15. Feesia dan artinya

1415 Words
_Saat ini aku dilanda takut. Takut tidak bisa melihatnya lagi, padahal sebelumnya hidupku baik-baik saja tanpanya_ “Udah tahu sakit, malah diem di rumah. Makan nggak jelas seperti itu bikin sakit mu makin tambah parah. Kamu bukan anak kecil lagi!” Kesal Tati, “Sakit berobat, jangan tunggu parah baru ke rumah sakit!” Lanjutnya, sesaat setelah Wisnu berada di salah satu kamar rawat. Dokter menyarankan untuk dirawat, setelah memeriksa kondisinya. “Kapan anak itu akan keluar dari rumahmu?” Pertanyaannya yang sama, berulang dan terus ditanyakan. “Iskan dan Ibunya masih di Penang, dia nggak punya tempat tinggal atau keluarga di Jakarta.” “Itu bukan urusan kamu!” Sentaknya dengan nada dan tatapan tidak suka. “Saudara bukan, dia hanya adik temanmu saja. Kamu tidak punya kewajiban untuk merawatnya. Lagipula Ibu nggak suka kamu terlalu dekat dengan Iskan. Sejak dulu lelaki itu selalu memanfaatkanmu!” Wisnu merebahkan tubuhnya, menutup kedua mata dan mengabaikan ocehan sang ibu. “Kamu dan Erika akan bertunangan sebentar lagi, Ibu nggak mau keluarga Dirgantara tahu kamu tinggal dengan wanita lain.” “Dheana sudah aku anggap adik, Mah.” Niat ingin mengabaikan, tapi nyatanya tidak bisa. “Adik? Adik ketemu gede maksudnya?!” Wisnu menghela. “Aku hanya ingin menolong, Bu. Dheana kasihan kalau nggak ditolong, lagipula Erika nggak keberatan.” “Sekarang tidak, tapi nanti? Bagaimana kalau wanita itu menggodamu, memanfaatkanmu untuk kepentingannya.” “Bu, Dheana nggak seperti itu.” “Darimana kamu tahu?! Bahkan keluarganya saja meninggalkan dia sendiri di Jakarta, yang artinya mereka tidak mau membawa gadis itu karena terlalu merepotkan!” Wisnu menatap kecewa ke arah Ibunya. “Kenapa Ibu berpikir seperti itu? Menolong orang yang lagi kesusahan bukan dosa, kita nggak pernah tahu bagaimana kesulitan yang dihadapinya selama ini. Aku hanya menolong, nggak ada maksud lain apalagi sampai menuduh Dheana menggodaku itu salah satu hal yang mustahil terjadi, Bu. Dheana nggak seperti itu.” Wisnu membela Dheana, setelah tinggal beberapa waktu dengan gadis itu, ia mulai tahu bagaimana sifat dan kebiasaannya. Segelas tuduhan yang ditujukan pada Dheana tidak benar. “Lantas mengapa ibu dan Kakaknya pergi tanpa membawanya?! Kalau hubungan mereka baik-baik saja tentu saja mereka tidak akan meninggalkan wanita itu di rumahmu. Nambah-nambah biaya aja!” “Bu, Dheana nggak seburuk itu. Ibu nggak tahu gimana kesehariannya, jadi Ibu nggak boleh menuduh dia sembarangan.” “Kamu membelanya?! Ya Ampun Wisnu, ada apa denganmu ini?! Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, dengan menghadirkan wanita lain di tengah hubunganmu dan Erika nggak baik, bisa saja wanita itu menjadi racun untuk hubungan kalian berdua.” “Aku lelah, perutku sakit. Aku mau tidur,” perdebatan tidak akan pernah selesai, satu-satunya cara untuk menghindar adalah dengan pura-pura tidur. Wisnu merebahkan tubuhnya, menarik selimutku untuk menutupi tubuhnya. Berdebat dengan sang Ibu membuat rasa sakit yang dideritanya kian bertambah. “Kenapa kamu jadi pembangkang?!” Wisnu