_Seharusnya aku mulai sadar bahwa khawatir ku tidak hanya sebatas kasihan_
“Gimana, jadi kan?” Sri kembali menghampiri Dheana, setelah hampir satu minggu tidak menemuinya lagi untuk menanyakan perihal pekerjaan.
“Gimana ya,” Ragu, masih saja menyelimuti hari Dheana.
“Ayolah, Dhe. Lo butuh uang kan? Nggak mungkin selamanya juga lo numpang hidup di rumah orang.”
Benar.
Tidak mungkin selamanya Dheana tinggal satu rumah dengan Wisnu. Mengingat kejadian beberapa waktu saja sudah membuat Dheana ingin segera mencari tempat tinggal baru.
Perasaan tidak nyaman itu masih dirasakannya. Padahal Dheana sudah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi.
Tapi kilasan bayangan itu terus membayangi pikirannya.
Apa yang salah dengan dirinya?
“Kapan bisa mulai kerja?” Tanya Dheana, secara tidak langsung ia sudah mengiyakan ajak Sri.
“Kapan lo mau?” Sri terdengar bersemangat. “Secepatnya lebih baik.”
“Lusa, gimana?”
“Oke! Gue tunggu, Dhe. Atau gue jemput deh, jam lima setelah lo selesai kerja.”
“Iya.”
Panggilan terputus, dimana Dheana termenung menatap layar ponselnya yang mulai berubah menghitam. Apakah keputusan yang diambilnya saat ini sudah tepat?
Atau justru sebaliknya?
Tapi Dheana merasa tidak nyaman.
Bisa saja Erika dan Wisnu merasa terganggu dengan kehadirannya.
Mereka berdua adalah pasangan kekasih, jenis sentuhan seperti kemarin mungkin saja menjadi hal biasa untuk mereka berdua. Kehadiran Dheana bisa menjadi salah satu penghalang, yang membuat mereka terpaksa menunggu momen tertentu, atau waktu untuk melakukannya.
Mencari pekerjaan baru adalah solusi untuk saat ini, dimana Dheana bisa memiliki penghasilan tambahan dan ia bisa tinggal sendiri tanpa harus menumpang di rumah Wisnu.
Keputusan sudah diambil, harapannya hanya satu. Semoga semua berjalan seperti harapannya. Atau setidaknya ia bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri tanpa harus merepotkan orang lain.
Tidak ada persiapan apapun saat Sri datang menjemput. Jenis pekerjaan yang sangat memudahkan Dheana sebab ia tidak perlu menggunakan ijazah sebagai salah satu bentuk persyaratan kerja.
Sama halnya saat ia bekerja di toko bunga milik Bening. Tidak ada syarat apapun, kecuali datang tepat waktu setiap harinya.
Di zaman sekarang dunia pekerjaan memang menuntut banyak hal, segala jenis formalitas menjadi syarat wajib, bahkan tak jarang perusahaan menuntut banyak hal pada calon karyawannya. Dari mulai yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal pun ada.
Dan saat ini Dheana kembali mendapatkan pekerjaan yang sama sekali tidak menuntut apapun.
Syaratnya hanya berpenampilan menarik dan menurut Sri, Dheana sudah masuk dalam kategori menarik.
“Lo udah keterima, Dhe.” Ucap Sri, sesaat setelah ia keluar dari salah satu ruangan. Mungkin ruangan bos nya.
“Udah gitu aja? Nggak ada interview?” Tanya Dheana.
“Ada. Bentar lagi.”
Dheana lantas merapikan penampilannya. Tidak terlalu buruk, tapi terlampau sederhana. Beruntung saat ini ia memiliki parfum yang bisa digunakan untuk menutupi bau keringat selepas kerja tadi. Di toko bunga memang tersedia pendingin ruangan, tapi tak jarang Dheana hari berada di bawah terik matahari untuk mengantar pesanan buket bunga. Alhasil ia pun berkeringat.
“Tuh, lo di panggil.” Sri menunjuk ke arah pintu, dimana seorang wanita paruh baya yang berpenampilan nyentrik melambaikan tangannya.
“Udah sana, nggak apa-apa. Cuman tanya-tanya biasa aja. Nggak bakalan di apa-apain.” Sri meyakinkan saat melihat keraguan terlihat jelas di wajah Dheana.
“Kamu nggak kemana-mana, kan?”
Takut, adalah hal pertama yang dirasakannya saat ini. Tempatnya masih sangat asing, apalagi dengan situasi gelap dan tertutup. Dheana mukai berpikir macam-macam.
“Gue disini, nunggu lo.” Sri meyakinkan.
“Janji?”
“Iya, Dhe.”
Meskipun ragu, Dheana tetap melangkahkan kakinya menuju ruangan wanita itu.
“Dheana?” Wanita itu mengamati Dheana dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Cantik,” Pujinya.
“Duduk.” Setelah puas mengamati, wanita itu mempersilahkan Dheana duduk.
“Jadi, kamu bersedia bekerja di Bar milik saya?”
Dheana mengangguk.
“Kerjanya sangat mudah. Kamu hanya perlu membuat para tamu membeli minuman sebanyak-banyaknya. Untuk urusan gaji, Sri pasti sudah memberitahukan.”
Dheana kembali menganggukkan kepalanya.
“Untuk pembayaran, kami menggunakan sistem harian. Hari ini kerja, di bayar. Nggak kerja ya nggak dibayar.”
Sri sudah mengatakannya dengan sangat jelas. Dheana paham.
“Dan yang terakhir,” Wanita bernama Paula itu mencondongkan tubuhnya, seolah hendak mengatakan sesuatu rahasia.
“Disini kami tidak memaksa pekerja untuk melayani tamu,” Wanita itu mengacungkan dua jarinya sebagai pertanda. “Kamu boleh melakukannya, tapi kami tidak akan memaksa. Kami akan melindungi karyawan jika ia benar-benar tidak mau terjun ke dunia lendir. Tapi jika sebaliknya, kamu ingin menghasilkan uang jauh lebih banyak lagi dan bersedia terjun, silahkan. Tapi, kami tidak bertanggung jawab jika suatu saat nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”
Dheana merinding membayangkan dirinya terjun ke dunia malam, atau menjual dirinya.
Berada dalam peluk lelaki hidung belang, dimana ia pun belum pernah bersentuhan dengan siapapun.
“Mengerti? Ada yang ingin kamu tanyakan lagi?”
“Tidak.”
“Baguslah. Kamu sudah mulai bisa bekerja hari ini. Untuk seragam bisa minta pada Sri dan untuk gaji kami bisa mengambilnya setelah selesai bekerja nanti jam dua belas.”
Dheana kembali menganggukkan kepalanya. Ia tidak banyak bicara, selain karena sedikit terkejut dengan fakta bahwa ia sudah berada diambang dunia malam, juga karena ia tidak mungkin mundur dan melarikan diri setelah terlanjur mengiyakan.
“Kamu nggak bilang disini ada bagian lendir-lendirnya.” Keluh Dheana.
Sri hanya tersenyum. “Itu pilihan Dhe. Lo bisa nolak kalau nggak mau,”
“Tapi kamu nggak bilang di awal kalau kita bakal satu kerjaan atau bahkan satu lingkungan dengan hal-hal seperti itu.” Kesalnya. Jujur saja Dheana merasa sedikit tertipu dengan ajakan Sri.
“Kembali lagi sama pilih. Kalau kamu nggak mau tolak aja, kecuali kalau mau, trabas aja!” Sri tersenyum menggoda.
Banyak hal yang mengejutkan, selain dengan kenyataan bahwa di tempat tersebut banyak berkeliaran lelaki hidung belang dengan nafsu setinggi gunung, Dheana juga dikejutkan dengan kenyataan bahwa seragam yang dikenakannya terlalu minim. Nyaris mencetak seluruh tubuhnya, apalagi bagian rok yang hanya sebatas paha ditambah belahan yang kian menunjukkan kelulusan kulit Dheana.
Ia hanya bisa mengeluh dan menyesal. Kenapa ia harus mengikuti saran Sri, hanya karena mereka berteman baik. Nyatanya wanita itu justru menariknya masuk ke dalam lembah hitam yang mungkin saja akan mencelakai Dheana.
Jika bukan karena merasa tidak nyaman dengan hatinya, mungkin Dheana akan tetap memilih tinggal di rumah Wisnu. Tapi selain perasaan aneh itu mulai tumbuh subur, juga ia sangat takut tidak bisa mengendalikannya.