“Kamu yakin dengan hal ini?” tanya Senja dan Ghaniyya sekali lagi pada Icha sebelum memasuki halaman rumah keluarga Wijaya.
Rumah keluarga Wijaya di kota gudeg ini, berdiri megah di tengah perumahan elite di bilangan utara Yogyakarta. Pilar-pilar tinggi, pagar besi otomatis, dan taman yang dipangkas sempurna menunjukkan satu hal: mereka adalah keluarga kaya raya dan terpandang. Setidaknya, di mata orang luar.
Namun di dalam rumah itu, sejak kedatangan Icha bersama Ghaniyya dan Senja, suasana menjadi keruh. Mata-mata yang biasanya menatap penuh wibawa kini lebih sering menyimpan keraguan, bahkan penolakan yang tidak disamarkan. Tatapan mata melecehkan pada Icha, mereka tidak mau repot tutupi.
Mereka duduk di ruang tamu yang luas namun terasa dingin. Di hadapan Icha, duduk sebaris wajah yang asing tapi tak bisa ia tolak sebagai bagian dari dirinya, oma Wijaya, buyutnya, paman, tante, Felicia, Hugo dan Livia. Oma Wijaya, duduk tegak seperti ratu tanpa takhta. Semuanya dari pihak ibunya. Semuanya tahu siapa Icha, tapi memilih diam selama dua dekade lebih. Tidak ada keinginan mereka untuk mencari tahu keberadaan dirinya hingga sekarang, pun karena dia dibutuhkan.
Icha duduk di kursi paling ujung, menunduk sopan. Di kanan dan kirinya duduk Ghaniyya dan Senja, mengapitnya seakan menjadi benteng pelindung Icha. Tubuh mereka sedikit menegang. Ghaniyya sudah mendengar reputasi keluarga ini, kaya, terhormat, tapi dingin dan penuh penghakiman.
"Jadi… ini dia anak dari peristiwa itu," gumam salah satu tante, nadanya dingin dan merendahkan. “Felicia benar-benar bisa menyimpan baik-baik aibnya.”
Icha menggigit bibir. Dadanya sesak, tapi ia tak bersuara. Bukankah ia sudah biasa dilukai? Kata-k********r tak pernah asing. Baginya ini hanyalah hinaan yang harus dia dengar lagi, hanya saja kali ini terasa sangat sakit karena sang mama diam saja.
“Untung kamu masih bisa berguna, ya,” kata yang lain, kali ini seorang pria paruh baya. “Setidaknya bisa menyelamatkan adikmu. Kalau tidak, kami juga mungkin tidak akan pernah mencarimu. Sebuah aib memalukan tanpa guna, noda yang tidak akan bisa hilang.”
Icha mendongak, menatap mamanya yang lagi-lagi diam saja.
“Tapi setelah ini selesai, kami harap kamu bisa menjaga privasi keluarga kami. Jangan membawa-bawa nama Wijaya ke mana-mana. Mengerti?”
Kata-kata itu sangat menampar, tapi Icha tidak terkejut. Ia sudah menduganya. Mereka tidak ingin aib lama mereka terbongkar. Mereka ingin Icha tetap menjadi rahasia, seorang anak yang terlahir dari kerusuhan, bagai noda yang tak bisa dicuci, tapi bisa disembunyikan.
Felicia hanya bisa menunduk. Suaranya tercekat, tak sanggup menyela. Ia sudah bicara pada keluarganya sebelumnya, memohon agar Icha diberi tempat. Tapi di mata keluarganya, Icha adalah pengingat atas kejadian nahas yang ingin mereka kubur dan lupakan.
Ghaniyya berdiri penuh emosi. Suaranya meledak. Andai saja yang ada di situ tahu nama keluarga Ghaniyya, mereka pasti akan bersikap lebih sopan padanya.
“Maaf, ini apa? Rapat keluarga atau pelecehan massal pada Icha, huh? Kalian sengaja merendahkan Icha kan?”
Semua menoleh, terkejut. Senja ikut bangkit. “Kami ke sini karena Icha ingin tetap sopan. Kalian yang membutuhkan Icha tapi begini sikap kalian padanya? Kalian mungkin orang kaya tapi pongah luar biasa. Jangan lupa, dia manusia, bukan barang sekali pakai lalu bisa kalian buang!”
“Jaga bicaramu! Kamu siapa hah, berani bicara di sini?” bentak salah satu tante.
“Kalian ingin tahu siapa kami? Kami temannya. Sahabatnya. Sekaligus keluarganya yang kalian tidak pernah akui tapi kalian cari pada saat kalian butuh! Kami yang bersamanya selama ini, menguatkannya agar dia tidak putus asa!” jawab Ghaniyya lantang. “Kalian semua cuma tahu tubuhnya bisa menyelamatkan adiknya. Tapi nggak ada yang peduli hatinya seperti apa. Aku heran, kalian ini manusia atau bukan sih?”
Icha menunduk makin dalam. Tangannya gemetar. Tapi ketika Ghaniyya dan Senja menggenggamnya erat, ia merasa sedikit kuat.
“Cukup!” suara Oma Wijaya menggema.
Semua terdiam. Wanita tua itu menatap tajam ke arah Icha, lalu mendesah pelan. “Anak ini, Icha, memang lahir dari tragedi tapi tetap ada darah Wijaya mengalir di tubuhnya. Dia juga membawa cahaya. Sayangnya, tidak semua bisa melihat itu. Bersikap sopan semua!”
Ghaniyya menoleh, tersenyum miring. “Kalau begitu, kami pergi. Kami bukan pengemis kasih sayang. Asal kalian tahu, bagi Icha, lebih dari cukup hanya dengan cinta dari kami dan simbok. Toh selama ini memang begitu kan? Dia baik-baik saja sampai kalian semua muncul dan memintanya untuk menjadi donor.”
Ghaniyya, seorang gadis berwajah cantik dengan perawakan tubuh atletis. Jika di darah Icha mengalir darah etnis Tionghoa, di tubuh Ghaniyya mengalir darah bangsawan Malik. Ya, dia salah satu buyut dari eyang Malik, keluarga old money terpandang tapi tetap sederhana.
“Aku akan donor. Itu saja. Tidak lebih.” Kata Icha dengan suara bergetar.
Senja menarik tangan Icha, membantunya berdiri. Dengan langkah mantap, mereka bertiga keluar dari ruangan yang berisi orang-orang bodoh yang hanya tahu cara menghakimi, bukan memahami.
Di luar, langit berwarna oranye indah dengan cahayanya yang menyapu wajah Icha yang masih diam.
“Terima kasih…,” gumamnya, pelan. “Kalian… selalu jadi rumah yang nggak pernah aku punya.”
Ghaniyya memeluknya dari samping. “Cha, rumah bukan tentang darah. Tapi tentang siapa yang tetap tinggal saat yang lain pergi.”
Namun sebelum mereka masuk ke mobil, terdengar suara kecil dan lemah memanggil.
“Kak Icha?”
Seorang anak perempuan kurus, pucat, dengan selang infus di tangan kanannya, berdiri goyah. Livia, adik tiri Icha. Anak yang menjadi alasan Icha bertemu dengan wanita yang melahirkannya, juga satu-satunya yang memanggilnya dengan suara paling jujur.
“Kak Icha, kamu mau temani aku main puzzle nggak? Kata papa, kakak pasti mau main sama aku. Kakak mau kan?” tanyanya polos.
Semua terdiam. Termasuk Felicia dan Hugo yang berdiri di belakang Livia. Icha terdiam. Bibirnya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia melihat seseorang dalam keluarga ini yang tidak melihatnya sebagai beban atau aib. Livia tidak tahu sejarahnya. Yang bocah itu tahu, Icha adalah kakaknya, dan itu cukup.
Icha jongkok untuk menyesuaikan tinggi dengan Livia, tangannya mengusap rambut pirang si adik dengan sangat lembut dengan mata berkaca-kaca.
“Tentu,” jawabnya, “tapi tidak sekarang. Nanti, setelah kamu lebih sehat ya, Liv.” Kemudian dia mencium kening Livia penuh kasih. Berharap, dia juga akan mendapatkan kecupan itu dari sang mama kelak.
Di situlah cinta mulai tumbuh, bukan dari darah, bukan dari garis keturunan, tapi dari kepolosan seorang anak yang tidak diajari membenci.
Felicia menatap kedua anak perempuannya. Ia ingin memeluk, ingin berkata, "Maafkan Mama, sayang...", tapi tenggorokannya terlalu penuh dengan lumpur penyesalan. Dia menangis dalam diam, mencoba memahami betapa dalam luka yang ia biarkan tumbuh selama ini bagi darah dagingnya yang sengaja dia buang.
Malam itu, di kamarnya, Icha menulis lagi dalam jurnalnya.
"Niyya dan Senja benar. Ternyata rumah bukan soal tempat, tapi siapa yang mau membuka pintu. Hari ini, aku tahu ada satu pintu yang terbuka untukku, sebuah pintu kecil dalam hati anak berusia sepuluh tahun yang memanggilku Kakak dengan tulus."
"Livia, aku akan membuatmu sehat!"