_Kehangatan yang kutemui justru bukan dari keluargaku_
“Kamu siapkan kompor dan lain-lain, kami beli bahan-bahan makanannya. Nggak lama ko,” Erika mengambil kunci mobil, di ikuti Wisnu dari arah lain. “Nggak apa-apa kan, sendirian?” Erika memastikan, Dheana tidak takut atau kesepian di rumah seorang diri.
“Atau mau ikut?” Ajak Wisnu.
“Nggak usah kak, aku di rumah aja siapin alat-alatnya, kalian pergi belanja.” Dhea menolak ajakan Wisnu, ia lebih memilih di rumah saja untuk melakukan tugas lain agar rencana BBQ yang diusulkan Erika berjalan lebih cepat. Pasalnya Wisnu sudah terlanjur lapar, begitu juga dengannya.
“Ya sudah, hati-hati ya. Kami belanja di supermarket terdekat, biar nggak makan waktu.”
Dheana menganggukkan kepala, setelah mereka berdua pergi, lantas ia melakukan tugasnya. Diantaranya mengambil kompor portable dan beberapa barang lainnya.
Sementara itu Erika dan Wisnu mencari supermarket terdekat untuk membeli daging dan sayuran.
“Dheana gimana?” Tanya Erika, saat mereka dalam perjalanan menuju supermarket.
“Baik.” Jawab Wisnu singkat, ia menoleh ke arah kekasihnya dengan senyum menggoda.
“Baik aja?”
“Memangnya kenapa? Cemburu?”
“Nggak lah. Mana mungkin kamu suka anak di bawah umur seperti dia.” Erika berusaha menyingkirkan segala prasangka buruk, ia tidak ingin mengotori hatinya dengan segala tuduhan yang tentunya tidak terbukti.
“Dia sudah cukup umur, untuk masuk dalam kategori dewasa. Usianya sudah dua puluh satu tahun, tubuhnya saja yang kecil.”
Erika memasang wajah kesal. “Kamu suka dia?”
Wisnu tertawa. “Nggak lah, dia adik aku.”
“Adik ketemu gede.”
Wisnu mengacungkan ibu jarinya, lantas mengusap puncak kepala Erika. “Cemburu ya?”
“Nggak ih,” Erika mengelak. “Aku percaya kamu kamu, nggak mungkin kamu berkhianat.” Seolah tengah menenangkan dirinya sendiri, Erika terus berparas baik, sebab ia yakin saat kita berprasangka baik pada seseorang, maka yang terjadi pun akan sama baiknya.
“Gitu dong, baru pacarnya aku.” Wisnu menarik tangan Erika dan mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Iskan nggak ada kabar?” Tanyanya lagi. Hatinya mulai kembali merasa tenang, setelah Wisnu terlihat meyakinkan.
“Belum. Terlahir balas pesan empat hari lalu.”
Erika menganggukkan kepalanya, “Ke aku juga balas pesan sekitar lima hari lalu kalau nggak salah. Katanya ibu sudah mendapatkan perawatan disana.”
Wisnu menganggukkan kepala. Intensitas komunikasi antara dirinya dan Iskan memang tidak seintens saat lelaki itu masih tinggal di Jakarta. Iskan memang sempat mengatakan dalam waktu dekat akan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan kontrak kerja dengan salah satu perusahaan, tapi sampai hari ini lelaki itu tidak kunjung kembali. Mungkin situasi dan kondisi ibunya yang memungkinkan Iskan tidak dapat kembali dalam waktu cepat.
“Aku mulai curiga mereka memang sengaja meninggalkan Dheana,” Erika mulai mencurigai Iskan dan Ibunya yang tega meninggalkan Dheana di Jakarta sendirian.
“Dheana bukan anak kecil yang merepotkan lagi, dia sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Bahkan Dhea terbilang sangat mandiri, tapi mereka justru meninggalkannya dengan alasan repot.”
Wisnu pun sempat berpikir seperti itu. Bagaimana mungkin seorang ibu dan Kakak tega meninggalkan seorang gadis sendiri di jakarta, apalagi lebih percaya menitipkannya pada orang lain ketimbang membawanya ke Penang.
“Mungkin biaya yang jadi kendala, apalagi tinggal di luar negeri butuh biaya yang tidak sedikit.” alasan yang masih sangat masuk akal, meskipun tidak menghilangkan berbagai kejanggalan yang terjadi.
