8. Keajaiban, Akankah Hadir?

1765 Words
Icha memutuskan untuk menyembunyikan penyakitnya. Bukan karena ia ingin menjadi pahlawan, tetapi karena ia tidak ingin beban itu membuat orang-orang yang mencintainya menderita lebih jauh. Ia tahu waktunya tidak lama, dan ia ingin menikmati sisa umurnya tanpa merasa menjadi alasan bagi orang lain untuk berduka. Selama ini, ia sudah terlalu banyak memberi bagi mereka : memberi waktu, memberi harapan, memberi tubuhnya. Ia ingin meninggalkan dunia dengan cara yang lebih tenang. Tanpa air mata, tanpa pertanyaan yang tak bisa dijawab. Mamanya sudah kembali ke Swedia bersama Livia dan Hugo, kembali menyisakan sepi yang menusuk tulang. Kembali Icha harus berdamai dan menjalani hari-harinya seperti dulu, sendiri. Hanya saja sekarang, hidupnya lebih berwarna jika Livia meneleponnya. Setiap kali adiknya, Livia, menelepon melalui video call, Icha mengerahkan seluruh tenaga untuk tersenyum. Sungguh, sebenarnya dia cemburu pada Livia, tapi dia harus pandai tutupi itu. Mereka tertawa bersama, membicarakan hal-hal kecil yang sebenarnya tak terlalu penting, tapi bagi Icha, itu adalah satu-satunya waktu di mana ia merasa hidup sepenuhnya. Livia, juga sang mama dan oma Wijaya, tidak tahu tentang sakitnya, tidak tahu betapa rapuh tubuh kakaknya, tidak tahu sisa umurnya yang tidak lama lagi. Livia hanya tahu bahwa kakaknya adalah pahlawan, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya. Bahkan saat mereka terpisah oleh ribuan kata yang belum sempat diucapkan, Livia selalu memandang Icha dengan tatapan penuh kekaguman. “Aku nggak sabar lihat kamu wisuda, Kak!” kata Livia dengan mata berbinar, seolah berharap melihat Icha berdiri di panggung dengan toga, menjadi wanita sukses yang bisa dia banggakan. Kondisinya semakin membaik, berbanding terbalik dengan dirinya yang semakin ringkih. Icha hanya mengangguk, berusaha menahan getar di tenggorokannya. “Iya, Liv. Aku juga nggak sabar,” jawabnya, suaranya bergetar pelan. “Kamu sehat-sehat ya di sana?” “Tentu! Aku kan harus sehat supaya bisa jaga Kak Icha nanti kalau aku udah jadi dokter.” Livia tertawa ceria, polos, tanpa mengetahui kenyataan bahwa kakaknya hanya punya beberapa bulan lagi untuk bisa melakukan panggilan video dengannya. "Kok jaga Kak Icha, memangnya kakakmu kenapa?" tanya Hugo yang tiba-tiba muncul di frame. "Lihat deh pah, Kak Icha jadi kurus dan pucat banget. Aku takut kak Icha sakit karena aku." Kata Livia, terdengar sedih. Sementara itu, Icha bisa melihat satu sosok di belakang Livia yang juga menatapnya penuh kekhawatiran. "Cha, kamu sakit? Iya, benar kata Livia, kamu tampak pucat." Kata Hugo, menelisik wajahnya. Icha menggeleng, paksakan sebuah senyum lebar terbit, "mungkin karena sibuk dengan skripsi. Apalagi sebentar lagi sidang, jadi tidur agak kurang makanya jadi pucat." Dia membuat alasan yang memang masuk akal. Hugo mengangguk, coba mengamini. Tangan Icha meremas handphone di tangannya. Jika ada yang bisa ia lakukan, itu adalah memberi kebahagiaan kecil seperti ini, memberikan kebahagiaan tanpa mengungkapkan bahwa hidupnya akan berakhir lebih cepat. Dia tidak ingin Livia merasa bersalah karenanya. Seperti dirinya, Livia tidak bersalah. Namun, ada Felicia, seorang ibu yang diam-diam mengawasi, yang lebih sering diam daripada bicara. Ia duduk di dekat pintu, mendengarkan percakapan antara Icha dan Livia dengan hati yang penuh keraguan dan penyesalan. Dia ingin bergabung tapi ragu. Hanya saja, matanya tadi memang melihat kondisi Icha yang pucat dan semakin kurus. Sesuatu di dadanya terasa nyeri, entah apa. Felicia tahu ada sesuatu yang tak beres, dan meskipun ia berusaha untuk tidak mengganggu, hatinya berdebar setiap kali ia mendengar Icha tertawa. Bagaimana bisa seorang ibu yang pernah membuang anaknya, yang pernah memilih menghindar, kini mengharapkan keajaiban bisa terjadi? Semenjak pertemuan keluarga yang terakhir, Felicia mulai sering mengamati Icha dari kejauhan. Ada saat-saat di mana ia ingin berlari memeluknya, ingin mengatakan bahwa ia menyesal, ingin meminta maaf. Tapi semua itu hanya bisa ia lakukan dalam diam, sementara rasa bersalah terus menggerogoti setiap langkahnya. Suatu malam, setelah Icha selesai panggilan video dengan Livia, Felicia duduk di ruang tengah, menatap foto Icha yang diambil Hugo secara candid. Icha sedang tertawa lepas bersama Livia, selang beberapa minggu usai transplantasi sumsum. Gambar itu adalah salah satu foto yang hanya diambil sepintas, tapi Felicia mulai merasakan sesak dan rasa bersalah saat melihat Icha, anak yang ia anggap sebagai kenangan kelam, ternyata berhati mulia. Bak malaikat yang tanpa pikir panjang mengiyakan permintaannya untuk transplantasi sum-sum tulang belakang demi sang adik. “Icha…” Felicia berbisik pelan. “A-aku ingin mendekat. Tapi aku nggak tahu bagaimana caranya.” Felicia menatap nanar kedua tangannya, merasa seolah setiap sentuhan yang ia coba berikan pada Icha akan terasa seperti kebohongan. Tangan yang bahkan tidak pernah sama sekali menggendong Icha sejak dilahirkan karena dia menolaknya, membuangnya. Tangan yang tidak pernah dia gunakan untuk memeluk Icha karena dia sangat membencinya. Lalu, pantaskah jika dia ingin memeluk darah daging yang sempat tidak dia inginkan? Memeluk darah daging yang dia buang? Memeluk Icha dengan segenap penyesalan yang ada? Tapi, setiap kali dia melihat Icha, traumanya akan menyeruak muncul, mengingatkannya pada hari itu. Bagaimana bisa dia bersama Icha jika dia masih mendendam? Hugo mendekatinya setelah video call selesai, dan Felicia hanya bisa menatapnya dengan ragu. Ketegangan di antara dirinya dan Icha sudah begitu lama, dan meskipun ada keinginan untuk mendekat, Felicia merasa seperti berdiri di ujung jurang yang dalam. Ia takut jatuh, takut jika ia mendekat, ia akan menghancurkan kesempatan yang sangat kecil itu. Hugo melihat wajah Felicia tampak lebih lelah dari biasanya, dan ada kesan keinginan yang tak terucapkan di dalam mata istrinya. Tapi Hugo tidak bisa membiarkan Felicia kembali larut dalam perasaan itu. Ia sudah cukup terluka. “Ada apa, Fel?” tanya Hugo, suaranya lembut. Felicia memandangnya lama, sebelum akhirnya menarik napas panjang. “Aku cuma… cuma ingin tahu, apakah dia sungguh baik-baik saja? Atau apakah ada yang dia sembunyikan dari kita?” Hugo tersenyum, tanpa berkata apapun dia mengambil gawainya dan menekan nomor Icha untuk lakukan panggilan video. "Kalau kamu ingin tahu, tanyakan langsung pada Icha. Fel, lepaskan dendam dan ketakutanmu. Icha anak yang baik, sangat baik. Jangan sampai kamu semakin dalam terjerumus jurang penyesalan. Bicaralah padanya, walau hanya bertanya kabar." Felica mendongak, menghapus air matanya tepat saat Icha menjawab panggilan video itu. Icha tersenyum, sebuah senyuman yang terlatih, seperti yang selalu ia tunjukkan saat panggilan video dengan Livia. “Hai, ada apa mah?" "Cha, k-kamu sungguh baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Tanpa sadar, Felicia mengusap lembut layar gawainya. Seolah dia mengusap pipi Icha. Icha terkejut, tapi mampu menguasainya dan menjawab lirih, "aku baik-baik saja, Ma. Mama tidak perlu khawatir ya.” Felicia melihat senyuman itu dan merasa sesuatu yang aneh berdesir di dalam hatinya. Apakah Icha benar-benar baik-baik saja? Apakah senyum itu hanya untuk dirinya, ataukah senyum itu adalah pelindung dari luka yang lebih dalam? Itu saja yang mampu Felicia katakan, selebihnya kembali hantaman bayangan masa lalu menyapanya, membuat tubuhnya menggigil hebat. Selalu seperti itu jika dia teringat kejadian dua puluh satu tahun lalu. Sakit, dendam, benci, marah, bagai gelombang yang datang silih berganti tidak mau berhenti. Hugo yang paham kondisi Felicia, segera mengambil alih gawainya dan mengucap selamat malam pada Icha disertai permintaan maaf. Icha paham itu. Dari sejak dia bisa mencari informasi, dia tahu bahwa dirinya adalah pengingat dari sebuah malapetaka. Bahwa dia harus bisa menerima kenyataan, dirinya bukanlah anak yang diinginkan. Malam itu, Icha berbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang telah terjadi. Ia tahu waktunya semakin sedikit. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Namun, ia ingin memilih untuk tidak mengungkapkannya, bahkan pada orang-orang yang paling dekat dengannya. Ia ingin meninggalkan dunia ini dengan kehangatan di dalam hatinya, tanpa air mata yang tak perlu. Dia bisa mencapai itu, hanya jika ia tidak memberi tahu siapa pun. Ghaniyya dan Senja juga sudah berjanji akan menjaga rahasia ini. Beberapa hari setelah itu, Icha mendapat telepon dari Livia lagi, seperti biasa. Mereka tertawa bersama, saling bercanda tentang hal-hal yang tidak penting, tapi bagi Icha, itu adalah saat-saat terakhir yang ia ingin ingat sebelum semuanya berakhir. Saat itu, ia merasa seolah dunia tidak menghukumnya karena hidupnya, dan itu cukup membuatnya merasa nyaman, meskipun ia tahu itu semua hanyalah sementara. Ternyata, dirinya yang tidak diinginkan ini bisa berguna bagi orang lain, bagi adiknya, yang berbagi darah seorang ibu yang sama. Felicia tetap di balik pintu, mendengarkan percakapan itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa harapan kecil tumbuh dalam hatinya. Mungkin ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki semuanya. Mungkin ada keajaiban yang akan datang, meskipun ia tahu, terkadang keajaiban datang terlambat. * Suatu hari, Felicia mengajak Hugo berdiskusi, ingin memberi hadiah untuk Icha karena dia telah menolak semua pemberian dari oma Wijaya. "Wah, itu ide bagus, Fel. Aku merasa, Icha sangat menjunjung tinggi harga dirinya. Dia tidak mau meminta apapun pada kita sebagai imbalan. Kurasa, dia seperti malaikat yang tak bersayap." "Kira-kira, apa ya hadiah yang dia tidak akan tolak? A-aku ingin memberinya hadiah yang tidak bisa dia lupakan." Kata Felicia, merasa gugup dengan ide yang timbul mendadak itu. "Heuum..., gimana kalau coba telepon simbok saja? Siapa tahu dia paham apa yang Icha inginkan." Felicia mengangguk, segera menelepon simbok yang menjawab, "setahu simbok, Icha sangat ingin umroh. Dia sudah menabung dari hasil kerjanya menjadi asisten dosen, tapi katanya uangnya masih kurang banyak banget karena maunya umroh bareng simbok." Simbok kemudian bercerita betapa Icha menyimpan uang dengan telaten untuk menggapai mimpinya. Felicia semakin keras menangis, tidak menyangka sekeras itu hidup Icha. "Nah, kalau gitu, gimana kalau dikasih hadiah umroh saja, Fel? Icha dan simbok. Kurasa, dia gak akan menolaknya." Saran Hugo disambut anggukan penuh antusias Felicia. Benar saja, pulang dari kampus, simbok yang sudah menunggunya segera menyambut dengan wajah kebingungan, "nduk, itu ada tamu. Katanya penting banget, utusan mamamu. Udah nunggu dari tadi loh." Kening Icha berkerut, tapi segera menemui dua orang, satu lelaki dan satu wanita, yang mengaku sebagai utusan mamanya. "Ada apa ya? Kalian siapa?" tanyanya, penuh selidik. "Mbak Icha, kami diutus oleh nyonya Felicia untuk mengantarkan ini." Si wanita menyodorkan sebuah amplop yang segera dibuka dan dibaca oleh Icha. "B-benarkah ini?" tanya Icha, tampak tidak percaya. "Benar, Mbak Icha. Kami akan membantu semua prosedurnya agar Mbak Icha dan simbok tidak kerepotan. Sepuluh hari lagi keberangkatannya. Nanti latihan manasik akan dilakukan di hotel jelang keberangkatan. Kalau begitu, kami permisi." Keduanya berpamitan. "Apa itu, nduk?" tanya simbok, penasaran. "Mbok, mama Feli kasih kita berdua hadiah umroh dengan travel ustad yang Icha inginkan itu mbok. Alhamdulilah." Icha memeluk simbok dan keduanya luapkan kegembiraan, tak lupa menelepon Felicia mengucapkan terima kasih. Kembali bulir air mata Felicia meluruh melihat kebahagiaan Icha dan simbok. Dia ingin, sedikit demi sedikit bisa mengikis jarak antara dia dengan Icha, dan berharap keajaiban akan datang hingga akhirnya mereka bisa tinggal bersama tanpa dia merasa takut atau trauma, karena Icha adalah darah dagingnya. Bolehkah dia berharap, Icha dengan hatinya yang setulus malaikat, akan memaafkannya? Tapi... akankah itu terjadi? Atau, semua akan terlambat dan kembali dia merangkul penyesalan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD