Dari sikap, cara berpakaian dan tatapan matanya yang sudah tidak ada ketertarikan pada Killian, Lika jelas benar-benar Lupa Ingatan. Kepala Killian rasanya berputar karena semua ekpektasinya hancur berantakan. Sebelumnya dia berpikir akan menggoda Lika sampai dia mengaku tidak melupakannya dan menjalin hubungan diam-diam sambil Killian pelan-pelan menjadi seorang CEO. Tapi Lika malah tidak mengingatnya sama sekali dan hal ini membuat Killian lumayan Frustasi.
Sesaat setelah Killian sampai di Hotel, Ponselnya berdering. Ada nama Adrian di sana. "Ada apa, Kek?" balasnya setelah mengucapkan salam dan dijawab oleh Adrian.
"Ada apa? Masih nanya ada apa Killian?" Adrian terlihat jengkel.
"Jangan marah-marah mulu, nanti kakek cepet keriput." balas Killian sambil melepas jaketnya dan mendorong kopernya ke pinggiran kamar.
"Ngapain kamu di Paris, anak nakal?"
"Kakek bilang, kakek lebih suka aku jadi Pebisnis dibanding jadi Agent Rahasia kan? Kalau aku jadi Kapten, selamanya aku tidak akan bisa melepaskan profesi itu. Karena itu aku pindah ke Divisi mata-mata agar bisa sambil menjalankan profesi impianku." Killian menjelaskannya dengan tenang.
"Lalu siapa yang dengan sombongnya bilang mau jadi Captain huh? Kemana mimpi besar itu musnah? Jangan kamu pikir kakekmu ini bodoh Killian! Kakek jelas tahu kalau menjadi petinggi Theia yang memiliki wewenang lebih banyak masih menjadi impian kamu hingga detik ini." Adrian terus mengomel.
Killian memang sudah memprediksi kalau kakeknya tidak mungkin percaya begitu saja dengan penjelasan paling rasional yang bisa dia karang. "Katakan dengan jujur apa yang sedang kamu lakukan!" tanya Adrian tegas dengan napas memburu yang menunjukkan kalau laki-laki itu sedang marah.
"Apakah kakek percaya dengan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika?" Pertanyaan Killian membuat Adrian terdiam.
"Apa maksud kamu?"
"Karena nggak bisa dijelaskan makanya Killian tidak bisa menjelaskannya." balas Killian sambil tersenyum geli. Dia yakin kakeknya semakin kesal.
"Dasar anak nakal! Langsung saja ke Intinya!"
"Aku ingin memulai bisnisku sendiri di Paris. Rencananya aku ingin mengincar sebuah toko roti yang bernama Cambeland. Kakek pasti tahu Toko Roti itu karena sangat terkenal bukan?"
"Tidak Killian! Kakek sangat mengenal kamu. Tidak mungkin tujuan hidupmu berubah semudah ini kalau tidak ada sesuatu yang besar terjadi. Katakan sejujurnya pada kakek! Kakek tidak akan menertawakannya meskipun alasan itu tidak masuk akal sekalipun." Kali ini Adrian berusaha untuk tenang, agar bisa membujuk cucunya yang keras kepala.
"Akan ada pembunuhan berantai di sekolah tempat Lika sedang menempuh pendidikan sekarang dan dia akan menjadi korbannya." Killian hanya mengatakan sampai ke tahap ini tapi Adrian langsung mengerti. Apalagi Lisa juga mengatakan sikap aneh Killian sebelumnya yang bertanya soal tahun dan tanggal hari itu.
"Terjadi lagi!" Adrian bergumam sambil mendesah. "Ya sudah lakukan yang terbaik dan jangan terluka. Kalau memang kamu mau berganti profesi, jadilah sangat sukses sampai kakek tidak kecewa lagi karena kamu membuang semua hasil dari usahamu di Theia selama bertahun-tahun. Jangan terlibat dengan orang-orang berbahaya lagi Killian! Kakek kamu ini sudah tua. Jantung kakek bisa meledak kalau kamu terus membuat masalah." Adrian memberikan wejangan kemudian mematikan sambungan telponnya.
Killian tersenyum kemudian mengetikkan sebuah pesan untuk sang kakek yang langsung dibalas dengan dering telpon. "Dasar cucu kurang ajar! Uang kakek yang seratus juta dollar saja belum kamu kembalikan sekarang kamu minta duit lagi huh?"
"Uang Killian nggak cukup kalau mengincar Cambeland kek. Kalau Killian minta sama ayah pasti nanti mereka nyusul ke Paris dan bikin Killian ribet." balas Killian sambil terkekeh.
"Entah kamu sudah dengar atau tidak, tapi kabarnya Cambeland sedang rusak dari dalam. Putra pertama dari Robert Cambeland doyan berjudi dan bermain wanita, karena itu ada kabar yang bilang tahun ini adalah tahun terakhir Cambeland jika Robert tidak berhasil mendidik putranya untuk menjadi pewaris. Ini akan lebih mudah buatmu tanpa mengeluarkan banyak uang kalau kamu bisa memanipulasi mereka." Informasi dari Adrian membuat Killian senang.
"Lalu bagaimana dengan anak keduanya kek?"
"Anak keduanya adalah seorang perempuan yang memilih menjadi suster di gereja saking taatnya. Karena itu harapan Robert hanya putra pertamanya itu."
"Info ini valid kan Kek?"
"Kapan informasi dari kakek tentang bisnis tidak Valid huh?" tanya Adrian jengkel. Killian terkekeh geli. "Tapi Kill, kenapa kamu harus mengincar perusahaan yang sudah besar? Bukankah akan lebih menyenangkan memulai bisnis dari bawah?"
"Killian nggak punya waktu banyak kek. Dan kemungkinan lawan Killian adalah pemilik Pettiserie dan Delice. Jelas hanya Cambeland yang mampu menyainginya."
"Ingat kalau hanya keluarga kita yang akan percaya ceritamu yang tidak masuk akal tadi. Karena itu jangan bocorkan informasi tentang itu pada siapapun. Kemampuan rahasia keluarga kita, tidak boleh sampai diketahui banyak orang. Selain akan dianggap gila oleh orang yang tidak percaya, kita bisa saja diincar oleh orang yang percaya hal-hal semacam itu."
"Killian mengerti kek. Terimakasih wejangannya." balas Killian sebelum Adrian mematikan sambungan telponnya.
Killian memang tidak mendapatkan uang dari Adrian, tapi informasi tentang bagian dalam Cambeland yang sangat rahasia tadi, jauh lebih berharga dari uang.
***
"Kamu kenapa sih? Kok diam saja? Biasanya kamu banyak bicara kalau lagi sama aku?" Steve bertanya karena sejak keluar dari Bandara, Lika jadi pendiam.
"Tidak papa. Aku hanya sedikit kurang enak badan karena kemarin aku kehujanan." balas Lika, tidak sepenuhnya berbohong. Padahal sebenarnya Lika lumayan kepikiran dengan pertemuannya dengan Killian tadi. Lika tidak bisa mengingat laki-laki itu, tapi entah kenapa perasaanya terasa aneh ketika mengingat ekspresi terluka Killian ketika dia meninggalkannya pergi bersama Steve tadi. Lika belum pernah merasakan perasaan dalam seperti ini sebelumnya, bahkan pada Steve yang sekarang sedang dekat dengannya.
Tapi perasaan itu terlupakan begitu mereka sampai di tempat tujuan mereka. Sebuah Club malam, tempat salah satu teman mereka merayakan Ulang Tahun. " Serinaaa!" Lika berteriak sambil berlari menghampiri sahabatnya yang sekarang menjadi bintang utama pesta dan memeluknya dengan erat.
"Akhirnya Ratu Kampus kita, hadir juga ges bersama Pangerannya." ucap Serina yang diikuti sorakan teman-teman yang lain.
"Selamat ulang tahun gadis manisku, semoga semester depan bisa lulus semua ujian." ucapan Lika membuat Serina yang hampir setiap semester selalu mengulang itu tertawa geli. Musik di aula pesta semakin intens, di aula dansa sudah penuh oleh teman-teman Lika yang sudah sedikit mabuk. "Aku tidak minum Alkohol," tolak Lika halus ketika salah satu temannya mengambilkan segelas Coctail.
"Ayolah Lika, kita sedang Party. Berhenti bersikap sok Suci begitu." balas Romeo, teman yang menawarkan Lika minuman.
"Bukan sok Suci, tapi aku memang tidak bisa minum Alkohol." balas Lika lagi, sambil meminta pelayan membawakan Jus jeruk. Teman-temannya bersorak kecewa karena Lika selalu menghindari minuman keras. Tapi kepala Lika mulai pusing, sesaat setelah dia meminum jus jeruknya. Sementara Steve terlihat Asyik berjoget dengan teman-teman laki-lakinya di Aula dansa. "Ser, aku ke Toilet dulu!" pamit Lika sambil sempoyongan. Beberapa laki-laki yang ada di meja tempat Lika duduk tadi tersenyum mencurigakan dan hendak mengikuti gadis itu ke Toilet. Tapi belum sampai mereka di dalam Toilet, seseorang menyerang mereka dalam diam dan membuat mereka pingsan.
"Sial! ternyata teman-temannya b******k!" Killian mengumpat. Laki-laki itu mendapat laporan dari salah satu anak buah Asmodeus yang melihat Lika di Club malam itu. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu langsung datang untuk mengawasi. Kekhawatirannya ternyata benar terjadi. Hampir saja Lika menjadi korban teman-temannya sendiri.
"Kamu?" Lika tersenyum begitu melihat wajah Killian ketika dia keluar dari Toilet. "Kamu si tampan yang tadi di Bandara kan? Wahhh alis kamu ternyata sangat cantik." Dari cara bicaranya, Lika jelas mabuk berat. Killian mendesah kemudian menggendongnya di pundak secara paksa. "Turunkan! Turunkan aku penculik m***m! Aku laporkan pada ayahku baru tahu rasa!" Lika terus mengomel sambil memukuli punggung Killian dengan nada suara seperti orang mabuk. Killian sendiri tidak bergeming sedikitpun dan meneruskan jalannya menuju pintu belakang, dimana mobil mewahnya terparkir disana. "Ayaaah aku di culik!" ucap Lika kemudian tertawa, begitu Killian merebahkan gadis itu di ranjangnya.
"Dasar gadis nakal!" balas Killian sambil menjitak pelan dahi Lika. membuat gadis itu terkekeh.
"Nakal? Aku?" ucap Lika dengan mata setengah terpejam. "Kamu yang nakal, dasar penculik!" tambahnya lagi dengan nada yang lucu. Killian tersenyum geli kemudian mengambil handuk hangat dan mengelap tubuh Lika yang bau muntahan dengan telaten. Setelah itu dia meminta tolong pegawai wanita di Hotel tempatnya tinggal untuk mengganti baju Lika.
lika tidur dengan lelap setelah muntah beberapa kali. Killian memberikan selimut tebal miliknya untuk menghangatkan gadis pujaan hatinya itu. Pagi harinya, suara teriakan Lika yang melengking membuat Killian terbangun dari tidurnya. Padahal dia baru tidur sekitar sepuluh menit karena semalaman mengurus Strategi untuk mendapatkan Cambeland.
"Sialan! Kamu menculik ku dan membawaku ke Hotel! Pasti ulah kamu kan? Kamu kan yang memasukkan sesuatu ke dalam jus jerukku kan? Dasar om-om Tua m***m sialan! Aku akan melaporkanmu ke polisi!" Lika berteriak marah sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Sementara Killian mendesah frustasi karena bersamaan dengan teriakan melengking itu, beberapa bantal terbang mengenai kepala laki-laki itu. "Aku sudah curiga kamu tiba-tiba ingin memelukku di Bandara. Ternyata ini tujuan kamu huh?" teriak Lika sekali lagi, sebelum terduduk di lantai dan mulai terisak. "Padahal aku sengaja tidak pernah melakukannya karena aku adalah pemuja kesucian. Bahkan pacarku saja tidak boleh menyentuhku. Kenapa om-om m***m seperti kamu malah melakukannya. AKu tidak suka laki-laki yang lebih tua seperti kamu! Dasar jelek sialan!" omelnya sambil menangis sampai sesenggukkan.
Killian diam saja dan mendesah sekali lagi sebelum beranjak dari kasurnya. "Jangan mendekat!" Lika berteriak sambil beringsut ke belakang tembok, tangannya meraih kotak tisue dan melemparnya ke kepala Killian sampai berdarah.
"Demi Tuhan! Berat sekali cobaanku!" Killian menggeutu sambil mengusap keningnya yang berdarah.
"I-itu, a-aku tidak se-sengaja!" Lika terlihat takut begitu melihat kepala Killian berdarah.
"Cepat bangun dan minum! Jangan menjadi gila dulu karena ini masih pagi." Killian berucap tegas sambil meletakkan sebotol air mineral di dekat Lika, sementara darah di dahinya terus mengalir. Luka bekas lemparan kotak tisue tadi terlihat cukup dalam.