“Bisa jadi. Cuman nggak masuk akal aja,”
“Kita nggak tahu apa yang terjadi, yang harus kita lakukan adalah menolong Dheana. Oke,” Wisnu mengusap wajah Erik dengan lembut, hingga membuat wanita itu mengangguk dan tersenyum.
“Pacarnya Erika baik banget sih. Pante aja Ibu bilang kamu itu menantu idaman.”
Wisnu terkekeh, “Ibu atau Mamih nih yang bilang gitu?!”
“Ibu. Mamih kan si paling no komen.”
Wisnu memang sudah mengenal baik keluarga Erika, meskipun sampai saat ini belum ada pembicaraan serius mengenai kelanjutan hubungan mereka berdua tapi hubungan yang terjalin sudah lebih dari sekedar serius.
Tiga puluh menit berlalu, mereka kembali dengan membawa banyak makanan.
“Untukmu,” Wisnu memberikan satu pak plester. Dheana menatap bingung ke arahnya.
“Tangan kamu terluka lagi,”
“Oh,”
“Oh doang, makasih gitu.” Wisnu tersenyum.
“Makasih, Kak.” Ucapnya gugup. Bahkan saat ia berusaha menutupi luka di tangannya, Wisnu justru menyadarinya.
Acara makan malam kali ini sangat berbeda, selain karena hidangannya yang terlihat begitu istimewa juga karena Dheana merasakan bagaimana suasana makan malam yang menyenangkan. Baginya makan malam sendirian sudah menjadi kebiasaan, tidak ada orang yang bersedia menemaninya mengisi perut saat lapar atau hanya sekedar bertanya apakah ia sudah makan atau belum.
“Enak nggak?” Tanya Erika.
“Enak.” Balas Dheana.
“Kalau begitu makan yang banyak, badan kamu kurus begitu.” Erika mengambil beberapa potongan daging, lantas menaruhnya di piring Dheana.
“Terima kasih, Kak.”
“Kayaknya kita harus sering-sering makan bersama kayak gini.”
Wisnu menganggukkan kepalanya, sebagai persetujuan.
“Besok aku belikan lagi daging yang banyak, kamu suka kan?”
Dheana hanya mengangguk, bukan hanya daging yang disukainya tapi juga arti kebersamaan yang baru dirasakannya.
“Kak Erika,” setelah makan malam usai, kini giliran mereka berbagi tugas merapikan beberapa perabotan kotor. Wisnu bertugas membersihkan teras, sementara dua perempuan itu bertugas mencuci piring.
“Iya. Kenapa?” Erika menoleh dengan tangan penuh busa. Sementara Dheana bertugas membilas piring.
“Rencananya aku mau ambil kerjaan baru.”
“Dimana?”
“Tempatnya belum pasti, tapi gajinya lumayan.”
“Kamu harus pastiin dulu ya, jangan main ambil aja. Waspada itu perlu meskipun pada teman sendiri.”
Dheana menganggukkan kepalanya, “Aku minta pendapat Kak Erika.”
“Kalau kamu sanggup dan pekerjaannya nggak berbahaya aku setuju saja. Tapi ingat, keselamatan dan kesehatan kamu nomor satu jangan mengabaikan dua hal itu hanya untuk memenuhi keinginan. Oke?!”
Dheana tersenyum.
Ia memilih untuk bercerita pada Erik, menurutnya pendapat sesama wanita jauh lebih masuk akal. Tapi selain itu juga, Dheana ingin lebih dekat dengan Erika dibanding Wisnu karena sesama wanita tidak mungkin terjalin ketertarikan. Dheana normal.
Tapi dengan Wisnu, ia tidak bisa memastikannya, mungkin saja perasaan aneh yang kerap muncul dalam hatinya adalah bibit dari perasaan suka. Dheana tidak ingin hal tersebut terjadi.
“Kalau aku cerita apa aja, Kak Erika mau dengar kan?”
“Tentu. Kamu bisa cerita apa saja. Aku siap mendengarnya.”
Mendapati seseorang yang bersedia mendengarkan segala keluh kesahnya adalah kewajiban. Dheana tentu tidak akan melibatkan Erika dalam beban kehidupannya tapi setidaknya ia ingin memiliki satu saja teman di dunia ini yang bisa diajak berbagi atau saling bertukar pemikiran. Selama ini Dheana memikul semuanya sendiri.