Suatu malam di kediaman simbok, Icha terburu-buru ke kamar mandi setelah tadi batuk-batuk. Simbok keluar kamar dengan panik, “Nduk, kenapa? Kamu keselek apa sampai batuk seperti itu?” gedor simbok ke pintu kamar mandi.
Icha masih terbatuk-batuk walau sudah mereda. Di dalam kamar mandi, matanya membola melihat gumpalan darah di tangannya. Di sudut bibirnya juga masih nampak sisa darah juga hidungnya.
“Icha gak papa mbok, masuk angin mungkin.” Katanya, masih dari dalam kamar mandi.
“Ya sudah, habis ini simbok urut ya, kalau perlu dikerokin sekalian. Simbok bikin teh manis anget dulu, kamu segeralah keluar ben gak nambah masuk angin.” Setelah mendengar suara kaki simbok menjauh, Icha membuka pintu kamar mandi dan melangkah ke kamarnya dengan gontai.
Dia duduk di tepi ranjang, mendesah dalam hatinya, “kondisiku semakin lemah. Profesor Yuliani memintaku untuk segera lakukan terapi intensif, tapi… sepertinya itu tidak mungkin aku lakukan.” Icha bermonolog sambil memegang hasil laboratorium yang dia terima bulan lalu.
Sudah sebulan ini, dia sering mengalami migrain berat, muntah di pagi hari, dan sesekali pingsan. Karena kondisi tubuhnya yang semakin lemah, membuatnya memutuskan untuk cek lab tanpa memberitahu simbok.
Hasilnya dia terima kemarin dan mencengangkan dirinya, bak langit runtuh saat itu juga. Dia divonis terkena glioma otak stadium lanjut, tumor otaknya sudah stadium tiga! Di bagian otak yang tidak langsung memengaruhi gerak motorik atau kemampuan kognitifnya, sehingga aktivitas kuliah dan sosial masih bisa dia jalani dengan baik.
“Cha, segeralah berobat. Lakukan terapi intensif untuk mencegah penyebaran tumor. Soal biaya, tidak perlu kamu pikirkan. Yang tidak ditanggung BPJS akan aku bantu, yang penting kamu tetap semangat jalani hidupmu.” Kata Prof. Yuliani pada mahasiswi yang dia paling sayangi karena kecerdasan dan kesantunannya.
“Terima kasih, Prof. Untuk jadwal nanti kita atur lagi ya.”
Icha teringat pembicaraannya dengan Prof. Yuliani untuk mengatur jadwal terapinya. Dan itu minggu depan! Air mata meluruh di pipinya, dia sudah menetapkan pilihan, dia ingin pergi dengan meninggalkan kenangan baik pada mamanya, bahwa dia adalah seorang anak yang bisa berguna walau tidak diinginkan.
Tadi dia selancar di dunia maya mencari info apakah seorang penderita glioma boleh mendonorkan sumsum tulang belakang. Jawabannya bisa karena tumornya tidak menyerang sumsum tulang belakang, dia juga sudah konfirmasi hal ini kepada Prof. Yuliani, yang tentu menyesalkan pilihannya. Si profesor bahkan memaksanya untuk bertemu esok pagi.
Sejak saat itu, dalam doanya Icha hanya memohon untuk bisa memeluk perempuan yang sudah melahirkannya sebelum dia menutup mata. Tidak menyangka bahwa Tuhan menjawab doanya dengan cara seperti ini, dia dibutuhkan agar adiknya mampu bertahan hidup dengan cara dia mendonorkan sumsum tulang belakangnya. Icha yakin, ini sudah takdirnya. Akhirnya dia bertemu dengan mamanya sekaligus berpisah.
*
Ruangan itu dingin. Terlalu putih. Terlalu sunyi untuk kabar yang sebentar lagi akan mengubah segalanya. Icha duduk tegak di kursi, tangannya gemetar halus di pangkuan. Sambil menatap meja dokter yang rapi, ia menanti seperti seseorang yang tahu bahwa badai sedang menunggu tepat di balik pintu.
Profesor Yuliani, dosen pembimbingnya sekaligus kepala klinik neurologi, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.
"Icha… hasil MRI-mu sudah keluar. Kami menemukan massa di lobus temporal kiri. Bentuknya tidak normal, cukup besar…"
Icha tak menjawab. Tapi sorot matanya berubah, seperti daun yang menguning perlahan-lahan, sadar bahwa musim gugur telah tiba.
"Ini kemungkinan besar glioma grade III. Tumor otak ganas, dan sayangnya… sudah mulai menekan area sekitar. Itu menjelaskan pingsanmu, gangguan penglihatan, dan migrain berat yang sering kamu rasakan sebulanan ini."
Hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, pelan dan kejam.
"Berapa lama?" tanya Icha akhirnya, suaranya seperti bisikan dari lubuk terdalam.
"Kalau tidak segera ditangani... mungkin enam bulan. Tapi bisa lebih cepat tergantung progresi."
Icha menutup mata sesaat. Bukan karena takut, tapi karena dadanya terlalu sempit untuk menampung semua kenyataan yang meledak sekaligus.
"Prof., s-saya harus donor sumsum untuk adik yang baru saya ketahui," katanya pelan. “Apa masih mungkin?”
Profesor Yuliani terdiam. “Secara teknis, kalau kamu belum menjalani kemoterapi atau radioterapi, dan sel darahmu masih stabil, itu memungkinkan. Tapi Cha, itu sangat berisiko untuk dirimu sendiri. Sebaiknya, kamu harus segera memulai pengobatan.”
"Prof., maaf, tapi saya tidak akan mulai pengobatan," Icha berkata cepat.
“Kenapa?” tanya sang profesor, duduknya berubah, condong ke arah Icha. Suaranya penuh kekhawatiran.
Icha menggeleng. Matanya jernih, terlalu jernih untuk seseorang yang baru saja divonis sekarat. “Saya mau dia sembuh. Dia mungkin satu-satunya hal baik yang datang dari hidup yang penuh luka ini. Kalau saya bisa berikan dia kesempatan… saya akan lakukan itu. Setidaknya, saya bisa berguna untuk orang lain, walau saya tidak diinginkan, Prof.” Kata Icha, penuh senyum.
Profesor Yuliani terpaku. Dia tahu siapa Icha, karena Icha sudah dia anggap seperti anaknya sendiri. Ia tahu ini bukan keputusan medis semata, ini keputusan seorang anak yang tak pernah dicintai, dan kini akhirnya bisa memberi cinta tanpa pamrih, walau harus membayar dengan hidupnya sendiri.
Profesor itu menggeleng pelan. “Kamu terlalu baik untuk dunia yang terlalu kejam, Icha.”
Beberapa Hari Kemudian
Di kamar kecilnya yang redup, Icha memandangi foto hasil scan otaknya yang ia selipkan di buku catatan. Di halaman berikutnya, ia menuliskan satu kalimat dengan tinta biru:
“Biarlah aku pergi sebagai pemberi kehidupan untuk Livia. Bukan karena aku sempurna, tapi karena akhirnya aku tahu rasanya dicintai, meski hanya sebentar.”'
Lalu ia menutup buku itu, menyimpannya di dalam laci terkunci, dan tersenyum penuh ketenangan, bukan senyum kemenangan. Sebuah senyum seseorang yang tahu… bahwa waktunya memang tak cukup, tapi cintanya akan selalu tinggal.
*
Kamar Icha tidak pernah benar-benar sunyi. Selalu ada tumpukan buku, termos teh hangat, dan senyum Icha yang mengisi ruang kecil itu dengan rasa damai. Tapi hari itu berbeda. Icha sedang keluar untuk membeli cemilan untuk mereka bertiga, meninggalkan Ghaniyya dan Senja yang datang lebih awal.
“Eh, ini buku catatan riset dia,” gumam Senja sambil mengambil binder besar dari meja. Ada sesuatu dalam hatinya yang memaksanya melihat apa isi amplop berwarna putih bertuliskan nama laboratorium terkenal di kota itu. Dia dan Ghaniyya beda fakultas dengan Icha, jadi tentu tidak paham apa riset yang dilakukan Icha. Hanya saja matanya tertumbuk pada amplop super besar itu.
Dia mengambilnya.
Hasil MRI Ischia Anissa Wijaya
“N-niyya…” suara Senja bergetar.
Senja membeku. Selembar kertas besar berisi gambaran otak dan tulisan medis. Ghaniyya menghampiri, membaca cepat. Di pojok kiri atas tertera:
“Diagnosis : Anaplastic Astrocytoma – Grade III Glioma. Prognosis : 6–12 bulan tanpa intervensi agresif.”
Mata Ghaniyya membulat. “Ini… punya Icha? Astagfirullah…”
Tangan Senja gemetar saat ia meraih secarik kertas lain, tulisan tangan Icha di halaman belakang binder itu.
Aku mohon… jangan bilang siapa-siapa. Aku hanya ingin menjalani hari-hari terakhirku dengan senyum, bukan belas kasihan, dari siapapun, bahkan dari kalian yang paling mengerti aku. Biarkan aku lulus. Biarkan aku donor untuknya. Lalu, aku akan pergi diam-diam. Seperti biasa… aku memang tak pernah diminta untuk tinggal, kan?
Ghaniyya menutup mulutnya sendiri, menahan isak yang mulai tumpah. “b*****t… dia selama ini senyum-senyum, padahal tahu dia bakal mati? Sahabat macam apa kita ini, baru tahu hal ini?”
Senja mengangguk pelan, air matanya jatuh tanpa suara. Ia duduk di lantai, mendekap binder itu seperti mencoba menahan waktu agar tidak lagi bergerak.
“Icha… kenapa kamu segini beraninya sendirian?” tangis Senja pecah.
Pintu kamar terbuka perlahan. Icha masuk membawa kantong plastik berisi ayam goreng dan sambal kesukaan mereka. Senyum tipis terukir seperti biasa. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat dua sahabatnya duduk di lantai, wajah mereka banjir air mata. Binder di tangan Senja mampu menjawab semua tanya.
Icha menatap mereka. Wajahnya tidak terkejut, seolah dia tahu hari ini akan datang. “Aku cuma... nggak mau kalian ikut menderita,” katanya lirih.
Ghaniyya berdiri dan memeluknya keras, menahan tubuh kurus Icha yang nyaris runtuh.
“Kamu yang menderita selama ini, Cha,” bisiknya. “Tapi kami lebih menderita lagi melihatmu memilih meninggal sendirian.”
Senja menunduk, menggenggam tangan Icha. “Kalau kamu nggak punya keluarga yang mencintaimu, kami akan jadi itu.”
Malam itu, di kamar kecil yang biasanya sunyi, tiga hati saling menggenggam dalam luka. Tak ada janji untuk menyembuhkan. Hanya keinginan untuk saling mendukung, sampai akhir.