Episode 3

1722 Words
Suara sedikit gaduh itu berasal dari dapur apartemen mewah yang di tempati Aldrian dan putranya. Ariani sedang memasak menyiapkan sarapan untuk Tuannya, sebelumnya dia sudah membersihkan ruangan apartemen itu dengan sangat rapi. Ariani sudah terbiasa membereskan rumah dan memasak, ia suka sekali membantu Ibunya di kampung. Bahkan Ariani selalu membantu menjajakan dagangan yang Ibunya buat tanpa rasa malu, walaupun teman-teman di kampung sering menghinanya karena itu. Ah, dia jadi merindukan Ibunya. Sedang apa sekarang? Apakah beliau baik-baik saja? Mengingat itu tidak terasa air mata Ariani menetes di kedua pipi tirusnya. "Bau gosong apa ini?" Ariani terlonjak kaget saat suara Aldrian menggema dari arah belakang, Ariani bergegas mengusap lelehan air mata dengan punggung tangannya. Seketika mata Ariani terlonjak kaget ketika melihat masakannya sudah berubah warna menjadi gelap. Ariani sedikit melirik Aldrian takut-takut, Aldrian sudah sangat rapi dengan setelan jasnya, sangat tampan. "Kau ... baru bekerja saja sudah membuat masalah, bereskan semuanya, aku berangkat," ucap Aldrian dingin dan mengambil kunci mobilnya lalu melangkah membuka pintu untuk keluar. "T-tuan, anda belum sarapan, saya akan membuatnya lagi," cegat Ariani saat Aldrian akan memasuki lift. Aldrian sedikit meliriknya dengan wajah dingin dan tatapan tajam. "Kau tidak liat jam berapa sekarang, aku tidak mau membuat karyawanku mencontoh atasannya karena telat masuk kerja." Memfokuskan lagi ke lift yang akan di naiknya. "T-tapi Tuan belum sarapan sama sekali," cicit Ariani dengan kepala menunduk. Ting Lift sudah terbuka mempersilahkan Aldrian agar segera masuk, namun laki-laki itu tetap bertahan menatap Ariani yang menunduk. "Aku akan sarapan di kantor," ucapnya. Lalu berlalu begitu saja memasuki lift membuat Ariani mematung dibuatnya, setelah tersadar Ariani segera kembali masuk ke dalam apartemen dengan rasa sesal diakibatkan kecerobohannya sendiri. "Uhh, kau bodoh sekali Ariani, padahal ini hari pertama, tapi kau malah mengacaukannya," gerutu Ariani dengan terus menoyor-noyorkan kepalanya sendiri, "Untung tidak dipecat." "Ayah hiks, Ayah di mana?" Terlihat anak kecil yang sedang mengelilingi kamar Aldrian, Ariani tersadar Alvian sudah bangun. Dengan sigap Ariani langsung memangku Alvian dan memeluknya, "Hei, jangan menangis, Ayah kamu sudah berangkat kerja tadi." Tangan Ariani bergerak menghapus lelehan air mata di kedua pipi tembemnya Alvian. Alvian mengernyit bingung, dan memandang wajah cantik Ariani, sesekali masih terdengar isakkan-isakkan kecil tidak separah tadi di bibir mungilnya. "Tante ciapa?" tanyanya. Gadis itu tersenyum dan memperkenalkan diri, "Namaku Ariani, aku pembantu baru di rumah ini." Alvian semakin mengernyitkan dahinya, karena tidak mengerti sama sekali yang dikatakan Ariani. "Pembantu balu?" tanya Alvian dengan aksen anak kecilnya. Sedikit terkekeh Ariani pun menjawab, "Iya, pembantu itu bekerja di rumah, terus membersihkan seluruh rumah dengan rapi dan memasakan makanan yang enak untuk anak yang lucu seperti kamu," jelas Ariani. Tangannya dengan refleks langsung mencubit pipi Alvian gemas. Mata Alvian langsung berbinar saat mendengar kata makanan, apa yang ada di pikiran anak kecil seukuran Alvian, dirinya hanya mengerti tentang makanan enak, ice cream dan segelas susu hangat yang selalu Ayahnya berikan setiap malam. "Apakah Tante akan membeliku ice cleam?" tanyanya. Kekehan Ariani menggema di ruangan itu sesekali tangan rampingnya mencubit gemas pipi gembul Alvian. "Tante akan memberikan makanan enak tapi tidak dengan ice cream." Alvian mengerucutkan bibirnya lucu. "Tante sepelti Ayah, masa cuman makan ice cleam tidak boleh." "Bukannya tidak boleh, hanya saja lebih baik memakan-makanan yang sehat. Seperti sayuran atau buah-buahan." "Tapi Vian tidak suka sayul Tante." Sedikit senyum Ariani pun mengelus surai Alvian dengan sayang, kalau orang lain melihat mereka pasti mengira mereka adalah sepasang ibu dan anak yang saling menyayangi, kenyataannya mereka adalah pembantu dan majikan. Sangat berbeda derajat bukan? "Sayuran itu sangat penting bagi pertumbuhan kamu, kalau setiap hari makan sayuran atau buah-buhan, risiko terserang penyakit itu sangat kecil. Vian tidak mau kan membuat Ayah khawatir karena Vian jatuh sakit?" Alvian menggeleng imut sebagai jawaban. "Nah kalau tidak mau, Alvian harus mau memakan sayuran, biar Ayah kamu nanti makin sayang sama Vian." "Apa kalau Vian makan sayulan Ayah akan lebih sayang sama Vian?" Ariani mengangguk meyakinkan. "Yasudah deh Tante, Vian mau makan sayul mulai sekalang," ucapnya semangat. Senyum Ariani pun mengembang dengan sendirinya saat melihat begitu semangatnya Alvian. Apakah begini rasanya punya anak? "Yasudah sekarang Vian mandi dulu terus makan." Dengan senyum bahagianya, Ariani mulai bergegas melangkahkan kaki mungilnya ke dalam kamar mandi membawa Alvian dalam gendongan. *** Aldrian sedikit memijit pelipisnya, saat melihat tumpukkan kertas berjajar rapi di atas meja kerjanya. Ingin sekali Aldrian membakar kertas-kertas itu lalu membuang semuanya di tempat sampah, tetapi otak Aldrian masih waras ketika kenyataan bahwa kertas-kertas itulah yang mampu membuat Aldrian dan keluarga bisa bertahan hidup, termasuk bisa mengabulkan apa pun yang dimintai putranya. Berpikir tentang putranya, Aldrian jadi merindukan senyum tampan Alvian. Apa dia akan baik-baik saja meninggalkan putranya berdua dengan pembantu ceroboh seperti Ariani. Sebenarnya pikiran Aldrian sadari tadi terus terfokus pada bayang-bayang Ariani, Aldrian tidak bisa melupakan mata Ariani tadi saat menatapnya khawatir karena belum memakan sarapan atas kecerobohan yang ia buat. Ada rasa sedikit menyenangkan di hati Aldrian saat melihat tatapan Ariani, membuat dirinya sulit untuk bernapas karena detak jantung yang selalu meletup-letup di setiap memikirkan itu. Aldrian tahu rasa seperti apa ini. Dia bukan remaja polos yang baru berusia tujuh belas tahun, yang tidak tahu apa-apa. Dirinya bahkan sudah berpengalaman dengan rasa seperti ini. Ini seperti pertama kali melihat Luna. Aldrian tidak terlalu memikirkannya, siapa tahu dirinya hanya tertarik sekilas saja karena memang wajah Ariani yang begitu cantik jelita, dan semenjak kematian Luna dirinya tidak pernah membuka hati lagi untuk wanita, bahkan menyentuh wanita baik atau jalang pun Aldrian tak berminat. Tetapi tetap saja, pria normal membutuhkan kebutuhan biologisnya bukan. Dan Aldrian tidak menginginkan gairahnya bangkit hanya karena melihat bibir ranum Ariani. Sepertinya Aldrian harus menjenguk Luna lumayan sering sekarang, agar wajah Luna tidak tergantikan oleh wanita mana pun. "Al, kau sangat menyeramkan dengan wajah kusut seperti itu." Seseorang masuk dengan tidak sopannya dan duduk di hadapan Aldrian terhalang meja kerja Aldrian di tengahnya. Aldrian mendelik tajam, tangannya perlahan kembali mengisi kertas-kertas yang harus di tandatanganinya itu. "Apa kau tidak punya tangan untuk mengetuk pintu," ucapnya dingin. Membuat orang-orang yang mendengar suaranya akan lari terbirit-birit ataupun menunduk ketakutan seperti seekor anjing yang di marahi majikannya, tapi itu tidak termasuk dengan Raka, Raka adalah sepupunya Aldrian, spesies langka yang tidak takut dengan tatapan atau kata-kata pedas Aldrian. Kekehan keluar dari bibir Raka membuat Aldrian semakin kesal dibuatnya. "Untuk apa, toh aku lebih menyukai masuk ke ruanganmu tanpa mengetuk pintu, siapa tau aku mendapatkan tontonan langka, seperti kau sedang menggagahi sekretarismu di meja ini." Ingin sekali Aldrian melemparkan tumpukkan kertas ke hadapan wajah Raka yang bisa dibilang penuh dengan lumayan menurut Aldrian, lumayan tampan tapi tetap Aldrian paling unggul soal ketampanan. "Kalau kau hanya ingin mengatakan hal kotor seperti itu, lebih baik kau enyah dari hadapanku." "Oh, ayolah Al santai dikit napa, jangan terlalu tegang menjalani hidup." Aldrian mendecih jijik mendengar omongan Raka. Tidak mau ambil pusing Aldrian dengan cueknya tidak menanggapi ocehan Raka yang menurutnya sama sekali tidak penting. Raka hanya mendengus sebal melihat Aldrian dengan wajah flatnya. "Al, ayolah aku akan memperkenalkan wanita cantik dan seksi kepadamu kalau kau mau ikut ke club bersamaku." "Kenapa aku harus ikut?" "Cih, untung saja sifat dan wajahmu sangat seimbang," dengus Raka. "Aku hanya kasihan padamu setiap hari harus mengurusi kertas-kertas itu, jadi aku mengajakmu untuk bersantai sejenak." "Lebih baik bersantai di rumah dan menemani putraku bermain, dari pada harus ikut bersamamu," ucap Aldrian tidak peduli. "Sudahlah aku juga sudah tidak mood lagi mengajakmu." Raka sedikit merubah cara duduknya dengan kepala yang ia rebahkan di kepala kursi. Aldrian melirik lagi Raka, "Kenapa kau masih di sini?" tanyanya. "Sebentar lagi jam pulang, dan aku ingat tidak bawa mobil, jadi aku nebeng ya." Dengan cengiran sedikit malu Raka menjelaskan. Aldrian melirik Raka tajam. "Masih banyak taksi dan kendaraan umum di luaran sana," ucap Aldrian. Raka sedikit mendengus karena sifat Aldrian yang sangat dingin. "Kau pelit sekali Al, aku tidak biasa naik angkutan umum, jadi hanya cukup bilang yes oke." Aldrian mengembuskan napas pasrah, mau bagaimana lagi, Raka memang mempunyai jiwa pemaksa dan sangat menjengkelkan. *** Kesabaran Aldrian benar-benar sudah di ambang batas, Raka benar-benar sangat menyebalkan. Dari mengganggunya saat bekerja dan sekarang dia dengan santainya tengah menyandar di jok belakang mobil mewah Aldrian. Sudah beberapa kali embusan napas kesal Aldrian terdengar di telinga Raka, bukan merasa takut, Raka malah senang bisa membuat kesal Aldrian. "Kau menitipkan Vian di tempat penitipan anak lagi?" tanya Raka saat dirinya teringat sosok keponakan tampannya. Raka sedikit kasihan karena Alvian sering dititipkan Ayahnya di penitipan anak, ya, mau bagai mana lagi, sebenarnya Aldrian bisa menitipkan putranya kepada orang tuanya tapi dengan jarak kantor ke rumah keluarga Govano cukup jauh membuat Aldrian dengan terpaksa harus menitipkan putranya di tempat penitipan anak. Raka pernah memberi usul agar Aldrian menikah saja apalagi melihat Ibu Aldrian dengan gencarnya selalu menjodohkan Aldrian dengan gadis cantik terhormat. Pikir Raka kenapa Aldrian tidak memilih salah satu saja untuk dinikahi. Setidaknya mempunyai seorang istri membuat Aldrian sedikit ringan untuk menjaga Alvian, tapi usulan brilian Raka ditolak mentah-mentah oleh Aldrian, alasannya selalu sama, dia tidak bisa melupakan almarhumah istrinya. "Tidak," jawab Aldrian acuh dengan mata terfokus ke depan, mengemudi dengan hati-hati supaya tidak ada hal yang tidak diinginkan. Raka membelalakan matanya saat mendengar kata tidak dari mulut Aldrian. "Apa maksud dari kata tidakmu Aldrian?" tanya Raka, "Apa maksudmu kau meninggalkan putramu sendirian di rumah!" bentak Raka emosi. Kenapa dengan Aldrian pikirnya. Aldrian hanya melirik Raka acuh. "Aku tidak meninggalkannya sendirian, ada pembantu yang menjaganya." Raut tegang raka sedikit melunak saat Aldrian menjelaskan. "Ku kira kau meninggalkannya sendirian di rumah." "Aku tidak sejahat itu, kau tau!" Raka mengangguk. Ya, mana mungkin Aldrian seperti itu terhadap Alvian. Dulu memang, tetapi sekarang Aldrian sudah berubah. "Ngomong-ngomong sejak kapan kau memelihara pembantu?" tanya Raka saat teringat perkataan Aldrian tentang pembantu tadi. Raka sangat tahu Aldrian sangat anti dengan orang asing. "Kau lupa bahwa aku mempunyai Ibu dengan kadar pemaksanya yang terlalu tinggi." "Ah, aku bahagia sekali, mempunyai Tante dengan sifat seperti itu," kekeh Raka terdengar mengejek sekali di telinga Aldrian, sehingga pria yang berada di jok kemudi menatapnya tajam di balik kaca depan mobil mewahnya. Raka sedikit berdeham dan melirik Aldrian sekilas. "Al, mungkin kau sudah sangat bosan membahas ini, tapi menurutku kau harus mulai hidup yang baru, kau harus mengikhlaskan Luna, Luna juga pasti sangat sedih melihatmu seperti ini," ucap Raka tiba-tiba membuat Aldrian seketika langsung menghentikan laju mobilnya, membuat Raka yang tidak memakai sabuk pengaman langsung terjungkal ke depan. "Jangan bahas itu kalau kau tidak mau aku turunkan di sini!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD