9. Tugas baru

1667 Words
_Seharusnya aku menganggapnya keluarga, tapi hati ini dengan kurang ajarnya meminta lebih_ “Kak Erika, “ Dheana terkejut saat melihat Erika datang. “Sama siapa?” Kedua matanya menoleh ke arah belakang, mencari seseorang yang mungkin ikut bersama. “Wisnu, parkir mobil dulu.” Erika menunjuk ke arah lain. Tidak berselang lama sosok itu pun muncul. Senyum di wajah Dheana merekah sempurna, melihat kedatangan lelaki itu. “Kak Wisnu, gimana? Udah kan?” Tanya Dheana, hal paling utama yang ingin ditanyakannya. “Sudah.” “Apa katanya?” “Terima kasih dan jangan lupa jaga diri baik-baik di sini,” Jawaban yang sudah Wisnu rangkai sejak beberapa menit lalu, saat mobil hendak mendekati toko bunga. Harapannya hanya satu, melihat Dheana tersenyum senang tapi nyatanya setelah mendengar jawaban, raut wajahnya berubah sedih. “Nggak mungkin Kak Iskan bilang begitu.” Keluhnya, menunduk, menyembunyikan sedih yang kembali menghampiri. “Kamu nggak percaya? Oh, jadi kamu pikir Kak Wisnu bohong?!” Wisnu sengaja memasang wajah kesal. “Nggak gitu, tapi aneh aja Kak Iskan ngucapin terimakasih.” “Emang biasa bilang apa?” Selidik Erika, penasaran. “Cari lagi uang yang banyak! Uang segini nggak akan cukup untuk mengobati sakit Ibu!” Dheana mempraktekannya, lengkap dengan gaya dan ekspresi Iskan. “Masa?” Erika menatap tidak percaya. “Tentu saja tidak.” Dheana tersenyum. “Aku cuman bercanda.” Ia lantas mendekati Erika. “Nggak mungkin Kak Iskan ngomong gitu,” ia menoleh ke arah Wisnu. “Kak Wisnu makasih ya udah bantu kirim uang, lain kali aku tambahin lagi uangnya.” Dheana tersenyum, Wisnu tahu wanita itu memang pandai menyembunyikan perasaannya. Buktinya hanya dalam waktu kurang dari satu menit saja, ia bisa mengubah ekspresi wajahnya dengan cepat. Apa yang diucapkan Dheana barusan adalah fakta. Iskan memang mengatakannya tadi. “Bunganya cantik banget,” Erika mengagumi keindahan bunga yang berjejer rapi dari depan sampai bagian dalam toko. Beraneka ragam dan sangat indah dipandang. “Kak Erika suka bunga apa?” Tanya Dheana . Kebetulan jam kerjanya masih tersisa satu jam lagi, ia masih harus menyelesaikan tugasnya merangkai bunga untuk pengiriman besok pagi. “Aku nggak terlalu suka bunga,” Erika mengedarkan pandangannya. “Ibu suka mawar merah,” “Mau aku buatkan untuk Ibu? Dia pasti sangat feminim dan anggun,” Erika tertawa. “Ibu lebih cocok disebut wanita bar-bar dibandingkan anggun dan feminim.” “Masa sih?!” Selidik Dheana. “Kapan-kapan aku kenalin kamu sama Ibu, aku yakin kamu pasti dibuat takjub sama kelakuan ajaibnya.” “Pasti seru punya ibu seperti itu.” Senyumnya mengandung banyak arti, dimana Dheana kerap merasa iri dalam hatinya saat seseorang memiliki sosok Ibu yang tidak hanya sebatas status saja tapi juga sosok yang bisa menjadi teman, pahlawan dan rival. Seru pastinya. “Seru banget. Aku dan Ibu satu frekuensi, kami berdua sering kolaborasi melawan Ayah yang lebih mirip seperti diktator.” Bayangkan bagaimana harmonisnya keluarga Erika membuat jiwa iri Dheana kembali meronta. “Kak Erika beruntung banget,” gumamnya pelan. “Ini untuk ibu Kak Erika.” Dheana merangkai dua tangkai bunga mawar merah. “Belum bisa beliin banyak, uangnya cuman cukup beli dua batang bunga.” Dheana terkekeh. “Baik banget sih kamu,” Erika menerima bunga tersebut dengan senang. “Besok aku gantian traktir, kamu mau apa? Gimana kalau kita nonton?” Ajaknya. Dheana menganggukkan kepalanya, sebagai persetujuan. “Udah lama banget aku tuh pengen adik, eh malah ketemu kamu. Mulai sekarang kamu jadi adik aku ya?” “Eh, ko adik?” “Aku mau bilang ibu ah, mau adopsi adik.” Erika mengusap puncak kepala Dheana. “Lucunya adikku ini!” Ia pun mencubit gemas pipi Dheana. Kelakuan keduanya tidak luput dari perhatian Wisnu. Ia tersenyum melihat tingkah keduanya. Erika sosok wanita mandiri yang kesepian, karena tidak memiliki adik, bertemu dengan Dheana yang juga merindukan sosok seorang kakak. Bukankah mereka saling mengisi satu sama lain? Tapi bisa saja hubungan yang awalnya terjalin dengan baik, justru berakhir tragis. Merasa telah membohongi Dheana, Wisnu dibuat tidak tenang. Gadis kecil itu langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak keluar lagi. Mungkinkah dia marah? Wisnu merasa tidak tenang. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, mungkin saja Dheana sudah tidur. Perasaan tidak nyaman itu sungguh mengganggu, ia tidak bisa tenang. Sampai akhirnya ia sudah berada di depan pintu kamar Dheana, ragu untuk mengetuk tapi ia tidak akan bisa tidur dengan kondisi seperti ini. Mengumpulkan keberanian, ia pun mengetuk pintu. Tidak pernah ia merasa tidak sabaran seperti ini sebelumnya. Dua kali mengetuk pintu, akhirnya Wisnu mendengar suara langkah kaki perlahan mendekat. Pintu terbuka, dimana wanita kecil itu tengah memegang piring di salah satu tangannya. “Kak Wisnu,” ia lantas mengusap bibir, dimana terdapat remahan makanan. “Ada apa?” Ekspresinya selalu berhasil membuat Wisnu tersenyum. “Aku lagi makan, laper.” Ia meringis. “Jendelanya dibuka kok, kamarnya nggak bau.” Bahkan Wisnu mulai hafal kebiasannya, selalu mengkhawatirkan hal-hal sepele. “Kalau makan tuh di luar, jangan di kamar kayak orang sakit aja.” Akhirnya ada alasan untuk menyeret wanita kecil itu keluar dari tempat persembunyiannya. Entah mengapa ia senang menyebutnya wanita kecil, sebutan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Dheana tidak bisa menolak, saat Wisnu menyeretnya ke luar kamar, menuju meja makan. “Makan tuh disini,” Wisnu menarik satu kursi untuk Dheana. “Kamar untuk tempat istirahat aja.” “Iya kak, maaf.” Lirihnya dengan sesal. “Makan apa?” Wisnu tertarik pada isi piring yang sudah tinggal separuh itu. “Nasi uduk.” Jawabnya, lantas kembali melanjutkan makan. “Nggak nawarin?” Beberapa suap terlewat tanpa adanya tawaran, membuat Wisnu kesal melihatnya. “Makanannya udah dingin, kak Wisnu pasti nggak suka. Kak Erika bilang kalian berdua udah makan tadi.” Wisnu menganggukkan kepalanya. Ia pun tidak lapar, tapi melihat cara Dheana menikmati makan tengah malamnya, ia pun tergoda ingin mencoba. “Mau atau tidak, kamu wajib nawarin. Itu namanya kesopanan.” “Kak Wisnu pasti nggak bakal nolak pas di tawarin, aku nggak enak ngasih makanan seperti ini. Jadi emang sengaja nggak nawarin, bahkan rencananya mau langsung habisin.” Dheana mempercepat suapan, “biar nggak nyobain.” Wisnu terkekeh. “Makin gak boleh, makin mau.” Ia lantas mengambil sendok dari tangan Dheana. “Nggak enak, kan?” Dheana mengambil kembali sendok dari tangan lelaki itu, sesaat setelah melihat ekspresinya. “Ngeyel sih!” “Siapa bilang nggak suka,” Wisnu mengelak. “Enak ko!” Ia kembali mengambil alih sendok, untuk membantu menghabiskan makanan yang menurutnya tidak layak makan. Rasanya masih enak, tapi selain dingin, juga nasinya keras. “Kalau mau makan nasi siang, dihangatkan dulu. Disana da microwave, tinggal pencet-pencet aja, nasinya enak lagi.” Nasi yang dimakannya adakah menu sarapan pagi dari Bu Yeni, karena membeli dalam jumlah banyak, Dheana kerap menjadikannya tidak hanya sebagai menu sarapan pagi tapi juga untuk makan siang dan makan malam. “Boros listrik, Kak. Asal rasanya masih enak, dingin juga nggak apa-apa.” Dheana dengan segala kekhawatirannya, jawaban yang sama untuk semua permasalahan hidupnya. Hemat adalah motto Dheana. “Nggak bakal ngabisin listrik seratus ribu hanya untuk menghangatkan sebungkus nasi, Dhe.” “Iya, nggak. Tapi kalau sering dan setiap hari bisa jadi banyak, kan?” “Ish,” Wisnu menjitak kepala Dheana. “Kalau nggak mau pake listrik, kamu bisa pakai kompor. Jangan bilang gasnya mahal!” Dheana tertawa, “Iya Kak, besok-besok mau pakai kompor aja. Katanya gas jauh lebih hemat dibanding listrik.” Melihat senyum di wajah wanita itu membuat Wisnu merasa lega. “Kamu nggak marah?” Tanya Wisnu dengan hati-hati setelah Dheana menyelesaikan makan malamnya. “Marah kenapa?” Keningnya mengerut. “Gara-gara tadi siang Kak Wisnu bohong?” Dheana tersenyum jahil. “Aku nggak bohong,” ia tetep berusaha mengelak. “Aku tahu betul bagaimana kak Iskan dan Ibu, hal yang paling mustahil adalah mendengar kata terimakasih dari mereka, apalagi sampai mengkhawatirkanku disini.” Dheana menghela. “Terimakasih sudah merahasiakannya di depan Kak Erika. Malu kalau sampai ada orang lain yang tahu, bagaimana sikap Kak Iskan. Cukup hanya kak Wisnu saja.” Wisnu menatap lekat ke arah Dheana. “Mereka selalu seperti ini?” “Tidak.” Dheana menggelengkan kepalanya. “Mereka baik,” rautnya terlihat ragu. “Kami pun baik-baik saja.” Bahkan saat Dheana berusaha meyakinkan bahwa hubungan keluarga mereka baik-baik saja, Wisnu justru merasakan sesuatu yang kian janggal. Mungkinkah Iskan sengaja meninggalkan Dheana di Jakarta, dengan kata lain membuangnya secara perlahan. “Tiga juta mungkin tidak ada apa-apanya untuk biaya pengobatan Ibu di Penang, tapi aku sudah berusaha semampuku untuk berhemat. Bahkan selama tinggal disini aku belum sempat membantu kak Wisnu beli air galon, atau gas.” Tatapannya kain tajam, memperhatikan bagaimana wanita kecil di hadapannya bicara. “Jadi, sebisa mungkin menghemat apapun yang ada di rumah ini. Karena aku belum bisa bantu kak Wisnu beli apapun.” Senyum di wajahnya terlihat samar. “Maaf ya kak, sampai hari ini aku masih merepotkan. Tapi aku akan lebih berusaha lagi,” keyakinan dan usaha yang dilakukannya memang terlihat meyakinkan, tapi bukan itu yang dipahami Wisnu dari sosok wanita bertubuh kecil itu. Ia justru terlihat semakin rapuh. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, ia justru terlihat tidak berdaya. Hanya keadaan yang memaksanya seperti ini. “Kamu bisa membantuku merapikan rumah, atau cuci baju kalau kamu mau.” Wisnu menawarkan pekerjaan yang mungkin bisa mengurangi rasa tidak nyaman Dheana. Tawarannya terbukti berhasil, saat melihat kedua bola mata wanita itu membuat. “Beneran? Boleh banget kak, taruh aja pakaiannya di dapur, aku cuci sepulang kerja.” Wisnu menganggukkan kepalanya. “Sekalian bersihkan kamar kamu mau.” “Tentu. Aku mau!” Dheana memang merasa keberadaannya sebagai beban untuk Wisnu, padahal kenyataannya tidak sama sekali. Saat mendapat tawaran itu, Dheana langsung mengiyakan bahkan ia terkesan senang mendapat banyak tugas selain mencari uang untuk keluarganya. “Jadi, jangan sungkan untuk menggunakan fasilitas yang ada di rumah ini. Karena kamu nggak tinggal gratis. Oke?” Dheana menganggukkan kepalanya. “Oke!” Jika itu satu-satunya cara untuk membuat Dheana merasa nyaman tinggal di rumahnya, Wisnu pun terpaksa melakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD