7. Iblis Berujud Manusia

1354 Words
Setelah melalui tes ini itu yang cukup melelahkan, akhirnya donor sumsum tulang belakang selesai dengan lancar. Icha menjalani prosedur medis itu tanpa keluhan, tanpa syarat dan tanpa permintaan imbalan. Tubuhnya sangat lelah, tapi bukan itu yang membuatnya susah tidur malam-malam belakangan ini. Yang mengganggunya bukan jarum atau nyeri pascaoperasi, melainkan keheningan dari mamanya sendiri. Felicia tetap hadir di rumah sakit, tapi selalu berdiri satu langkah lebih jauh. Tidak pernah terlalu dekat. Tidak pernah terlalu hangat. Ia menyuguhkan senyum sekadarnya, membawakan buah, bahkan mengantar pulang Icha dari klinik. Tapi semua dilakukan dengan keteraturan yang terasa dingin dan kaku. Felicia lebih seperti seorang relawan, bukan seorang ibu yang pernah melahirkannya. Padahal Icha sudah melakukan segalanya. Kurang apalagi? Kurang berkorban apa dia? Ia sudah membuka luka lama. Ia sudah memberi bagian tubuhnya untuk menyelamatkan adiknya. Ia sudah duduk di ruang makan keluarga yang tak pernah mengakuinya. Ia bahkan berusaha menerima anggota keluarga lainnya yang selalu menatapnya seolah ia adalah aib, noda di baju yang seharusnya dibuang setelah dipakai. Namun Felicia tetap menjaga jarak. Seperti seseorang yang takut melihat bayangannya sendiri. Suatu sore, Icha memberanikan diri bertanya. Mereka duduk berdua di balkon rumah sakit usai pemeriksaan reguler, memandangi langit senja yang membakar langit Yogyakarta. “Ma,” ucap Icha perlahan, “kenapa Mama masih jaga jarak sama aku?” Felicia diam. Terlalu lama. Bahkan hembusan angin sore pun terdengar lebih jelas daripada jawabannya yang tak kunjung datang. “Aku nggak butuh jawaban lengkap, Ma,” lanjut Icha. “Aku cuma ingin tahu... apa aku memang benar anak Mama? Atau cuma... donor yang kalian butuhkan dan setelah itu kalian akan kembali membuangku setelah mendapatkan apa yang kalian mau?” Tanyanya, mengiris hati siapapun yang mendengar. Felicia menoleh, dan di balik tatapannya, ada perang besar yang belum juga reda. Rindu, dendam, takut, rasa bersalah sekaligus juga terima kasih, yang berseliweran tanpa arah. Bertabrakan. “E-entahlah. A-aku tidak tahu apa yang kurasakan padamu,” katanya, akhirnya. “Aku hanya... takut padamu.” Icha tercengang. “Takut kenapa?” Sekali lagi rasa nyeri menghunus d**a kirinya. “Karena kamu mengingatkanku pada kejadian hari itu,” jawab Felicia lirih. “Pada suara jeritan yang tak ada yang dengar. Pada tubuhku yang kotor dan hancur. K-kamu... adalah bukti bahwa hari itu nyata. Dan selama dua puluh satu tahun ini, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semua itu cuma mimpi buruk, nyatanya...” Felicia menjeda, mengambil selembar tisu untuk usap air matanya. Ia terisak. Suaranya pecah. “Tapi kamu nyata. Dan kamu baik. Terlalu baik, malahan. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mencintaimu tanpa membenci diriku yang selama ini mengabaikanmu. A-aku, semua rasa itu campur aduk menjadi satu. M-maaf!” kata Felicia menunduk, tangannya gemetar, bahunya naik turun. Dia tidak mau melihat ke arah Icha yang duduk tepat di sebelahnya. Dia tidak mau Icha tahu betapa rapuhnya dia. Kata-kata itu menampar lebih keras daripada penolakan apa pun yang pernah Icha alami. Ia tersenyum perih, mengangguk pelan. Mengerti, sangat mengerti. Tapi juga merasa makin terdampar di dunia yang tak memberi tempat. Mungkin, Tuhan memberinya sakit agar dia kelak tidak lagi menderita. “Aku cuma ingin punya keluarga yang nggak melihatku sebagai akibat,” bisiknya lirih, penuh kesakitan. “Aku ingin jadi seseorang, bukan sisa dari sebuah tragedi, walau memang itu kenyataannya. Aku ingin dicintai... karena aku Icha yang berasal dari rahim mama. Apakah itu terlalu berat?” tanyanya, yang dia sendiri sudah tahu apa jawabannya. Diamnya sang mama semakin menambah luka di dirinya. * Seminggu setelahnya, Oma Wijaya memanggil Icha ke ruang kerjanya. Dinding dipenuhi lukisan mahal, rak-rak penuh buku dan dokumen bisnis. Wajah sang oma tampak lebih lembut dibanding sebelumnya, meski tetap menjaga ekspresi old-money yang sulit dibaca. “Kamu anak yang tangguh,” katanya langsung. “Dan meski kamu datang dari kesalahan... kamu tidak salah.” Icha terdiam. Itu kali pertama seseorang dari keluarga itu mengatakan hal yang mendekati pengakuan. “Karena itu, aku akan membiayai kuliahmu. S2, bahkan S3 berkali-kali di kampus bergengsi di luar negeri, kalau kamu mau. Anggap ini sebagai bentuk tanggung jawab kami yang terlambat.” Oma Wijaya menatap Icha, tajam tapi jujur. “Kamu memang bukan rencana kami, Cha. Tapi kamu bagian dari darah kami. Dan darah itu... tidak akan kami biarkan sia-sia.” Icha hanya bisa mengangguk, tidak menjawab apapun. Yang benar-benar ia inginkan bukanlah biaya kuliah. Ia bisa mencari beasiswa jika itu soal pendidikan. Yang ia inginkan adalah pelukan dari perempuan yang melahirkannya. Pelukan yang belum pernah ia dapat sejak lahir. Ironisnya, justru hal itu yang masih belum mampu diberikan oleh Felicia. Malam itu, Icha kembali ke kamar kecilnya di rumah simbok, satu-satunya tempat yang benar-benar terasa seperti rumah. Ia menatap langit-langit, lalu menulis dalam jurnalnya lagi. "Mereka akan membiayai kuliahku. Akan memberiku gelar, mungkin pekerjaan, nama besar, dan yang lainnya." "Sayangnya, tidak ada yang bisa membiayai kebutuhan jiwaku, yang kurindukan selama ini, sebuah pelukan dari seorang ibu yang tidak gemetar ketakutan saat memanggilku anak." "Aku rindu Mama. Tapi Mama takut padaku. Sepertinya, lagi-lagi, aku harus mencintai diriku tanpa menunggu cintanya datang." Di tempat lain, Felicia melihat foto Icha dari layar gawainya. Ia menangis tergugu malam itu. Bukan hanya karena penyesalan, tapi karena ia menyadari bahwa untuk mencintai anak yang lahir dari luka, ternyata butuh keberanian yang jauh lebih besar daripada melupakannya. Dia berharap, mungkin, cinta itu akan tumbuh... jika mereka saling menunggu sedikit lebih lama. Hugo datang, memeluknya erat, “kamu harus bisa memaafkan dirimu sendiri dulu baru bisa menerima Icha. Bagaimanapun juga, dia lahir dari rahimmu, ada darahmu mengalir di tubuhnya.” * Hari itu keluarga besar Wijaya mengadakan pertemuan di rumah besar mereka — bentuk syukuran untuk keberhasilan transplantasi Nathan. Icha datang bukan karena ingin, tapi karena diundang secara resmi. Kali ini ia tidak datang sendiri. Ia datang bersama dua sahabatnya: Ghaniyya dan Senja. Ghaniyya, memakai kemeja biru gelap dan dikenal sebagai aktivis mahasiswa vokal. Senja, seorang gadis cantik dengan jiwa lembut tapi tajam dalam kata. Mereka adalah keluarga yang Icha dapatkan, dua orang yang tahu seluruh luka Icha, dan tetap memeluknya tanpa syarat. Ruangan itu penuh dengan wajah yang selama ini pura-pura tidak mengenalnya. Oma Wijaya hanya mengangguk tipis saat Icha masuk. Beberapa tante dan om memandang sekilas, lalu beralih membahas rasa makanan katering. Felicia datang terlambat. Ia tampak gugup, menatap Icha seakan ingin mendekapnya tapi tidak tahu bagaimana caranya. Lalu seorang tante bersuara, nyaring, dan mematikan: Membuat dunia Icha lagi-lagi runtuh. “Ah, syukurlah sum-sum tulang belakangnya cocok ya. Untung kamu bisa berguna ya, tapi kamu tahu lah. Bukan dari darah yang sah.” Tawa tipis terdengar. Seperti duri yang disengaja dilempar ke arah luka yang masih berdarah. Icha menunduk. Tapi sebelum ia sempat bicara, Senja berdiri. “Maaf, Tante,” katanya tegas. “Tapi sepertinya kalian lupa, tanpa ‘anak yang tidak sah’ ini, kalian semua cuma akan menangis dan nyalahin Tuhan tiap hari.” Ghaniyya menyusul. Suaranya bergetar karena emosi. “Kalian undang dia, tapi masih bicara seolah dia bukan bagian dari keluarga. Kalian pikir Icha itu sum-sum berjalan, bukan manusia? Dasar kalian ini tidak punya hati! Aku ragu kalian ini semua manusia. Jangan-jangan kalian ini iblis berujud manusia! Bullshit semua dengan segala kekayaan kalian!” Seketika ruangan seperti retak. Ghaniyya menggenggam tangan Icha. “Ayo, Cha. Kita pulang. Tempat yang dingin bukan tempat untuk orang sehangat kamu. Kamu terlalu berharga untuk kumpulan sampah seperti mereka.” Senja menambahkan, “Kami nggak akan biarkan kamu jadi alat. Kamu sudah terlalu banyak memberi untuk orang-orang yang bahkan tak tahu cara mengucap terima kasih.” Mereka bertiga keluar meninggalkan ruangan. Di belakang mereka, suara tangis Felicia akhirnya pecah. Tapi Icha tidak berbalik. Karena ada kalanya cinta tak bisa menunggu seumur hidup untuk ditunjukkan. Malam itu di kontrakan kecil milik Ghaniyya dan Senja, Icha berbaring sambil memandang langit-langit. “Aku takut mati,” lirihnya. “Kita semua takut,” jawab Senja. “Tapi kamu nggak sendiri.” Ghaniyya menepuk punggung tangan sang sahabat. “Icha, kamu akan tinggalkan dunia ini sebagai seseorang yang pernah mencintai, memberi dengan tulus, tapi dikhianati oleh keluarga sendiri.” Malam itu, untuk pertama kalinya, Icha menangis dalam pelukan dua sahabat. Bukan karena sedih. Tapi karena tahu, akhirnya ia memiliki keluarga yang bukan dari darah, tapi dari kasih yang tulus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD