Bab. 1

1140 Words
Sebaik-baiknya tempat mengadu dan berkeluh kesah, hannyalah Allah SWT. Because Allah *Tin... Tin... Brak!!! Mobil BMW seri tiga itu menabrak seorang pejalan kaki dan berakhir dengan menabrak pembatas jalan. Seorang laki-laki setengah baya itu terbelanting jauh dan menghantam badan jalan dengan cukup keras. Darah segar mengalir begitu saja dari kepalanya. Sedangkan pemuda yang ada di dalam mobil mengalami luka yang juga cukup parah, kepalanya ikut terbentur kemudi dengan keras, badannya terhimpit antara kursi kemudi dan setir mobilnya. Semua orang yang ada di sana langsung menolong ke dua lelaki itu. Namun sayangnya, laki-laki setengah baya itu tak dapat tertolong, dia meninggal di lokasi kejadian.* “Tidak!!!!!!!!!!” napas laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu terengah-engah. Keringat dingin itu membasahi sekujut tubuhnya. Dia kembali memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit. Iya! Mimpi buruk itu terus menghantuinya selama tiga tahun ini. Dia juga tidak mengerti kenapa dia mengalami mimpi yang begitu mengerikan. “Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapnya pelan. "Bu, ayo bangun. Sudah subuh.” Rara mengangkat tubuh sang Ibu dengan perlahan karena takut melukainya. Rara tak tega melihat kondisi ibunya yang semakin kurus akibat penyakit Gagal Ginja yang telah di derita selama dua tahun ini. Perih, sesak, dan begitu sakit. Hatinya terasa di tikam oleh ribuan belati saat harus menerima kondisi sang Ibu yang berjuang melawan penyakit itu seorang diri. Jika boleh memilih, Rara ingin menggantikan posisi ibunya agar dia tak melihat ibunya kesakitan lagi. "Katanya kamu ada jam tambahan pagi Ra?" ucap Delima---Ibunda Rara. Dan berhasil membuat Rara kembali pada alam sadarnya. "Ah iya Bu, tapi masih ada waktu, ini kan baru jam lima. Ayo nanti Ibu sholat subuhnya tambah kesiangan." "Iya Ra." Dengan hati-hati, Rara membantu sang Ibu untuk duduk di kursi roda, dan membawanya ke kamar mandi. Al Zikra Jannatul Husen , memiliki nama kecil Rara. Gadis yang baru saja genap berusia delapan belas tahun ini , harus rela membagi waktunya untuk sekolah, bekerja, dan mengurus Ibunya yang lumpuh dan mengidap penyakit gagal ginjal. Bukan hanya itu, Rara juga memiliki adik yang masih berada di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, dia bernama Arini Husen. Rara, harus kehilangan sang Ayah tiga tahun lalu. Husen---Ayah Rara, menjadi korban kecelakaan mobil saat akan menghadiri wisuda kelulusan Rara pada masa Sekolah Menengah Pertama. Dan kini, Rara menjadi tulang punggung keluarga. Rara rela bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski saat ini Rara harus difokuskan untuk menghadapi ujian nasional, namun dia masih bisa membagi waktunya antara belajar dan bekerja. Allah menakdirkannya memiliki otak cerdas. Buktinya, Rara selalu menjadi juara umum di sekolahnya dan selalu memborong mendali emas saat dirinya mewakili sekolah untuk mengikuti kejuaraan sains dan perlombaan lainnya. Murid sekolah SMA Negeri 25 Jakarta ini, memang patut diacungi Jempol. Semua guru dan teman-teman Rara kagum terhadap sikap dan sifatnya. Bagaimana tidak. Kesabaran Rara begitu luar biasa ketika dihadapkan dengan segala ujian yang Allah berikan. Dia tetap semangat dan tidak mengeluh ketika Allah memberinya ujian berat. Baginya, ujian yang diberikan Allah padanya adalah sebagai tanda bahwa Allah menyayanginya. "Sudah. Ibu sudah tambah cantik dan wangi, hehe." Rara tersenyum sambil merapikan khimar instan berwarna merah marun yang dia pakaikan untuk menutupi rambut Delima. "Terima kasih ya Ra, Ibu benar-benar bersyukur memiliki anak cantik dan Shalihah seperti kamu." Delima memegang dagu Rara. "Bu..." Rara meraih tangan Delima. "Sudah kewajiban Rara untuk mengurus Ibu, ini adalah bakti Rara kepada Ibu." Kemudian Rara mencium punggung tangan Delima. Delima meneteskan air matanya. Rara yang melihat itu pun langsung menghapus air mata yang mengalir di pipi Delima dengan kedua Ibu jarinya. "Sarapan Ra?" Nayla menyodorkan kotak nasi berwarna biru miliknya. "Engga, makasih Nay," tolak Rara dengan halus sambil diakhiri senyum. "Memang kamu udah sarapan? Tadi kan berangkat jam setengah enam." "Alhamdulillah sudah." Nayla menatap Rara, "Jangan bohong loh." Rara tersenyum sebelum menjawab , "Memang wajah Aku kurang serius?" "Jangan serius Ra, nanti Aku baper." Rara mengerutkan dahinya, "Gak jelas banget Kamu." "Hehe, gak apa-apa yang penting bisa ketawa." Rara tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya pelan. Nayla Rizqi Damayanti. Sahabat Rara sejak masih berada di bangku sekolah menengah pertama hingga detik ini. Nayla adalah sosok penyemangat bagi Rara. Nayla dan keluarganya juga begitu baik pada Rara, mereka merasa kasihan pada gadis bermata indah itu ketika mengetahui kehidupan yang dijalaninya begitu sulit. "Bener nanti kamu gak mau lanjut kuliah?" tanya Nayla untuk yang sekian kalinya pada hari ini. Rara melirik Nayla, "Engga Nay, Aku mau kerja aja. Cari uang buat pengobatan ibu dan sekolah Arini.” Nayla merasakan matanya begitu perih dan panas. Dia sebenarnya ingin membantu Rara untuk kuliah, memberinya uang untuk bayar kuliah. Namun Nayla tak bisa apa-apa karena Rara selalu menolak untuk dibiayai oleh orang tua Nayla. "Kamu ikut program beasiswa aja Ra." Rara menghela napas sejenak, "Bisa aja gitu, tapi jika Aku kuliah siapa yang akan mengurus semua keperluan Ibu dan adikku. Aku tidak mau menjadi anak yang egois, karena Ayah sudah tiada, maka Aku harus bisa prihatin dengan keadaanku sekarang." "Rara..." Nayla langsung memeluk sahabatnya itu dengan ke dua pipinya yang entah sejak kapan sudah basah. Rara mengelus punggung Nayla sambil menahan tangis. Rara tidak mau menangis, Rara sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Rara hanya mampu menangis jika sedang berbicara dengan Rabb-Nya. Setelah pulang sekolah, Rara langsung datang ke Cafe tempatnya bekerja. Blue Sky Cafe , tempat Rara mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga. Cafe dengan arsitektur kekinian ini sangat ramai dikunjungi para remaja, lokasinya juga dekat dengan taman kota. Setelah menunaikan ibadah sholat asar, Rara kembali menjalankan kewajibannya sebagai pelayan Cafe. "Ra. Diantar ke meja dua belas ya," ucap seorang wanita berjilbab segi empat berwarna hitam. "Iya Mbak Ani.” kemudian Rara mengangkat nampan persegi berwarna coklat yang berisi dua jus jeruk dan satu piring kentang goreng. Rara menjalankan semua pekerjaan ini dengan ikhlas lillah ta alla. Meski melelahkan, namun Rara percaya lelahnya itu akan menjadi Lillah, jika pekerjaan yang dia jalani diniatkan karena Allah. Rara bekerja dari jam empat sore hingga jam sebelas malam. Pemilik Cafe paham betul posisi Rara yang masih duduk dibangku kelas dua belas. Pemilik Cafe juga mentoleransi Rara jika Rara boleh belajar saat Cafe sepi. Sungguh Rara beruntung memiliki bos yang mengerti posisi dirinya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, setelah pamit dengan Yuni---pemilik Cafe, Rara bergegas memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Rara berdiri di pinggir jalan sambil menunggu ojek pesanannya datang. Setelah UN nanti, kayaknya Aku harus cari pekerjaan yang penghasilannya lebih besar deh. Harga obat Ibu dan Ka Riri semakin mahal. La haulla walla quwwata illa billah. Tin...tin... Suara klakson motor membuyarkan lamunan Rara. "Dengan Mbak Rara Husen?" "Iya Mas," jawab Rara pada seorang laki-laki yang memakai jaket hitam bergaris hijau berlogo perusahaan ojek online. "Ini helmnya mbak." laki-laki tersebut memberikan helm berwarna hijau pada Rara. Rara menerimanya kemudian duduk di boncengan motor. Doa Rara hari ini adalah ... Ya Allah, Jadikan lelahku menjadi lillah. Dan jadikan esokku menjadi hari yang lebih baik dari sekarang. Alhamdulillah untuk hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD