Tak semua anak dilahirkan dari cinta. Beberapa hadir karena luka, karena kebrutalan dunia yang tak memberi ruang untuk pilihan. Icha adalah salah satunya. Sejak ia membuka mata untuk pertama kalinya, dunia sudah memutuskan untuk menolaknya. Ia bukan bayi yang disambut dengan pelukan dan doa, melainkan hasil dari sebuah malam penuh teriakan, darah, dan tubuh yang direnggut tanpa ampun.
Ibunya, seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun kala itu, tak pernah merencanakan Icha. Bahkan tidak pernah menginginkannya. Ia hanya korban, satu dari sekian banyak perempuan yang direnggut paksa kehormatannya dalam kerusuhan besar yang meletus dua puluh satu tahun lalu.
Mirisnya, tidak pernah ada keadilan bagi mereka yang menjadi korban. Hanya seorang bayi yang lahir sembilan bulan setelah tragedi, membawa serta jejak lelaki tak dikenal yang hingga kini tak pernah diketahui siapa.
Seringkali merasa iri pada teman-temannya yang punyai ayah dan ibu lengkap, tertawa bersama, bermain penuh gembira. Tapi tidak dengannya!
Icha tumbuh bersama simbok, perempuan tua yang lebih banyak diam ketimbang bicara tapi menyayangi Icha penuh ketulusan. Simbok tidak pernah benar-benar menjelaskan dari mana Icha berasal, hanya berkata bahwa ia adalah “titipan Gusti Allah” untuknya, sebuah kalimat yang bagi anak kecil tentu tidak punya arti, dan bagi remaja hanya menambah daftar pertanyaan yang tidak terjawab.
Icha diakui sebagai cucu simbok. Dia tumbuh menjadi gadis cerdas. Barangkali karena luka memang pandai membentuk ketangguhan, atau mungkin karena Icha tahu, hidup tak akan pernah adil jika dia tidak memerjuangkannya sendiri.
Di usia dua puluh satu tahun, Icha nyaris menamatkan kuliahnya di Fakultas Farmasi UGM. Ia mahasiswa yang rajin, pendiam, dan tak pernah membuat masalah. Tapi tak seorang pun benar-benar mengenalnya, hanya dua sahabat setia yang selalu bersamanya tanpa pernah merendahkannya, Ghaniyya dan Senja.
Sedangkan yang lain, mereka hanya tahu namanya, IPK-nya yang hampir sempurna, bahkan tugas-tugas makalahnya yang selalu rapi, tapi tidak ada yang tahu beban yang ia bawa sejak lahir. Tidak ada yang tahu bahwa tiap malam ia menutup mata dengan rasa ingin hilang, bukan karena kantuk menyerang.
Dia selalu menjadi bahan bisik-bisik. Di kampus, di asrama, bahkan di ruang praktik.
"Katanya anak haram, gak jelas siapa bapaknya..."
"Ibunya diperkosa pas kerusuhan dulu, serius."
"Pantes, kelakuannya beda. Mana pendiam, kayak nyimpen rahasia besar."
Itu memang benar. Icha menyimpan rahasia besar, bukan karena ia memilihnya, tapi karena tak ada yang pernah memberinya ruang untuk bicara. Tidak ada keluarga yang penuh kasih sayang yang akan melindunginya. Tidak ada bapak yang akan menjadi tameng, tidak ada pelukan ibu untuk menentramkannya. Hanya simbok yang selalu setia bersamanya.
Rasa sakit yang dialami Icha bukan hanya karena ejekan. Yang lebih menyakitkan adalah ketidaktahuan. Ia tidak pernah tahu siapa ayahnya. Tidak tahu keberadaan ibunya, keluarganya. Tidak tahu darah siapa yang mengalir dalam tubuhnya. Yang dia tahu pasti, sesungguhnya dia tidak diinginkan untuk dilahirkan!
Ia menjalani hidup seperti bayangan, ada, tapi tak pernah utuh. Ia bisa menjelaskan reaksi kimia di laboratorium, bisa mengurai struktur molekul obat dengan lancar, tapi tidak pernah mampu menjawab pertanyaan paling sederhana : siapa dirinya?
Pertanyaan itu seakan tidak pernah berhenti mengetuk.
Saat duduk sendirian di taman kampus, saat menatap fotonya sendiri di Kartu Tanda Mahasiswa, saat merapikan lembaran-lembaran makalah di perpustakaan, semua hal itu selalu membawa Icha kembali ke satu titik, sebuah rasa hampa yang tak bisa dihapus dengan logika, sepandai apapun dirinya.
Orang-orang bilang katanya waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi bagi Icha, waktu hanyalah cara lain untuk mengulur sakit. Tahun demi tahun berlalu, tapi luka itu tetap di sana. Menganga. Dingin. Diam-diam membusuk di dalam hati yang tak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk bahagia.
Yang paling ironis, dia tidak pernah meminta untuk lahir. Untuk ada di dunia ini. Untuk apa hidup jika tanpa tahu identitasnya? Tanpa pernah merasakan kasih sayang?
Dia tidak pernah meminta untuk menjadi pengingat bagi sebuah tragedi. Dia tidak pernah memilih menjadi simbol dari sebuah kekelaman yang tak seorang pun ingin mengingat. Tapi di sinilah dia, hidup, bernapas, dan mencoba mencari makna dari keberadaan yang bahkan dianggap aib oleh sebagian orang.
Icha ingin melupakan, tapi bagaimana bisa ia melupakan sesuatu yang bahkan tidak pernah dia ketahui sepenuhnya?
Di akhir tahun terakhir kuliahnya, saat orang-orang lain merancang masa depan, mencari kerja, merencanakan pernikahan, atau liburan, Icha justru berhadapan dengan satu keinginan, mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Bahkan jika itu berarti membongkar kembali luka yang sudah lama dikubur dalam-dalam.
Dan mungkin, itulah awal dari segalanya. Awal sebuah kepahitan hidup yang menambah lara deritanya.