**a.
Hayes berjalan pelan menuju ruang tamu. Jasnya ia lepaskan ke sandaran sofa, lalu menuang bourbon ke dalam gelas kristal. Lampu temaram membuat ruangan terasa lengang, namun pikirannya penuh sesak.
Bayangan Luna menyeruak tanpa ampun. Wajah gadis itu saat menunduk menulis, senyumnya yang singkat, bahkan tatapan matanya yang ragu ketika ia memanggil namanya di ruang kerja tadi.
Berhenti. Kamu harus berhenti, Hayes menegaskan dalam hati. Dia sahabat anakmu. Jika kamu melangkah lebih jauh, kamu akan menghancurkan segalanya.
Namun, tangan yang memegang gelas bourbon bergetar sedikit. Ada sesuatu yang lebih kuat dari logika—hasrat yang sudah terlanjur tumbuh.
Setiap tegukan bourbon justru membuat bayangan Luna semakin jelas. Bukannya hilang, ia malah membayangkan bagaimana jika gadis itu tidak buru-buru berbalik di ruang kerja tadi. Bagaimana jika ia berani mengambil satu langkah maju?
Hayes menutup mata, mendesah panjang.
Ia tidak pernah merasa selemah ini. Tapi kini, Luna sudah menempati ruang yang tidak bisa lagi ia abaikan.
***
Keesokan harinya, Hayes kembali mencoba mengalihkan pikiran dengan bekerja. Tapi bahkan saat rapat bersama jajaran direksi, pikirannya berkelana. Ia tidak bisa fokus mendengarkan laporan.
“Tuan Ludwig,” salah satu direktur berdehem. “Apakah Anda baik-baik saja?”
Hayes mendongak, wajahnya dingin. “Lanjutkan saja.”
Namun ia tahu, matanya kosong, pikirannya tidak berada di ruangan itu.
Sore harinya, ketika kembali ke rumah, ia mendengar suara tawa dari ruang belajar. Axel dan Luna lagi-lagi tenggelam dalam diskusi skripsi. Hayes berhenti di lorong, tidak masuk, hanya berdiri beberapa detik mendengarkan. Suara Luna—renyah, ringan, penuh semangat—terdengar bagai melodi asing yang tak bisa ia abaikan.