8. Kasihan Dheana

1294 Words
_Aku bisa menganggapnya kakak, tapi tidak denganmu. Debaran ini kian menggila, pantaskah aku tetap memanggilmu Kakak?_ Pagi sekali, Wisnu terbangun saat mendengar suara bunyi nyaring dari arah dapur. Ia lantas keluar kamar, mencari sumber suara. “Dhe, kenapa?” Wisnu lantas segera mendekat, saat melihat Dheana tengah memegangi tangannya, sementara di bawah, di lantai, ia melihat pecahan kaca berhamburan. “Kamu nggak apa-apa?”. Tanya Wisnu lagi, tapi Dheana tidak kunjung menjawab. “Kamu nggak apa-apa?” Tanyanya lagi, dengan tatapan khawatir. “Aku nggak sengaja, piringnya nanti aku ganti.” Suara Dhea bergetar, wanita itu pasti ketakutan. “Kenapa piringnya? Aku tanya kamu baik-baik aja kan?” Dheana menoleh, menatap tatapan mata lelaki itu. “Aku baik.” Jawabnya singkat. Tapi Wisnu tidak lantas percaya begitu saja, ia menarik Dheana ke ruangan lain, membawanya duduk di sofa. “Tangan kamu terluka, Dhe.” Wisnu menemukan luka bakar di jari tangan Dheana. “Kenapa bisa kayak gini? Tunggu sebentar, aku ambilkan obat.” Wisnu lantas bergegas mengambil kotak obat yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berada. “Lain kali hati-hati, jangan sampai terluka kayak gini. Sakit nggak?” Dua jari Dheana memerah, pasti sakit dan panas. “Dhe, sakit nggak?” Wisnu kembali menatap Dheana yang juga tengah menatap ke arahnya. “Kak Wisnu nggak marah piringnya pecah?” “Kenapa harus marah? Aku punya banyak piring.” “Tapi, itu pecah.” Dheana menoleh ke arah pecahan piring itu berada. “Ibu selalu marah, meskipun nggak sengaja.” Ucapnya pelan. Wisnu memperhatikan wajah Dheana lekat-lekat. Ternyata wanita itu lebih mengkhawatirkan piring daripada tangannya sendiri. Hanya sekedar piring yang harganya tidak akan lebih dari seratus ribu, tapi Dheana terlihat begitu ketakutan. “Piring murah, hadiah beli deterjen. Aku punya banyak model seperti itu.” Wisnu tersenyum, berusaha membuat Dheana tidak merasa bersalah. “Sering beli deterjen, piring pun numpuk. Pecah satu nggak ngaruh.” Wajah Dheana masih terlihat tegang. “Minimarket depan sering ada promo, beli dua deterjen dapat satu lusin piring.” “Mana ada begitu, Kak. Bangkrut dong perusahaannya.” Wisnu tersenyum. “Namanya juga promosi, Dhe.” Perlahan Dheana pun mulai tenang. “Maaf, pagi-pagi udah bikin kekacauan. Piring pecah dan berantakan.” “Nggak apa-apa, aku bisa bangun lebih pagi karena keributan yang kamu buat.” Dheana pun tersenyum. “Udah gajian aku ganti, sekarang belum gajian. Nggak ada uang.” “Aku nggak mau di ganti piring,” “Mau aku ganti uang aja?” “Nggak juga.” “Mau apa dong? Boleh apa aja sih, asal jangan yang mahal.” “Boleh apa aja tapi jangan yang mahal, gimana sih?!” Tanpa sadar, Wisnu masih memegang tangan Dheana. Tangan kecil yang selalu terlihat gemetar saat melakukan kesalahan. Sebutan susah diatur dan pembangkangan yang kerap disebut Iskan nyatanya tidak terbukti. Wisnu tidak merasakan dua hal itu ada di dalam diri Dheana. Dimana letak pembangkang yang sering Iskan katakan. “Kak, punya mobile banking?” Dheana menarik tangannya. Ada rasa kehilangan yang dirasakan Wisnu saat ini. Tapi ia pun segera menepisnya. “Ada. Kenapa?” Ia berusaha kembali menormalkan sikapnya. “Mau nitip kirim uang.” “Ke siapa?” “Ke Ibu,” Dheana mengeluarkan beberapa uang kertas dari dalam kantong celananya. “Nggak banyak sih, tapi mudah-mudahan bisa membantu meringankan biaya Ibu di sana.” Wisnu menatap uang yang masih ada di tangan Dheana. “Kayaknya aku nggak bisa langsung pindah rumah untuk satu bulan kedepan. Uangnya belum cukup, nggak apa-apa kan aku disini. Sampai satu bulan aja.” “Memangnya kamu mau kemana, kamu tetap tinggal disini sampai Iskan kembali.” Jika saja Wisnu adalah Kakak kandung Dheana, tentu saja ia tidak akan menerima uang tersebut dan lebih memilih untuk membiarkan Dheana menggunakannya untuk kepentingannya. “Tapi Kak Iskan nggak ngasih kepastian kapan dia akan kembali. Aku nggak mungkin tinggal disini sampai Kak Iskan kembali. Terlalu lama.” Terlalu lama? Bahkan dua Minggu berlalu tanpa terasa. Wisnu merasa memiliki seseorang yang menjadi alasannya untuk pulang lebih cepat atau membeli makanan setiap kali pulang kantor. Perlahan ia mulai terbiasa bahkan menikmati kehadiran Dheana di rumahnya. “Secepatnya aku akan cari uang tambahan, biar bisa cari tempat tinggal sendiri.” “Terserah kamu, tapi jangan terlalu memaksa kalau belum sanggup.” Dheana menganggukkan kepalanya. Ingin menolak dan melarang, tapi Wisnu enggan melihat wajah itu murung. Senyum manis yang kini sering terlihat di wajahnya jauh lebih baik. Kenyataan bahwa wanita kecil itu akan mulai membuka sayapnya dan pergi mencari kehidupannya sendiri itu masih dalam tahap rencana, Wisnu bisa mencari alibi lain untuk menahannya nanti. “Titip uangnya ya, Kak. Aku mau beresin piring dulu.” Wisnu menganggukkan kepalanya, setelah mulai mengenal sosok Dheana, Wisnu akhirnya mengerti. Wanita kecil itu tidak suka di kekang, di kasihani atau dianggap tidak mampu. Senyum di wajahnya akan semakin lebar, saat Wisnu membiarkannya melakukan apa saja. Termasuk merapikan pecahan piring tadi. Wisnu ingin menggantikannya, mengingat luka bakar di jarinya masih sakit, tapi wanita kecil itu akan langsung memasang wajah sedih. Wisnu tidak suka melihatnya. “Lo dimana?” Tanya Wisnu saat panggilannya terhubung. Suara tawa terdengar dari seberang sana. “Di Penang lah, Lo kira gue di kantor lagi minum kopi sambil lihatin si Geby?” Lelaki itu masih ingat kebiasaannya setiap pagi, di kantor. “Lo butuh duit?” Tanya Wisnu lagi “Untuk saat ini tidak, nggak tahu satu bulan kedepan saat isi dompet gue mulai menipis. Kenapa? Lo mau pinjemin gue duit? Wah,,baik banget sih Lo!” Tawa Iskan semakin kencang terdengar. “Gue nggak akan sungkan, kalau udah saatnya. Tenang aja,” “Dheana ngasih gue duit.” Tawa Iskan berhenti seketika. “Lebih tepatnya dia nitip duit untuk Lo dan Ibu.” Jelas Wisnu. “Anak itu beneran ngasih duit?” Nadia bicaranya terkesan mencibir. Wisnu tidak suka mendengarnya. “Banyak?” Tanya Iskan. “Tiga juta.” Wisnu menyebut nominal uang yang diberikan Dheana tadi pagi. Sebelum berangkat kerja, Dheana sempat menghampirinya lagi untuk memberikan sisa uang yang dimilikinya. “Lumayan. Duit darimana dia? jual diri?” Iskan kembali tertawa. Tanpa sadar Wisnu mencengkram ponselnya dengan begitu kuat. “Memangnya ada yang mau beli dia? Tipis, tepos gitu.” Bukankah ucapannya sudah termasuk dalam kategori pelecehan? Bahkan pada adiknya sendiri. “Duitnya mau di kirim atau nggak?” Obrolan yang sudah tidak mengenakan harus segera diakhiri. “Kirimlah! Gue dan ibu butuh uang.” Bahkan setelah melecehkan, lelaki itu masih menginginkan uang Dheana. “Suruh dia kerja lebih giat lagi, tiga juta di Penang nggak ada apa-apanya. Disini serba mahal,” Sebelum Iskan melanjutkan ucapannya yang bisa menyulut emosi Wisnu lebih besar lagi, ia pun segera mematikan sambungan. Dengan cepat Wisnu mengirim uang tersebut, tanpa kurang sedikitpun. Meksi uang tersebut bukan hasil jerih payahnya sendiri, tapi ia ikut merasa tidak terima apalagi saat Wisnu mendapatkan pesan singkat berupa ucapan terimakasih yang dibuat-buat Iskan. Harusnya ucapan terimakasih itu di tujukan pada Dheana, karena ia berhasil menghemat kehidupannya di Jakarta hanya untuk membantu ibu dan Kakaknya. “Sayang, kita jalan yuk.” Ajak Erika, wanita itu menghampiri ruang kerjanya. “Udah lama nggak jalan bareng. Ada film baru juga, aku udah beli tiket.” Wanita cantik itu mengeluarkan dua tiket dari dalam kantong jas yang dikenakannya. “Kayaknya hari ini nggak bisa,” tolak Wisnu. “Kenapa?” Raut wajah Erika terlihat kecewa. “Dheana sakit,” alasan yang keluar begitu saja dari bibirnya, sebab wanita itu yang ada dalam pikirannya sejak tadi. Wisnu ingin segera melihatnya. “Sakit apa?” Tanya Erika. “Tangannya terbakar,” “Ya ampun! Kalau gitu aku ikut kamu. Kasihan sekali dia,” “Maaf ya, lain kali kita nonton bareng.” Erika menganggukkan kepalanya, “Nggak apa-apa. Kasihan Dheana. Ayo,” ajak Erika. Keduanya pun berangkat bersama menuju tempat kerja Dheana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD