“Gimana Dhe, jadi kerja nggak?”
Dheana menatap ragu ke arah Sri, salah satu temannya. Wanita itu menawarkan kerja tambahan pada Dheana. Tahu wanita itu butuh uang lebih untuk membiayai hidupnya dan juga ibunya yang didiagnosa mengidap penyakit ganas.
“Kerjanya gimana? Nggak ganggu kerjaan yang disini, kan? ” Dheana tentu saja tidak ingin mengorbankan pekerjaan yang sudah terlanjur dimiliki saat ini.
Selain nyaman dan tidak terlalu melelahkan, Dheana juga sangat beruntung memiliki Bos sebaik Bening. “Kalau sampai ganggu kerjaan di sini, aku nggak bisa.”
“Nggak ganggu sama sekali. Lo bisa kerja setelah pulang dari sini, kerjanya cuman dari jam tujuh malam sampai jam sepuluh. Tiga jam, tapi bayarannya lumayan.”
Tawaran yang menarik apalagi dengan iming-iming gaji besar yang begitu menggiurkan.
“Bayarannya berapa?” Dheana sudah merasakan beberapa jenis pekerjaan. Dari mulai cuci piring di sebuah restoran, bahkan ia pun pernah menjadi salah satu karyawan di sebuah toko bangunan dimana Dheana dituntut untuk melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat cat dengan berat lebih dari lima kilo. Tak jarang tangannya terluka akibat terlihat berat mengangkat beban.
Dari semua pekerjaan yang pernah dijalani, Dheana sangat merasa beruntung dipertemukan dengan wanita sebaik Bening. Wanita itu memerlukannya dengan sangat baik, ditambah dengan gaji yang juga cukup besar.
“Bayarannya kecil tapi kamu bisa dapat uang tambahan yang nggak bisa dipastikan setiap harinya.”
“Kisaran berapa?” Dheana harus tahu, berapa kisaran gaji yang akan diterimanya. Jika bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, dan juga untuk menyewa tempat tinggal baru, mungkin bisa jadi bahan pertimbangan.
“Lumayan lah. Kira-kira sehari dapat dua ratus sampai lima ratus ribu. Bayangin aja, sehari lima ratus ribu kali satu bulan. Berapa coba?”
Jumlah yang sangat besar dan menggiurkan. Tidak hanya cukup untuk memenuhi kehidupannya saja tali Dheana juga bisa menyisihkan uang tersebut untuk biaya pengobatan Ibu.
“Kerjannya cuman antar minuman aja. Udah gitu doang, mudah kan?”
“Besar juga, tapi beneran cuman antar minuman aja?”
“Iya, cuman antar minuman.” Sri kian meyakinkan.
“Makanya, kamu wajib ikut sih. Dengan uang segitu, kamu nggak harus lagi kerja di tempat seperti ini.”
Dheana memang butuh pekerjaan tambahan, tapi ia tidak pernah memiliki rencana untuk meninggalkan pekerjaan di B'Flower.
“Aku nggak mungkin ninggalin Mbak Ning,”
“Kenapa? Kamu nggak ada utang kan sama dia?”
Dheana menggeleng, “Tidak dalam bentuk uang, tapi aku berhutang banyak kebaikan padanya.”
“Itumah gampang. Nggak usah dipikirkan. Yang penting kamu bisa bantu pengobatan ibu kamu, itu yang terpenting.”
Sri benar, yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya menghasilkan uang dengan jumlah yang sangat banyak, untuk membantu pengobatan Ibu. Dengan begitu, Ibu akan menganggapnya sebagai anak yang berbakti dan tidak hanya merepotkan saja.
“Kamu pikirkan baik-baik lagi, kalau sudah yakin segera kabari. Jangan lama-lama, soalnya nggak cuman kamu yang butuh kerjaan tapi banyak orang diluar sana yang juga butuh pekerjaan.”
Dheana mengangguk. “Aku akan kabari secepatnya.”
“Oke. Ingat ya, jangan sia-siakan kesempatan emas ini, Dhe.”
Dheana memang harus mempertimbangkan kesempatan ini. Tapi ia tidak memiliki seseorang yang bisa dimintai pendapat.
Wisnu?
Lelaki itu menegaskan dirinya untuk dilibatkan dalam setiap keputusan yang akan diambil dheana, tapi apakah lelaki itu akan mengizinkan?
Dheana bingung sendiri.
Jika harus mengorbankan pekerjaan saat ini dengan pekerjaan baru yang belum tentu sebaik yang di ucapan Sri, tentu saja Dheana tidak mau. Tapi gaji yang ditawarkan sungguh membuat hatinya berontak. Nominal uang yang tidak sedikit, dengan penghasilan besar seperti itu Dheana bisa menyusul ibu dalam waktu dekat. Ia tidak perlu lagi menanyakan kondisi Ibu pada Iskan melalui pesan singkat yang terkadang tidak pernah dibalasnya. Setelah tinggal terpisah, mereka semakin sulit berkomunikasi, bahkan Dheana merasa Iskan dan Ibu memang sengaja ingin menghindarinya.
“Dhe, tolong antarkan bunga ini. Alamat penerimanya sudah ada di kertas warna merah muda itu. Lokasinya nggak jauh dari sini,”
Selain merangkai bunga, Dheana pun kerap mengantarkan bunga tersebut jika lokasinya memungkinkan untuk ditempuh menggunakan sepeda.
“Baik, Mbak.”
Dheana segera mengambil buket bunga yang sudah dirangkai oleh Bening. Wanita itu memang sangat lihai merangkai bunga hingga membuatnya terlihat indah.
“Jangan lama-lama ya, setelahnya langsung pulang.”
Dheana menganggukkan kepalanya. Bukan hanya Wisnu, tapi Bening pun kerap menganggapnya seperti anak kecil yang harus selalu diperhatikan. Padahal bentuk tubuhnya saja yang terlihat kecil, tapi usianya sudah masuk dalam kategori dewasa.
Dengan menggunakan sepeda yang sudah di desain khusus, Dheana mengantar bunga pesanan. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit saja, dengan melewati jalan kecil, Dheana sampai di lokasi.
Ia hanya bertugas mengantar saja, untuk pembayaran sudah terlebih dulu secara online.
Dheana pamit pulang, setelah memastikan bunga diterima si pemesan. Udara siang ini benar-benar panas, pertengahan tahun yang sudah memasuki musim kemarau membuat udara semakin terik.
Dheana menggunakan topi untuk menutupi kepalanya, bahkan ia pun menggunakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya agar tidak terkena sinar matahari yang mungkin bisa membakar wajahnya.
“Dheana!” Terdengar suara seseorang yang memanggil namanya. Ia menoleh ke segala arah untuk memastikan siapa yang memanggilnya.
“Dhe!” Seorang wanita melambaikan tangannya ke arah Dhea dari jarak yang cukup jauh. Pantas saja ia tidak menyadari kehadirannya.
“Kak Erika.” Dheana mengenali sosok wanita yang memanggil namanya di adalah Erika, kekasih Wisnu.
“Darimana?” Tanya Erika, ia me dekati Dheana.
“Antar bunga ke gang sebelah. Kak Erika ngapain?”
“Dari rumah Papah,” Tunjuknya pada salah satu rumah yang terlihat sangat besar dan mewah.
“Rumah Kak Erika disini?”
“Nggak. Aku nggak tinggal disini.” Erika menggelengkan kepalanya.
“Ini rumah Papi, aku tinggal di rumah Oma.”
“Oh gitu, senang ya jadi punya dua rumah.”
“Nggak cuman dua rumah, tapi aku juga punya tiga rumah.”
“Wah, banyak sekali.” Dheana takjub, meskipun selama ini ia tahu Erika berasal dari keluarga kaya. Tapi ia tidak pernah menduga bahwa wanita cantik itu memiliki tiga rumah atau mungkin bisa saja Erika memiliki rumah lebih dari tiga.
“Rumah Ayah, Papi, dan Oma.”
Kening Dheana mengerut. “Papi dan Ayah beda ya? Bukannya sama.”
Erika tertawa. “Aku punya dua ayah,” Ia menjentikkan telunjuknya seolah tengah memberikan informasi rahasia.
“Oh, gitu.” Dheana hanya mengangguk saja, padahal dalam hatinya mulai tumbuh banyak pertanyaan.
“Mau mampir nggak?” Ajak Erika.
“Nggak,” Tolak Dheana. “Lagi buru-buru, kapan-kapan mampir deh.”
“Oke. Hati-hati ya.”
Dheana menganggukkan kepalanya lantas kembali melanjutkan perjalanan menuju toko bunga. Saat kedua kakinya mengayuh pedal sepeda, pikirannya berkelana entah kemana. Bukan pada bagaimana dan mengapa Erika memiliki dua ayah, tapi Dheana justru memikirkan hal lain. Jika jodoh adalah cerminan diri, mak Wisnu dan Erika adalah pasangan yang saling melengkapi satu sama lain. Mereka sama-sama baik. Dalam hati kecilnya Dheana kerap berdoa semoga suatu hari nanti ia pun dipertemukan dengan sosok lelaki baik seperti Wisnu.