_Aku suka melihatnya khawatir, dengan begitu dia peduli padaku_
Dheana baru menghubungi Erika pagi harinya untuk menginformasikan kondisi Wisnu. Lelaki itu masih terlihat lemas, bahkan suhu tubuhnya belum turun.
“Kenapa belum berangkat?” Tanya Wisnu, saat mendapati Dheana masih berada di rumah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Biasanya Dheana berangkat kerja sekitar pukul delapan.
“Tunggu Kak Erika. Katanya masih di jalan, mau kesini.”
“Kamu boleh berangkat, aku nggak apa-apa kalau kamu khawatir.”
Wisnu meyakinkan Dheana, bahwa kondisinya baik-baik saja, padahal dari raut wajahnya pun sudah terlihat lemas dan pucat.
“Nggak.” Tolak Dheana. “Aku mau tunggu sampai Kak Erika datang,”
“Kenapa?”
“Kak Wisnu sakit, nggak mungkin aku tinggalin gitu aja.”
“Aku bukan anak kecil,” Wisnu terkekeh.
“Memang bukan, tapi sakit nggak kenal anak kecil atau lelaki dewasa. Aku nggak akan berangkat sampai Kak Erika datang.” Tegasn Dheana.
“Oke, oke.” Wisnu tidak bisa memaksa, melihat berapa kerap kepalanya wanita kecil di hadapannya itu membuat ia terpaksa kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa.
“Kak Wisnu mau makan lagi? Aku buatkan bubur.”
“Boleh. Tolong hangatkan dulu, ya?”
Dheana mengangguk.
Tidak memiliki banyak pengalaman memasak, tidak lantas membuatmu Dheana menyerah membuatkan Wisnu makanan. Semalam terlalu asin, pagi ini ia membuat bubur yang lebih mirip nasi kuah. Teksturnya masih berbentuk beras.
“Ini bubur?” Tanya Wisnu dengan senyum.
“Lebih mirip calon bubur.” Balas Dheana.
“Nggak apa-apa makan ini? Nggak beracun, kan?”
“Nggak, Kak.” Dheana menghela lemah. “Pulang kerja aku belikan bubur beneran. Yang enak,” Janjinya. “Sekarang makan calon bubur dulu ya, dikit aja.” Sedikit memaksa, bukan karena usahanya ingin dihargai tapi Dheana ingin memastikan lelaki itu mengisi perutnya dimana penyakit utama bersarang.
“Wisnu!” Terdengar suara dari arah pintu, tapi bukan suara Erika.
Dheana menoleh, dimana ia melihat wanita paruh baya berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya berada.
“Wisnu, kenapa nggak kabarin Ibu kalau kamu sakit.” Raut khawatir sekaligus kesal jelas terlihat di wajahnya.
“Kamu masih simpan nomor Ibu atau rumah, kan?”
“Aku nggak apa-apa, Bu. ”
“Nggak apa-apa gimana? Erika bilang lambung kamu kumat.”
Seperti tidak menganggap keberadaannya, Tati menggeser tempat duduk Dheana untuk ditempatinya.
“Makanan apa ini? Bentuknya nggak jelas.”
Hati mengambil mangkuk dari tangan Wisnu,
“Jangan makan itu, nanti perutmu makin sakit.” Menaruh mangkuk di atas meja kaca dengan cukup keras hingga terdengar suara benturan dari kedua benda itu.
“Ibu siapkan dulu makanan baru, jangan makan itu lagi!” Tegasnya, sebelum Tati beranjak menuju dapur.
“Bisa-bisanya kasih makan anakku seperti makanan binatang seperti itu.” Gerutu Tati yang masih bisa didengar jelas oleh Dheana.
“Jangan diambil hati ya, Ibu memang selalu begitu.”
Dheana tersenyum samar. “Nggak apa-apa. Lagian Ibu Tati bener, masakanku lebih mirip makanan untuk binatang,”
“Rasanya enak ko!”
“Enak dari mana, Kak Wisnu aja hampir muntah makannya.” Dheana mengambil mangkuk, lantas beranjak. “Sekarang sudah ada Ibu Tati, aku berangkat kerja dulu ya.”
“Dhe,” Panggil Wisnu, setelah beberapa langkah Dheana menjauh.
“Masakan kamu enak ko, beneran. Aku nggak bohong.”
“Nggak perlu menghiburku, Kak. Aku memang nggak bisa masak. Tapi aku nggak apa-apa kok, beneran.” Dheana melambaikan tangannya ke arah Wisnu, ia pun pamit terlebih dahulu pada Tati, meski wanita itu tidak meresponnya sedikitpun.
Sampai di tempat kerja pukul sepuluh siang, membuat Dheana merasa bersalah. Pasalnya Bening sudah terlebih dulu sampai, bahkan wanita itu tengah merangkai beberapa buket bunga untuk pesanan hari ini.
“Maaf Mbak, saya datang terlambat.” Sesalnya. Dheana sudah menginformasikan kondisi sebelumnya, mengenai alasan mengapa ia datang terlambat. Bening memaklumi, tidak setiap hari juga Dheana datang terlambat seperti hari ini, terlebih alasan keterlambatannya pun cukup jelas.
“Nggak apa-apa, Dhe. Sekarang bantu aku buat lima buket lagi.”
Dheana segera membuat Bening membuat buket yang tersisa.
“Dia sakit apa?” Tanya Bening.
“Kak Wisnu?”
Bening mengangguk. “Aku nggak ingat namanya.”
“Namanya Wisnu,” Tutur Dheana. “Sakit lambung.”
“Sekarang bagaimana keadaannya?”
“kak Wisnu sudah berada di tangan yang tepat. Ibunya sudah datang.”
Bening menganggukkan kepalanya.
“Kalian masih tinggal bersama?”
Selidik Bening.
“Iya. Untuk saat ini iya, tapi aku sudah berencana untuk mencari tempat tinggal baru.”
“Benar, sebaiknya kamu tinggal terpisah. Bagaimanapun juga Wisnu lelaki dewasa, begitu juga denganmu. Sepertinya dia sudah punya kekasih?”
“Sudah.” Dheana membenarkan.
“Meskipun kekasihnya mengizinkan, kita tidak pernah tahu isi hati yang sebenarnya. Aku mengatakan ini karena kamu sudah kuanggap sebagai adikku. Aku tidak mau kamu terlibat masalah,”
Dheana menganggukkan kepalanya. “Iya, Mbak. Aku sedang mengusahakannya.”
Pernah dengar istilah tidak ada pertemanan murni antara lelaki dan wanita?
Jika bukan salah satunya jatuh cinta, bisa jadi keduanya justru jatuh cinta. Waktu mampu merubah apapun, dari mulai hal yang bersifat tidak mungkin, sampai dengan hal mustahil yang akhirnya menjadi mungkin. Begitu juga dengan perasaan, sekuat apapun Dheana mengelak, jauh di lubuk hatinya ia menyimpan kekaguman pada sosok Wisnu. Mungkin hal tersebut terjadi karena ia tidak pernah merasa diperhatikan.
Disela kesibukannya bekerja, Dheana menyempatkan diri untuk menghubungi Erika.
“Kak Erika di rumah?” Tanya Dheana setelah panggilannya terhubung.
“Nggak. Aku masih di luar kota, belum bisa pulang. Kenapa, Dhe? “
“Nggak, aku mau tanya keadaan Kak Wisnu.”
“Memangnya kamu dimana?” Erika balik bertanya.
“Di toko bunga.”
“Oh, pantesan. Tadi aku sempat tanya, katanya Wisnu di bawa ke rumah sakit. Sakit perutnya belum sembuh.”
“Ya ampun!”
“Nggak perlu khawatir. Dia memang sudah biasa seperti itu, satu atau dua malam nginep di rumah sakit nanti baik sendiri.” Lain halnya dengan Erika yang terkesan biasa saja, Dheana justru merasa khawatir.
“Bandel sih. Makannya nggak dijaga, minum kopi udah kayak minum air putih.”
“Oh gitu ya kak,”
“Kamu bisa jenguk di rumah sakit, nanti aku kasih alamatnya. Oke.”
“Iya kak, terima kasih.”
Panggilan pun terputus.
Selang beberapa menit, Dheana menerima pesan singkat dari Erika. Dimana wanita itu mengirimkan sebuah alamat rumah sakit dimana Wisnu di rawat saat ini.
Ingin rasanya menjenguk dan memastikan keadaannya secara langsung tapi Dheana tidak mungkin datang sesuka hati apalagi saat ini Wisnu berada dalam pengawasan ibunya. Wanita itu jelas menunjukkan ketidaksukaannya, bukan hanya dari sikap tapi dari caranya bicara pun sudah bisa dipastikan Bu Tati begitu membencinya.
Bertambah lagi orang yang tidak menyukai kehadirannya selain Ibu, Iskan dan kini Bu Tati.