"Siapa yang tahu kalau ada obat di dalam air itu!" ucap Lika sambil melirik penuh curiga. Killian membuka botol air mineral yang tadi dia berikan pada Lika kemudian meminumnya sedikit.
"Lihat! Kalau ada obat tidak mungkin aku meminumnya." balas Killian sambil memberikan lagi botol itu pada Lika.
"Aku tidak bisa minum air bekas orang lain." ucapan Lika membuat Killian kembali mendesah frustasi. Namun tepat ketika Killian berbalik hendak mengambil air minum lagi, Lika memukul Killian menggunakan lampu hotel dari belakang dan berlari keluar kamar sambil berteriak. Killian tersungkur di lantai dengan kepala berdarah sambil mengumpat.
"Sialan!!" laki-laki itu mengumpat sambil mengambil ponselnya dan menyuruh seseorang untuk mengawasi Lika sampai ke rumah.
***
Satu Bulan berlalu sejak kejadian itu dan Lika sadar kalau malam itu sebenarnya tidak terjadi apapun karena tidak ada bekas-bekas percintaan di tubuhnya maupun pakaian yang dia kenakan. Namun kenyataan kalau bajunya sudah diganti, membuat kepala Lika mendidih. Karena dia pikir Killian sudah melihat tubuhnya tanpa busana padahal laki-laki itu adalah orang asing.
"Laki-laki m***m sialan! Aku akan membalasnya suatu hari nanti." gerutunya sambil menusuk ayam tepung yang sedang dia makan dengan keras.
"Kabarnya ada Dosen tamu baru. Dia seorang CEO dan katanya ganteng banget loh."
"CEO?" Lika terlihat tertarik. "Perusahaan mana?" tanyanya penasaran.
"Cambeland."
"Cambeland?" Mata Lika melotot sambil mengulangi jawaban temannya dengan setengah berteriak. "Kalau benar dia ganteng, berarti harus di coba." Lika menambahkan dengan senyuman tipis.
"Di coba buat apa?" sebuah suara membuat semua orang di hadapan Lika mengatupkan bibirnya.
"Di goda lah, siapa tahu jodoh sama CEO ganteng." balas Lika asal. Tapi matanya membulat begitu dia menyadari suara orang dibelakangnya adalah suara yang dia kenali. Begitu gadis itu berbalik, Killian sudah berdiri disana dengan setelan jas mahalnya. Ada plester di kepalanya dan Lika yang paling tahu dari mana luka itu berasal. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana dan membuatnya persis seperti Model di majalah bisnis.
"Selamat pagi pak Arsalan." sapaan teman-temannya membuat Lika nyaris tersedak makannya.
"Di-dia si-siapa?" bisiknya pada teman di sampingnya.
"Dosen baru yang tadi kita bicarakan. Namanya pak Arsalan." jawaban temannya membuat Lika melotot tidak percaya.
"Kebetulan saya bukan orang yang mudah tergoda, Mahasiswi Lika. Karena itu kamu harus berusaha dengan keras jika ingin menggoda saya." Jawaban Killian membuat semua orang kecuali Lika, mengulum senyum geli, sementara wajah Lika merah padam. "Sampai jumpa di kelas pertama kita semuanya. Salam kenal." Sapa Killian Ramah, kemudian pergi meninggalkan kantin Mahasiswa dengan senyuman puas.
"Siaaal! Nilai mata kuliah bisnis milikku sudah tercium bau pemakaman." Lika menggerutu pasrah sambil terduduk di kursinya dengan lemas.
"Pak Arsalan tidak mungkin menyusahkanmu hanya karena kalimat godaan sederhana seperti itu Lika. Santai saja." ucap Serina menenangkan.
"Masalahnya bukan hanya sesederhana itu Ser." Lika meringis.
"Hah? ada masalah lain?"
"Om-om tua m***m yang aku ceritakan sebelumnya dan aku pukul pakai lampu kepalanya adalah..."
"Nggak mungkin dia kan?" potong Serina cepat dengan nada khawatir sambil tertawa sumbang. Tapi melihat bibir Lika mengerucut sambil memasang wajah ingin menangis, Serina ikut langsung tahu jawabannya. "Tamat sudah Lika. Dia pasti tidak akan membuat kelas menjadi mudah." Desah Serina sambil menatap prihatin ke arah sahabatnya.
"Kehidupan kampusku yang indah sudah tamat Ser!"
***