_Khawatir saat tidak melihatnya, apakah itu hal normal?_
“Hanya kita berdua?” Tanya Dheana, saat Erika datang menjemput.
“Iya. Girls time!” Erika mengangkat dua tiket nonton, “Hanya kita berdua.” Jelasnya.
“Kak Wisnu nggak mau ikut?”
“Nggak tahu.” Erika mengangkat kedua bahunya. “Nggak nanya juga mau ikut atau nggak.”
Meski bekerja di satu kantor yang sama, Erika dan
Wisnu kadang tidak bertemu.
Seperti hari ini, sejak pagi sampai jam kantor selesai, Erika tidak bertemu dengan kekasihnya itu. Tapi mereka tetap bertukar pesan seperti biasanya.
“Kenapa begitu?”
“Nggak apa-apa, kita berdua aja. Udah lama nggak jalan bareng teman.” Ajak Erika, sambil menggandeng tangan Dheana. “Kamu kan, adik sekaligus teman.”
Dheana menganggukkan kepalanya.
Mereka berdua berangkat menuju salah satu Mall Jakarta dengan menggunakan taksi online.
Erika memiliki banyak fasilitas dari keluarganya, salah satunya mobil. Tapi Erika lebih suka menggunakan taksi online atau di jemput Wisnu.
“bagaimana keadaan Ibu dan Iskan?” Tanya Erika, saat mereka dalam perjalanan.
“Baik. Mungkin.” Dheana meringis, “Aku selalu berharap mereka baik-baik saja.”
Komunikasi yang semakin sulit, membuat Dheana tidak mengetahui bagaimana kondisi Ibu dan Iskan.
“Kenapa mungkin? Memangnya kalian nggak pernah komunikasi?”
“Aku selalu menanyakan kabar mereka berdua, tapi Kak Iskan tidak pernah balas. Mungkin sibuk.” Apapun alasannya, Dheana tetap beranggapan mereka sibuk, sampai tidak sempat membalas pesan darinya.
“Sibuk?” Tanya Erika.
Padahal setiap harinya ia dan Iskan sering bertukar pesan, bahkan beberapa menit lalu pun mereka baru saja bertukar pesan. Tentu saja sibuk bukan alasan, tapi lebih tepatnya tidak mau membalas.
“Iya. Aku yakin sibuk.”
Erika menganggukkan kepalanya, tentu saja ia tidak akan menceritakan yang sebenarnya pada Dheana. Gadis itu pasti sedih mengetahuinya.
“Kak Erika berteman baik dengan Kak Iskan, ya?”
“Nggak juga, tapi sedikit dekat sih.” Erika tersenyum. “Kenapa?”
“Kak Iskan sering cerita ke ibu,”
“Cerita apa?” Selidik Erika.
“Nggak tahu, tapi aku sering dengan nama Kka Erika disebut. Erika cantik, Erika baik dan Erika lainnya. Kalian pasti sangat dekat.”
“Tidak. Kami hanya berteman biasa saja.” Erika menyangkal, meski beberapa kali Iskan pernah mengungkapkan perasaannya.
“Oh, begitu. Kak Iskan pernah minta aku beliin bungan, aku pikir untuk kak Erika.”
“Bukan. Mungkin untuk wanita lain,” Erika mengelak, padahal Iskan memang pernah membelikan bunga untuknya, di hari ulang tahunnya. “Kamu yang beliin, maksudnya pakai uangmu?”
“Iya, Kak Iskan nggak modal. Minta aku yang beli, mana harganya tiga ratus ribu, untung Mbak Ning mau kasih gratis sebagian. Aku hanya bayar seratus ribu, sisanya gratis.” Dheana tersenyum.
“Kamu nggak minta ganti?”
“Nggak,” Dheana menggelengkan kepalanya. “Mbak Ning nggak mau di bayar juga, hikmahnya aku bisa kerja di sana. Sampai hari ini.”
Erika menatap ke arah Dheana. “Kamu baik banget, Dhe.”
“Nggak semua hal buruk itu benar-benar buruk, buktinya karena kejadian hari itu aku dapat kerjaan dan Bos yang baik banget.”
“Syukurlah. Aku ikut senang.”
Tiba-tiba saja Erika merasa begitu kesal, setelah mengetahui bunga yang diterimanya hasil dari jerih payah seorang wanita yang jelas tidak memiliki uang sampai ia rela minta gratisan ke salah satu toko bunga. Meski pada akhirnya Dheana mendapat kebaikan dari usaha yang dilakukan, tapi tetap saja Iskan terlalu memanfaatkan adiknya.
Akhirnya mereka sampai di lokasi tujuan.
“Makan dulu ya, laper.” Ajak Erika.
“Kak Erika saja, aku masih kenyang.”
“Nggak boleh. Kamu harus ikut makan juga.” Paksa Erika.
Makna, nonton, dilanjutkan dengan membeli beberapa pakaian dan make up. Dheana berdecak dalam hati, kapan ia bisa seperti Erika yang tidak pernah mempermasalahkan uang. Apapun yang ingin dibelinya langsung masuk ke dalam keranjang tanpa memikirkan harga. Lain halnya dengan Dheana, ia selalu mempertimbangkan apapun dengan isi dompetnya.
“Mau beli apa?” Tanya Erika.
“Nggak,” Dheana menaruh kembali pelembab wajah ke dalam rak.
“Belum gajian, kapan-kapan aja belinya.”
“Kalau mau ambil aja, aku yang bayar.”
“Nggak usah,” Tolak Dheana.
“Aku punya voucher tiga ratus ribu, udah mau expired. Kalau nggak dipake bakal hangus.” Erika mengambil pelembab yang sudah diletakkan Dheana ke rak. “Habiskan, saja. Aku dapat voucher gratis dari teman Ayah, kamu bisa bantu habiskan.”
Erika sengaja berbohong, hal tersebut dilakukan karena ia merasa bersalah atas perbuatan Iskan beberapa waktu lalu. Jika saja tahu bunga tersebut hasil memeras Dheana, tentu saja Erika tidak akan mau menerimanya dan meminta Iskan untuk mengembalikan uang Dheana.
Awalnya ragu, tapi Erika terus meyakinkan akhirnya Dheana pun mau. Ia mengambil dua pelembab sekaligus, untuk stok beberapa bulan kedepan. Ia pun mengambil satu buah parfum, jika dihitung jumlahnya tiga ratus ribu kurang sedikit.
Saat Erika membayar, Dheana memilih untuk menunggu di bagian luar.
Ponsel Dheana berdering, nama. Wisnu muncul di layar ponselnya.
“Iya, kak.” Dheana menerima panggilan.
“Kamu dimana?” Tanya Wisnu dari seberang sana.
“Di tempat kerja nggak ada, Bos galak kamu bilang udah pulang jam lima tadi. Tapi sampai sekarang belum juga sampai rumah. Kamu dimana?” Cerca Wisnu.
“Aku jalan bareng kak Erika.”
“Erika?”
“Iya. Kak Erika nggak bilang ya?”
“Nggak.”
Tidak berselang lama Erika mendekat. “Siapa?” Tanya Erika.
“Kak Wisnu.”
“Sini, aku mau ngomong.” Erika mengambil alih ponsel Dheana, “Adik kamu aman sama aku,” Ucapnya dengan senyum jahil.
“Nggak lecet, aku bakal pulangin bentar lagi.” Lanjutnya.
“Mau aku belikan sesuatu?” Tanya Erika lagi. Tapi sepertinya Wisnu menolak, sebab Erika langsung mematikan sambungan setelahnya.
“Dia ngambek, ngajak kamu nggak bilang-bilang.” Erika memberikan kembali ponsel pada Dheana.
“Emangnya harus bilang ya?”
“Wisnu itu sama seperti aku, nggak punya saudara, anak tunggal. Jadi setelah kamu datang ke hidupnya, ia merasa punya adik kecil.”
“Oh gitu, tapi aku bukan adik kecil. Badanku mungkin lebih mirip anak sekolah, tapi usiaku sudah dewasa. Udah layak punya suami.”
“Kamu mau nikah muda?” Erika menoleh dengan tatapan menyelidik.
“Mau. Menikah bisa bikin aku punya keluarga, kan? Sayangnya aku belum punya calonnya.”
“Aku justru belum mau menikah.”
Erika tertawa.
“Kenapa belum mau menikah? Aku rasa kak Wisnu lebih dari siap jadi calon suami.”
“Menurutmu begitu?”
Dheana menganggukkan kepalanya.
“Iya, dia baik dan penuh tanggung jawab. Kalau ada yang setipe seperti dia, aku mau.” Dheana tertawa, begitu juga dengan Erika.
“Kalau begitu bagi dua aja gimana? Mau?”
Tawaran yang mungkin tidak di sadari Erika akan benar-benar terjadi. Secara fisik memang tidak bisa dibagi dua, tapi bagaimana dengan hati?
Keduanya sampai di rumah Wisnu tepat pukul sepuluh malam. Lelaki itu menunggu di depan teras, bahkan saat taksi online yang ditumpangi dua wanita itu berhenti di depan pintu gerbang, Wina segera menghampiri.
“Malem banget pulangnya.” Keluhnya.
“Kamu udah mirip bapak-bapak yang mengkhawatirkan anak gadisnya main. Udah cocok tinggal sarungan aja sama panjangin jenggot. Persis bapak-bapak.” Erika tersenyum.
“Maaf nggak kasih kabar sebelumnya, keasyikan sih.” ucap Dheana.
“Aku masuk duluan ya, kak.” Dheana masuk terlebih dulu, sementara kedua orang itu masih berada di teras.
Membawa barang belanjaan yang dibelikan Erika, kebahagiaan yang didapat Dheana hari ini.
Setelah sekian lama akhirnya ia bisa membeli sesuatu yang diinginkannya.
Bukan membeli tapi lebih tepatnya dibelikan.
Merapikan barang belanjaan di meja rias, lantas mandi. Dheana merasa begitu segar. Rencananya ia akan segera tidur, tapi melihat botol minum kosong ia pun berencana untuk mengisinya terlebih dulu.
Lampu ruang tengah masih menyala, pertanda Wisnu beluk tidur. Tapi dimana laki itu, pintu kamarnya tertutup dan di ruangan lain pun tidak terdeteksi keberadaannya. Tapi saat Dheana hendak menuju dapur, ia melewati ruang khusus buku atau ruang yang sering digunakan Wisnu untuk lembur. Di sana Dheana melihat pemandangan yang tidak terduga. Ia segera memalingkan wajahnya, bergegas kembali ke kamar.
Kedua sejoli itu tengah b******u di dekat meja.
Jantung Dheana bergemuruh, detaknya kencang tidak karuan.
Hal wajar yang mungkin kerap dilakukan pasangan kekasih, begitu juga dengan mereka. Tapi kenapa jantungnya bergemuruh kencang, bahkan rasa panas mulai membakar hatinya.
Apakah ia cemburu?