tidak menjawab, ia memejamkan kedua matanya berharap Ibunya berhenti bicara. Perasaan kesal itu muncul saat Ibunya dengan mudah menilai Dheana tanpa tahu sifat asli Dheana. Wisnu memang jarang berdebat dengan sang Ibu, mungkin karena mereka tinggal di tempat yang berbeda dengan intensitas pertemuan yang bisa dihitung jari dalam satu pekan. Mereka hanya akan bertukar pesan singkat untuk mencari tahu kabar satu sama lain. Selagi dalam kondisi baik-baik saja, Tati hanya memantau keadaan sang putranya dari jarak jauh saja. Begitu juga yang dilakukan Wisnu, ia tetap menunjukkan perhatiannya pada keluarga. Perdebatan kali ini memang bukan meributkan masalah besar tapi sangat menyita perhatian Wisnu. Ia merasa kesal setiap kali Ibunya bersikap kurang baik pada Dheana, padahal ibunya ini terkenal dengan sifatnya yang ramah. Tapi saat menatap Dheana, Ibunya seperti melihat sebuah ancaman besar yang akan merusak hidupnya dan Wisnu tidak suka itu. “Gimana? Mau lanjut?” Tanya Erika, tepat di depan pintu kamar rawat, dimana Wisnu berada. Obrolan lelaki itu bersama ibunya terdengar jelas oleh Erika dan Dheana. “Menurutku sih lanjut aja, aku ada di pihakmu Dhe.” Erika meyakinkan, ia pun menarik tangan Erika dan menggenggamnya erat. “Nggak usah, Kak Erika aja.” Tolak Dheana. Keinginannya untuk menjenguk Wisnu pupus sudah. “Salam aja untuk kak Wisnu,” Dheana pun memberikan buket bunga yang sengaja dirangkainya sebelum datang ke rumah sakit “Titip ini, semoga Kak Wisnu lekas sehat. Aku pulang aja.” Erika menatap sedih, memandangi tubuh kecil Dheana yang secara perlahan menjauh dan menghilang, tidak terlihat lagi. Meski perkataan itu tidak ditujukan padanya, tapi Erika bisa merasakan sakitnya. Dibenci seseorang tanpa alasan jelas memang menyakitkan, bahkan sebelum sempat membela diri, kebencian itu sudah terlanjur tumbuh subur dalam hati. Tidak adil, tapi itulah kehidupan. “Sudah lebih baik?” Tanya Erika, menatap dengan senyum ke arah lelaki yang tengah duduk di atas ranjang. “Ibu mana?” Tanyanya, menatap ke sekitar mencari sosok wanita yang sempat berdebat dengannya. “Pulang. Gantian jagain kamu, sekarang giliran aku.” Wisnu memejamkan mata untuk menghindar, hingga akhirnya ia pun tertidur. Saat terbangun ibunya itu sudah tidak ada di dalam kamar, hanya Erika yang tengah duduk di sofa. Wisnu menoleh ke arah nakas kecil, letaknya bersebelahan dengan ranjang dimana ia melihat satu buket bunga berwarna putih. “Dheana mana?” Tanyanya. Bunga seolah identik dengan wanita itu hingga tanpa sadar Wisnu mencari keberadaannya. “Sudah pulang.” Jawaban yang menimbulkan kekecewaan dalam hatinya. “Dia nggak masuk ke sini, cuman nitipin bunga untukmu.” Erika mengambil buket tersebut. “Bunga Freesia, melambangkan kebebasan, keberanian dan ketulusan. Begitu penjelasan Dheana tadi, saat kami di mobil.” Erika tersenyum. Ia tidak mengerti dunia bunga, baginya semua bunga sama saja dan tidak memiliki arti khusus. Tidak seperti Dheana yang lebih tahu jenis dan arti dari sekuntum bunga. “Dheana bilang semoga lekas sembuh.” Erika memberikan bunga tersebut pada Wisnu. “Dia membelinya dengan uang hasil lembut, jangan dibuang gitu aja. Hargai usahanya.” Lanjut Erika. “Kalau Ibu tanya bunga dari siapa jangan bilang dari Dheana. Bilang saja dariku, harinya sudah cukup berat apalagi setelah mendengar kata-kata kasar dari Ibu tadi siang.” Wisnu menoleh dengan tatapan terkejut. “Iya, kami mendengar obrolan kalian berdua. Dheana langsung pulang dan tidak berani menjengukmu.” Perasaan bersalah itu kembali hadir dalam hati Wisnu. “Aku sangat prihatin dengan kondisi Dheana saat ini, lebih baik biarkan saja dia tinggal di tempat lain. Situasinya akan semakin sulit, saat kamu memaksanya untuk tetap tinggal. Tidak hanya menyakitinya tapi juga Dheana akan terus mendapatkan perlakuan tidak baik dari Ibu.” setelah mengamati, akhirnya Erika pun menyarankan agar Dheana tinggal di tempat terpisah. “Aku tahu kamu khawatir, dia sudah seperti adik kecil untukmu. Tapi kita bisa mengawasinya setiap saat, mematikan Dheana aman dan nyaman tinggal di tempat barunya.” Erika meraih tangan Wisnu dan menggenggamnya. “Bayangkan, dia dibenci tanpa tahu alasannya. Dibuang oleh keluarganya, tanpa tahu sebenarnya dia sudah tidak diinginkan.” Kening Wisnu mengerut. “Iskan ada di jakarta sejak satu Minggu lalu.” “Apa?!” Wisnu terkejut. “Bukannya dia masih di Penang?” “Nggak.” Erika menggelengkan kepalanya. “Dia ada di jakarta.” Dugaannya benar, Iskan dan Ibunya memang sengaja membuang Dheana. Lantas alasannya apa? Salah wanita itu apa sampai mereka tega membuangnya seperti sampah. Jam dua belas lewat dua puluh menit Dheana sampai di rumah Wisnu. Rumah tersebut semakin sepi saja, ditinggal pemiliknya ke rumah sakit. Dheana sempat menghampiri kamar Wisnu, berharap sosok lelaki itu ada di kamarnya seperti hari-hari kemarin. Tapi kamar tersebut kosong, dengan bau harum khas lelaki itu masih tercium. Melihat kamar dalam kondisi berantakan, Dheana pun memutuskan untuk merapikannya. Beberapa piring dan gelas kotor dikeluarkan dari dalam kamar, setelah menyapu lantai dan membereskan tempat tidur. Saat ini kondisinya sudah rapi, hanya tinggal menunggu kedatangan lelaki itu saja. Dheana tidak lantas keluar dari dalam kamar Wisnu, ia justru duduk di tepian tempat tidurnya menatap bantal dan selimut yang sudah disusun rapi. Saat ini Wisnu pasti tengah menjalani perawatan ditemani Erika dan ibunya, tapi Dheana tetap merasa khawatir dan ingin tahu kondisi Wisnu. Perasaan yang seolah terjalin dan bisa dirasakan satu sama lain, tiba-tiba saja ponsel Dheana berdering. Sebuah notifikasi pesan singkat masuk. Dheana segera membukanya, membaca isi pesan tersebut yang membuat senyumnya mengembang sempurna. “Terima Kasih untuk bunganya,” Dheana menatap pesan tersebut dengan senyum tanpa henti di wajahnya. Ia tidak membalas, hanya menatap. “Jangan makan mie terus, ada banyak makanan di lemari pendingin. Sakit mahal, Dhe.” Pesan kedua muncul. “Besok aku sudah pulang, masakin calon bubur lagi ya.” Pesan ketiga muncul, kali ini tidak hanya membuat Dheana tersenyum, tapi berhasil membuatnya tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD