Dheana suka saat jam pulang kerjanya bertambah, dalam artian ia pun akan mendapatkan uang tambahan.
“Sepuluh buket bunga mawar merah.” Bening menunjukkan gambar dari ponselnya.
“Mirip seperti ini, ya?”
Sudah terbiasa bahkan Bening tidak pelit ilmu bagaimana cara merangkai bunga menjadi satu buket mawar cantik yang begitu indah dipandang.
“Baik, Mbak.”
Dheana mengangguk patuh, menatap beberapa saat gambar lantas mengingatnya. “Ada uang lembur.”
Dheana hafal betul bagaimana kebaikan Bening, wanita itu selalu memberi uang lebih untuk setiap waktu yang diluangkan Dheana.
“aku titip uang ya, nggak lama lagi ojek online datang menjemput dua buket bunga itu.” Tunjuk Bening pada dua buket yang sudah selesai di rangkai. “Ini uangnya. Nanti tinggal kasih aja. Aku udah kasih alamat lengkapnya.”
“Baik, mbak Ning.”
Wanita berambut merah terang itu lantas masuk kedalam ruang kerjanya, sementara Dheana menunggu ojek online dan menyelesaikan tiga bunga lainnya. Lima belas menit berlalu, Dheana mendengar suara motor dari arah depan, jarak antara toko dan jalan utama tidak terlalu jauh, hanya butuh beberapa langkah saja. Dheana segera kedepan untuk memastikan.
“Ojek online ya, tunggu sebentar bunganya saya ambil dulu.” Mudah dikenali dari jaket yang dikenakan lelaki itu, dipastikan dia adalah ojek online yang dimaksud. Setelah mengambil dua buket bunga, Dheana kembali menghampiri dan menyerahkan bunga tersebut beserta uang titipan Bening.
Tidak berselang lama setelah satu ojek pergi, datanglah ojek yang kedua. Dheana tidak tahu apakah orang tersebut datang untuk mengambil pesanan buket lainnya, tapi saat motor berhenti tidak jauh darinya ia lantas mendekat.
“Buketnya belum selesai, Pak. Bisa tunggu lima menit lagi?” Ucapnya.
“Emang aku kelihatan kayak tukang ojek Ya?” Sosok itu membuka helm yang dikenakannya, Dheana terkejut saat melihat sosok yang memasang wajah kesal ke arahnya.
“Kak Wisnu, maaf. Kukira ojek online,”
“Ada gitu ojek online sekeren ini?” Wisnu melipat kedua tangannya dan menatap tajam ke arah Dheana.
“Nggak ada. Kak Wisnu terlalu keren untuk jadi tukang ojek” Dheana tersenyum, berusaha mengalihkan kekesalan Wisnu.
“Nah itu tau!”
Melihat lelaki itu kembali tersenyum, membuat Dheana ikut tersenyum juga.
“Kenapa nggak pulang?” Tanya Wisnu.
“Lembur, Kak sebentar lagi pulang.”
“Kalau pulang kerja gelat tuh bilang, jangan bikin orang khawatir.” Wisnu turun dari atas motor dan menjentikkan telunjuknya ke arah kening Dheana.
“Maaf Kak, nggak sempat bilang.”
“Kirim pesan atau telpon cukup dua menit ko, Dhe. Jangan dibiasakan pulang telat tapi nggak bilang.”
“Iya, Kak. Maaf,” Dheana memang sengaja tidak memberi kabar, hal tersebut dilakukannya karena ia merasa Dheana bukan hal penting untuk Wisnu. Kapan dan jam berapa pun dirinya kembali, lelaki itu tidak akan peduli. Ternyata dugaan Dheana salah. Wisnu justru merasa khawatir saat mendapati Dheana tidak kunjungan pulang seperti biasanya. Bahkan saat Wisnu berusaha untuk menghubunginya pun, Dheana tidak kunjung membalas atau menerima panggilan darinya.
“Masih lama nggak?”
“Nggak kak, tinggal bikin satu buket lagi. Kak Wisnu bisa pulang duluan. Nanti aku pulang naik ojek.”
“Aku datang kesini untuk jemput kamu, kalau pulang sendiri ngapain jauh-jauh datang kesini.” Keluh Wisnu, nyaris saja ia kembali memukul kening Dheana, sayangnya wanita itu sudah terlebih dulu menghindar.
“Tapi, Kak.”
“Udah sana beresin kerjaannya, setelah itu pulang. Anak kecil nggak boleh berkeliaran di luar malam-malam.”
Dheana berdecak. “Aku bukan anak kecil.” Kesalnya, sebab Wisnu masih saja menganggapnya sebagai anak kecil.
Wisnu mengikuti Dheana menuju toko bunga, ia mengambil sebuah bangku yang sering digunakan untuk para pembeli. Wisnu sengaja menempatkan kursi tidak jauh dari tempat Dheana berada.
Kedua matanya menatap penuh kagum ke arah Dheana saat kedua tangan kecilnya begitu lihai merakit setiap tangkai bunga menjadi satu bentuk buket yang begitu indah. Sesekali Wisnu tersenyum, mengamati bagaimana Dheana bekerja.
“Sudah selesai,” Hanya dalam hitungan menit Dheana selesai merangkai satu buket terakhir.
“Udah bisa pulang kan?” Tanya Wisnu.
“Sudah. Tunggu sebentar, mau pamit sama Mbak Ning dulu.”
Wisnu menganggukkan kepalanya, menatap punggung kecil itu berjalan menjauh ke arah ruangan lain. Hanya berselang beberapa menit saja, Dheana keluar bersama seorang wanita berambut merah yang diyakini Wisnu sebagai si pemilik toko bunga.. Wanita itu menatap penuh selidik ke arah Wisnu, tatapan yang lebih mirip seperti tatapan seorang kakak saat sang Adik memperkenalkan kekasih barunya.
“Dia Kak Wisnu.” Dheana menunjuk ke arah Wisnu. “Kakakku.” La lanjutnya.
“kamu mau pulang sama dia?” Tanya Bening.
“Iya, kami tinggal satu rumah.”
“Oh, kami tinggal satu rumah dengannya?”
“Benar.” Bening kembali menatap ke arah Wisnu, tatapannya jelas tidak menunjukkan keramahan. Bahkan tatapan tajam dan sinis terlihat jelas di kedua matanya.
“Ya sudah. Kabari aku kalau sudah sampai. Uang lemburnya mau sekarang atau besok?”
“Besok saja, Mbak.”
“Oke. Hati-hati.” Bahkan Bening tidak memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, wanita berambut merah itu kembali ke ruang kerjanya.
“Itu yang kamu maksud bos cantik dan baik?” Tanya Wisnu setelah kepergian Bening.
Dheana menganggukkan kepalanya, sebagai jawaban.
“Baik darimana? Selain judes dan galak nggak ada lagi yang terlihat di wajahnya.”
“Tapi Mbak Ning cantik, kan?”
“Cantik sih, tapi galak!”
Dheana hanya tersenyum. Bening meng terkenal baik untuk beberapa orang saja, terutama yang sudah mengenal baik dirinya. Tapi jangan harap ia bersikap ramah pada kaum lelaki. Bening seolah membentengi diri untuk tidak dekat apa lagi bertegur sapa selain untuk urusan jual beli. Dia seolah melabeli dirinya sebagai wanita judes dan sombong. Padahal di balik itu semua, Bening justru memiliki hati yang begitu lembut.
“Ayo naik!” Ajak Wisnu. Ia pun memberikan satu helm untuk Dheana.
“Langsung pulang ya, aku udah belikan makan malam.”
Dheana hanya mengangguk saja, lantas mereka pun pulang bersama.
“Tadi siang ketemu Kak Erika. Ternyata tempat tinggalnya nggak jauh dari sini.” Dheana memulai obrolan.
“Oya? Aku nggak tahu Erika punya rumah di dekat sini. Setahu aku dia tinggal di tempat lain.” Wisnu menyebut alamat tempat tinggal Erika.
“Katanya rumah Papahnya.”
“Oh, Papahnya. Erika memang memiliki banyak keluarga, ayah aja punya dua. Mamah juga punya dua.”
“Senangnya, punya banyak keluarga.” Dheana tersenyum. “Aku juga ingin seperti itu.” Lirihnya pelan. Meski tidak tahu alasan apa yang membuat Erika memiliki dua ayah, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Erika justru merindukan hangatnya keluarga.
“Itu mobil Kak Erika.” Tunjuk Dheana saat melihat mobil Erika terparkir tidak jauh dari tempat tinggal Wisnu.
“Bilangnya sibuk, tapi malah datang.” Gumam Wisnu.
Erika sudah menunggu di depan teras rumah, senyumnya langsung mengembang saat melihat kedatangan mereka berdua.