"Raja vampir?" Tubuh Angel membeku dengan segala macam hayalan-hayalan di pikirannya. Dia masih berharap bahwa semua ini hanya lah mimpi dari sebuah imajinasi terpendam di alam bawah sadarnya. Dia masih berharap akan terbangun sebentar lagi dan kembali dalam kehidupan normal seperti biasa.
Namun, sebuah sentuhan dingin yang menyapa kulitnya kembali membawanya pada kenyataan yang sebenarnya. Di sana masih ada wanita berkulit pucat yang saat ini tampak melayaninya.
"Anda sangat cantik, Yang Mulia... anda sangat pantas menjadi ratu kami."
Angel kembali memfokuskan tatapannya pada sebuah cermin di depan, menampilkan dirinya yang sudah mengenakan sebuah ballgown kuno layaknya ratu dari kerajaan terdahulu.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya untuk dirinya sendiri, tapi cukup jelas terdengar oleh pelayan itu.
"Anda harus sarapan, Yang Mulia...."
"Ya Tuhan...." Angel menangkup wajah dengan kedua tangan, rasanya begitu putus asa saat tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Saya akan membawakan sarapan anda ke mari, atau anda bisa ikut sarapan di ruang makan," terang Anne dengan nada sopan.
"Tinggalkan aku sendiri," ucap Angel tegas dengan kembali mengangkat wajah.
"Baik, Yang Mulia." Anne membungkuk hormat, lalu melangkah pergi keluar dari sana.
Angel menghela nafas berat, apalagi saat merasakan sesak yang menghimpit dadanya saat ini. Perasaannya benar-benar campur aduk, ada takut, sedih, marah dan bingung yang bergumul menjadi satu.
"Seharusnya aku tidak pergi dengannya," gumam Angel dengan rasa menyesal yang luar biasa. "Seharusnya aku tetap menjadi perawan Amerika."
Perlahan rasa sesak di d**a Angel berefek pada matanya yang memanas, membuat cairan mulai mengenai kelopak mata. Dia terisak lirih, bahunya pun mulai tampak bergetar. Mungkin rasa takutnya tidak sebesar kebingungannya saat ini, tapi tetap saja semua itu terasa menyiksa.
"Mom, please help me...."
Angel membungkukkan badan, meletakkan wajah pada tangannya yang terlipat di atas meja. Tangisnya pecah, dengan air mata yang mengalir deras. "Aku ingin pulang... aku mohon...."
Entah sudah berapa lama Angel menangis, menumpahkan segala macam keresahannya. Dia mulai merasa lelah, hingga isakanya berhenti dengan sendirinya. Kini matanya tertaut pada sebuah jendela di depan sana, menampilkan warna langit yang cukup kelabu. Perlahan, Angel mulai bangkit dari kursi, berjalan ke arah jendela yang tertutup itu.
Mata Angel bergerak-gerak liar, menatap keluar kaca jendela tersebut. Sepanjang mata memandang, dia hanya menemukan padang rumput yang dibatasi oleh pohon-pohon tinggi menjulang. Entah di kota mana istana ini berada, tapi tampak kabut-kabut tipis yang melingkupi sekitarnya.
Angel menghela nafas berat, kembali memutar badan ke arah ranjang. Dia meraih ponselnya, ingin sekali menghubungi sang ibu tapi terlalu takut kalau tidak bisa menjawab pertanyaan yang akan didengar. Tapi, mendadak dia teringat pada Bella, mungkin dia akan lebih mudah untuk menceritakan semuanya pada sahabatnya itu.
"Ya, Bella… semoga saja dia bisa membantuku."
Angel mulai mencari kontak gadis itu, bersiap untuk menelpon saat tiba-tiba terdengar suara bariton yang menghentikan aksinya.
"Kau harus makan."
"Astaga!" Angel berjingkat kaget, membuat ponsel terjatuh dari genggamannya. Dia memutar badan cepat, menatap tajam ke arah Erick yang berjalan ke arahnya. "Aku ingin pulang!"
"Kau akan pulang setelah menikah denganku."
"Hentikan omong kosongmu itu!" jerit Angel dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh, wajahnya pun tampak merah padam.
"Berhentilah marah dan menggerutu, sekarang kau harus sarapan," ucap Erick dengan wajah tanpa ekspresi, mengulurkan sebuah nampan ke arah Angel.
"Kalian adalah vampir, lalu apa yang bisa kalian berikan untuk sarapanku?" Ejek Angel dengan senyum miring, menatap enggan ke arah sebuah tudung keemasan yang telungkup di atas nampan.
"Kau pasti menyukainya," balas Erick sembari membuka tudung tersebut.
Angel mengerutkan kening dalam, merasa heran saat hanya ada sebuah gelas berlapis emas yang ada di atas nampan tersebut. "Apa itu?"
"Darah segar dari angsa putih yang dipelihara secara khusus dengan nutrisi terbaik," terang Erick.
Seketika Angel merasakan gejolak luar biasa di perutnya, rasanya seperti ada yang mengaduknya kuat. "Kau... sudah gila?"
"Cobalah, kau pasti akan menyukainya." Erick mengulurkan gelas tersebut ke depan.
"Eemmphh... aku masih manusia!" pekik Angel sembari membungkam mulutnya kuat.
"Kau sudah menyatu denganku, Sayang. Jadi, sebagian dari dirimu sudah menjadi seperti kami," balas Erick dengan seringai licik.
"Tidak," Angel menggeleng cepat, "itu tidak benar. Kau hanya mengada-ngada."
"Baiklah, kita bisa mencobanya."
Mata Angel membulat seketika saat melihat Erick yang meminum cairan merah pekat dari gelas tersebut. Gejolak di perutnya semakin menjadi-jadi, apalagi saat melihat darah itu mengalir dari sudut bibir Erick saat ini.
"Hueek... hueekk...." Angel ingin muntah, tapi tak ada sedikitpun yang keluar dari mulutnya. "Ini benar- empph-"
Tiba-tiba Erick membungkam bibirnya dengan bibir pria itu. Perlahan dia merasakan sesuatu yang memasuki mulutnya melalui mulut Erick. Entah apa itu, tapi Angel merasakan rasa manis yang begitu nikmat menyebar pada indra pengecapnya, bahkan dia menelannya rakus.
Erick melepaskan bibirnya, tersenyum puas saat melihat Angel menikmati darah dari mulutnya. Dia menjilat sisa darah yang ada di sudut bibir gadis itu, lalu berucap lembut. "Bukankah sangat nikmat, Sayang?"
Tubuh Angel membeku, wajahnya tampak pucat pasi saat menyadari apa yang terjadi. Dia ingin menyangkal, tapi rasa manis dan segar dari darah yang diminumnya menjadi saksi bahwa dia telah menjadi bagian dari mereka.
"Ini... tidak mungkin," gumam Angel saat kembali merasakan ketakutan yang luar biasa.
"Tenanglah, Sayang...." Erick mengulurkan sebelah tangan, membelai bibir Angel yang setengah terbuka. "Kau tetap adalah manusia, hanya saja aku telah menyimpan sedikit jiwaku di dalam dirimu."
"Hah...." Wajah Angel tampak kaku, perlahan tubuhnya terasa begitu lemas hingga tak kuat hanya sekedar berdiri. Dia mendaratkan pantatnya pada tepi ranjang, masih tak mengerti dengan semua yang terjadi.
"Aku bukan kalian," Angel menggeleng lemah dengan tatapan kosong, "bukan... aku adalah manusia normal."
"Ini hanya mimpi!" jerit Angel yang tiba-tiba menampar pipinya sendiri. "Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini!"
"Angel, hentikan!" Erick menahan kedua tangan gadis itu, lalu ikut duduk di sisinya. "Kau tidak boleh menyakiti dirimu sendiri."
"Kalau begitu bawa aku pulang!" bentak Angel dengan mata kembali memburam, perlahan bahunya pun mulai bergetar.
"Jangan menangis," ucap Erick dengan ibu jari mulai mengusap lelehan bening yang meluncur di pipi gadis itu. "Aku tidak suka melihatmu menangis."
"Aku ingin pulang...." isak Angel sembari mencengkeram baju Erick kuat, "aku mohon bawa aku kembali ke duniaku."
Erick terdiam sejenak. Dia adalah makhluk dingin yang tak punya hati, tapi entah kenapa ada sebuah rasa nyeri saat melihat wajah cantik itu berbalut kesedihan. "Aku akan membawamu pulang."
"Kau berjanji?" Tanya Angel dengan tatapan penuh harap.
Erick mengangguk pelan sembari menangkup kedua sisi wajah gadis itu, menatapnya lekat. "Tapi setelah ritual pernikahan kita besok pagi."