2. Kenapa Aku Ada?

771 Words
“Bagaimana ini ma? Sebentar lagi Feli akan melahirkan. Kita tidak mungkin kembali ke Jakarta dengan kondisi seperti ini. Kasian Feli, mah.” Isak tangis seorang perempuan berusia empat puluhan tahun terdengar. Saat ini sedang ada rapat keluarga, membicarakan apa yang akan mereka lakukan pada bayi yang akan dilahirkan Felicia. “Seharusnya, sebuah kelahiran kita sambut dengan gembira, penuh suka cita. Tidak seperti ini, malah kita sambut dengan duka dan air mata.” “Lalu bagaimana Ma? Apa yang harus kita lakukan?” “Bayi itu tidak bersalah, tidak berdosa sama sekali. Dalam tubuhnya mengalir darah Wijaya, setelah dia lahir, dia akan dibesarkan oleh simbok di kampungya. Dia cucu buyutku, aku akan tetap menafkahinya walau tanpa dia tahu siapa kita.” Putus oma Wijaya dengan suara bergetar. Tangannya yang menggenggam kepala tongkat kayu juga gemetar, menahan emosi. * Dua puluh satu tahun kemudian, di sudut kota Yogyakarta yang damai Langit pagi di Yogyakarta tampak seperti kanvas tua yang dipaksakan cerah. Burung-burung gereja berkerumun di dahan-dahan, berkicau sembarangan, seolah tak tahu ada hati yang pagi itu pecah pelan-pelan. Namanya Icha. Berkulit kuning bersih, cantik, pintar dan bermata sipit, mata monolid khas dimiliki oleh orang-orang etnis tertentu. Sejak kecil, dia terbiasa hidup dalam suara-suara yang tidak pernah memanggil namanya. Sejak kecil pula dia belajar membaca tatapan orang lain, karena kadang diamnya orang-orang lebih nyaring dari hinaan. Icha dibesarkan simbok di kampungnya, diakui sebagai cucu. Simbok, perempuan renta yang memeluknya dengan tangan keriput dan doa-doa tulusnya. Simbok selalu bilang kalau Icha adalah cucunya. Tapi sejak dia mulai bisa mengeja kata "mengapa", Icha tahu ada sesuatu yang disembunyikan. "Mbok, bapak sama ibuku siapa sih? Mereka di mana? Kenapa gak pernah melihatku?” tanyanya di umur tujuh tahun. Simbok diam. Tangannya tetap menganyam daun kelapa, matanya menatap jauh ke jendela. "Kamu itu nduk, titipan Tuhan untuk Simbok," katanya akhirnya. Tapi suaranya seperti serpihan kaca. Tidak jernih. Tidak utuh. Hanya nyeri. Sejak saat itu, Icha tidak lagi bertanya siapa bapak dan ibunya. Dia abaikan hinaan dan cemoohan orang-orang yang berkata buruk tentangnya. Semua dia simpan dalam hati, tanpa sadar membuat luka hati. Hari ini Icha duduk di bangku pojok kelas farmasi, di semester akhir di UGM. Usianya dua puluh satu, dan masih pura-pura baik-baik saja. Jas lab putih yang dia pakai, tak pernah bisa menutupi rasa kotor yang mengerak di dalam d**a. Kadang dia membayangkan, apakah darah yang mengalir dalam tubuhnya ini milik seorang penjahat? Seorang p*******a yang entah masih hidup atau telah mati diludahi tanah? Icha sudah dewasa, sudah mampu berpikir jernih dan menyatukan kepingan teka-teki. Menarik mundur umurnya, penampilan fisik juga selancar mencari info, dia mengambil kesimpulan bahwa ibunya adalah korban kerusuhan dua puluh satu tahun lalu. Maka dia lahir bukan dari cinta, melainkan dari luka yang dipaksa hidup. * Lingkungannya tak pernah tahu siapa ayah Icha. Mereka senang menebak-nebak sekaligus menghina, "eh, si Icha anak siapa sih? Katanya anak hasil... ya gitu deh..." "Makanya, gak usah banyak gaya, gak jelas juga asal usulnya." Icha tidak pernah membalas. Dia takut, kebenaran lebih kejam daripada fitnah. Telinganya sudah lelah, hatinya sudah terbiasa jadi tempat sampah hinaan. Mereka mungkin lupa bahwa di balik senyum yang terpaksa muncul di bibirnya dan IPK tinggi, Icha hanyalah anak dari seorang ibu yang tak pernah bisa mencintainya. Dia hanya mampu menumpahkan apa yang dirasakannya di lembaran buku harian, agar kelak, sang ibu bisa tahu apa yang dia rasakan. Itupun andainya perempuan yang melahirkannya itu ingat bahwa dia ada. “Ayah, kau siapa? Apakah kau tahu kalau aku ada? Atau kau bahkan tak sadar bahwa kau telah menjadikanku dengan paksa?” Kadang dia benci dirinya sendiri. Dia benci nafasnya. Karena setiap kali melihat cermin, dia takut wajah ini adalah potongan wajah orang yang telah mencabik kehormatan sang ibu. “Tuhan, aku tidak pernah minta dilahirkan. Kenapa, kenapa aku dilahirkan seperti ini?” Icha berusaha keras menjadi anak baik, mahasiswa teladan, teman yang ramah, agar dunia mau menerimanya. Tapi ternyata, dunia selalu ingat dari mana dia berasal. Padahal dia berharap bisa menutup luka, tapi orang-orang tak pernah berhenti menguliti. Hari itu, setelah kelas, Icha duduk di taman fakultas, sendirian, kedua sahabatnya, Ghaniyya dan Senja sedang ada perlu. Langit Yogyakarta mendung. Icha menatap satu-satunya foto sang ibu, sengaja dia ambil dari laci di lemari simbok. Rambutnya hitam panjang, cantik, dengan senyum ramah. Icha menarik napas panjang. Entah mengapa, hari itu dadanya terasa sesak, lebih dari biasanya. Mungkin karena besok, kata simbok, adalah hari ulang tahunnya, dan seperti dua puluh satu tahun sebelumnya, tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli. Tak ada ibu yang menyiapkan kue, tak ada ayah yang memeluk sambil berkata, "selamat lahir, anakku". Hanya Icha, dan sepi yang selalu setia menemaninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD