4. Terjebak Di Istana Vampir

1079 Words
"Eenggg...." Angel mengerang pelan dengan mata masih terpejam erat. Dia berniat untuk bergerak dari posisi tidur miring, tapi mendadak merasakan sengatan nyeri yang membuatnya langsung terjaga. "Ya Tuhan...." Angel meringis dengan mata perlahan terbuka, merasakan ketidaknyamanan pada pangkal pahanya saat di gerakan. "Aku kenap-" Angel tak mampu melanjutkan kalimat saat kesadarannya berangsur kembali, otaknya mulai memutar segala macam memori erotis yang dialaminya semalam. Sontak mata Angel membulat lebar, dengan wajah yang mulai berhias rona merah. "Aku-" Tatapan Angel turun ke arah tubuhnya yang masih terbungkus selimut, dan dia sadar bahwa tak ada kain lain yang menghias di dalamnya. "Astaga... ternyata benar-benar terjadi." Angel mendesah panjang, matanya nyalang pada langit-langit kamar. Perlahan bibirnya mengulas senyum miring. "Jadi, aku benar-benar sudah menjadi gadis Amerika sekarang? Konyol." Di tengah perasaan yang campur aduk, Angel dikagetkan oleh dering ponselnya sendiri. Dia menoleh cepat ke arah sumber suara, meraih benda pipih tersebut di atas nakas. "Morning, Mom," jawab Angel setelah menerima telepon dari ibunya. "Morning, Honey... are you ok?" Angel tersenyum, perasaannya menghangat setiap kali merasakan perhatian dari ibunya yang kadang terlalu berlebihan. "I am ok, Mom." "Di mana kau sekarang?" "Aku ada-" Mendadak Angel terdiam, ingatannya kembali tertuju pada apa yang sempat dilupakannya semalam. Dia langsung bergerak duduk, mengabaikan rasa sakit yang mendera intinya. "Ya Tuhan!" "Angel, kau kenapa?" "Mom, aku akan menelponmu lagi nanti." Angel mematikan teleponnya cepat, matanya mulai bergerak liat mengamati setiap sudut kamar yang dia tempati saat ini. Kamar tersebut sangat luas, dengan suasana temaram dan terkesan kuno. Setiap detail interior di sana seolah melambangkan kekuasan misterius, tampak menakutkan tapi juga artistik. Dia sendiri sekarang berada di atas sebuah ranjang besar dengan empat pilar penyangga yang penuh ukiran rumit. "Ini... kamar Erick?" Gumam Angel dengan gelenyar takut yang mulai menyebar di d**a. Dia menarik selimutnya yang turun ke bawah, kembali menutupi tubuhnya ketat. "Dan dia adalah seorang-" Angel tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Dia kembali mengingat keanehan-keanehan yang menimpanya semalam. Perpindahan tempat yang begitu cepat, munculnya sisi Erick yang menakutkan, dan mendadak dia melupakan semuanya. "Astaga... apa yang terjadi padaku?" "Kau menikmatinya." Suara bariton itu membuat tubuh Angel berjingkat kaget, refleks menoleh ke arah pintu yang terbuka. Dia beringsut mundur hingga punggungnya menempel erat pada kepala ranjang, merasa begitu takut saat melihat Erick yang saat ini mengenakan baju bak seorang raja pada zaman Yunani kuno. "Hei, kenapa kau takut padaku, Sayang?" Erick terkekeh geli, lalu duduk tepat di sisi tubuh Angel berada. "Bukankah semalam kau sangat menikmati sentuhanku." "Sebenarnya- siapa dirimu?" Tanya Angel lirih, tubuhnya meremang dengan keringat dingin yang mulai mengucur di kamar sedingin ini. "Seperti yang kau pikirkan saat ini," jawab Erick santai. Dia memang bisa membaca pikiran Angel, tapi tidak bisa memasuki atau mengubah pikiran gadis itu seperti yang bisa dia lakukan pada manusia lain. "Kau- vampir?" Mata Angel melebar sempurna, dengan wajah yang memucat cepat. "Kenapa?" Erick mengulurkan sebelah tangan, membelai pipi Angel lembut, "kau takut?" Angel bergidik ngeri, merasakan tangan Erick yang begitu dingin. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rasa beraninya yang masih tersisa. "Apa... kau telah menggigitku?" "Aku sangat ingin, sayangnya aku tidak bisa." Kening Angel berkerut dalam. "Jadi, aku masih hidup?" Erick terkekeh geli. "Bukankah kau baru saja berbicara dengan ibumu melalui telepon? Apa orang yang sudah mati bisa melakukannya?" Seketika mata Angel melebar cepat, ada setitik binar yang nampak di sana. Setidaknya dia memang masih hidup, walaupun dia tetap bisa mati kapan pun di sini. "Lalu apa maumu?" Tanya Angel yang mulai menampilkan sorot berani. "Aku," ibu jari Erick bergerak untuk membelai bibir bawah Angel yang sedikit terbuka, "ingin menjadikanmu ratuku di sini?" "Kau gila?!" pekik Angel keras, matanya menyorot tajam. "Aku ingin pulang!" "Sayangnya kau tidak akan bisa pulang, Sayang," jawab Erick dengan senyum miring. Angel menepis tangan Erick kasar. Dia menarik selimut untuk membungkus tubuhnya, lalu bergegas turun dari ranjang. Matanya kembali mengedar, mencari gaun yang akan dikenakannya. "Di mana bajuku?" "Semalam aku merobeknya." "Apa?!" jerit Angel dengan mata melebar cepat. "Lalu apa yang harus aku pakai?!" Erick mengangkat bahu acuh. "Kau tak perlu memakai apa pun, lagipula aku sudah melihat dan menikmati setiap inci tubuhmu." Angel bungkam dengan gelitikan geli pada perutnya, wajahnya pun mulai terasa panas saat kembali mengingat penyatuan liar mereka semalam. Namun, di detik berikutnya logikanya mulai kembali, menyadari bahwa siapa yang bersamanya saat ini bukanlah manusia pada umumnya. "Aku mau pulang!" ucap Angel tegas. Dia kembali dibuat berjingkat saat merasakan kilatan dari gerakan Erick yang begitu cepat, dan kini pemuda itu sudah berada di hadapannya. "Sudah kubilang, kau tidak akan bisa keluar dari sini. Karena sejak penyatuan tubuh kita semalam, kau sudah menjadi ratuku." "Tidak," Angel menggeleng cepat, "itu tidak mungkin." "Tidak ada yang tidak mungkin bagiku, Sayang...." Erick mendekatkan wajah hingga bibir mereka saling menempel. "Kau memang sudah ditakdirkan untukku." Angel membeku saat bibir Erick telah melingkupi bibirnya, mengulumnya dengan begitu lembut seperti biasa. Dia tidak bisa menyangkal bahwa sangat menyukai ciuman pemuda itu, bahkan rasa dari bibir Erick seolah telah menjadi candu untuknya. "Bibirmu sangat manis, aku sangat menyukainya," bisik Erick setelah melepaskan ciuman mereka. Angel mengerjapkan mata cepat, dan saat itu Erick sudah tidak ada dari hadapannya. Dia tersentak kaget oleh keanehan yang masih belum bisa membuatnya terbiasa, dan sekarang dia kembali berada seorang diri di kamar menyeramkan ini. "Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan...." Angel menarik rambutnya sendiri, dengan sebelah tangan tetap mencengkram tepi selimut yang membungkus tubuh polosnya. Mata Angel kembali mengedar, seketika terpaut pada sebuah pintu besar di depan sana. Dengan langkah cepat, dia menuju ks arah pintu tersebut, mencoba menarik handlenya tapi terkunci rapat. "Sial!" umpat Angel kesal. Dia mulai memutar otak untuk mencari solusi, saat itu lah dia kembali teringat pada ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Angel meraih benda pipih itu, bersiap untuk kembali menelpon ibunya saat dia kembali dihadapkan pada satu fakta lain, dia tidak tahu di mana sekarang berada. "Bagaimana aku bisa meminta bantuan kalau tidak tahu tempat ini!" jerit Angel sembari mengacak rambutnya kesal, membiarkan selimutnya meluncur lepas begitu saja. "Ya Tuhan...." Angel kembali membanting tubuh polosnya di atas ranjang, bertepatan dengan pintu kamar yang terbuka. "Selamat pagi, Yang Mulia...." Angel bergerak duduk, menatap ke arah wanita dengan pakaian pelayan yang berjalan mendekat dengan membawa tumpukan baju. "Siapa kau?" "Perkenalkan, saya adalah Anne- pelayan pribadi anda," jawab wanita itu sembari membungkuk hormat. "Sebenarnya tempat apa ini?" Tanya Angel ketus sembari berdiri. "Ini adalah istana yang mulia raja Erick Cullen." "Raja?!" pekik Angel dengan mata melebar. "Benar, Yang Mulia. Yang mulia Erick adalah raja bagi kami, raja vampir dari klan Cullen."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD