Satu minggu tinggal bersama membuat Dheana tahu sosok Wisnu yang dikenalnya memiliki sikap baik, ternyata jauh lebih baik dari yang ia kira. Lelaki itu memiliki sikap yang begitu perhatian dan hangat. Berbanding terbalik dengan sikap Iskan, yang notabene adalah kakaknya sendiri. Wisnu tidak memiliki hubungan darah dengannya, tapi perlakuannya sangat baik melebihi Kakak kandung sendiri.
“Jangan dengarkan perkataan ibu, dia memang sedikit cerewet.” Lelaki yang mengenakan kaos putih dengan celana pendek hitam itu menghampiri Dheana yang sejak tadi memilih berada di dapur.
“Terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Parnoan orangnya.” lanjutnya dengan senyum.
Beberapa saat lalu Tati ibunya datang berkunjung, wanita paruh baya itu terkejut dengan kehadiran Dheana di kediaman putranya. Selain menginterogasi siapa dan bagaimana hubungan Dheana dan Wisnu, Tati juga menyarankan untuk mereka tinggal terpisah.
“Benar kata Ibu Kak Wisnu, sebaiknya kita tinggal terpisah. Aku bisa cari rumah kontrakan dan nggak perlu tinggal disini lagi. Merepotkan dan bisa jadi fitnah kalau kita tinggal satu rumah seperti ini.”
“Fitnah apa? Memangnya kita ngapain. Aku cuman bantu jagain anak kecil yang susah di atur aja.” Di Mata Wisnu, Dheana adalah gadis kecil dan menurut cerita yang didengarnya dari Iskan, Dheana adalah anak yang sulit diatur, jadi Wisnu menyebutnya sebagai gadis kecil susah di atur tapi selama satu minggu tinggal bersama, Wisnu justru tidak melihat sikap Dheana yang masuk dalam kategori susah diatur. Gadis itu pulang dan berangkat kerja tepat waktu setiap harinya. Meskipun Wisnu tidak mewajibkan Dheana melakukan pekerjaan rumah, tapi ia tetap melakukannya dengan baik setiap hari. Dheana tidak tinggal cuma-cuma, ia melakukan kewajibannya sebagai seseorang yang menumpang tinggal.
“Aku bisa jaga diri.” Dheana membela diri. “Aku bukan anak kecil, usiaku sudah dua puluh tahun aku sudah termasuk dalam kategori dewasa.”
Wisnu menganggukkan kepalanya, entah mengapa saat bicara dengan Dheana bibirnya tidak pernah berhenti tersenyum.
“Oke, kamu sudah dewasa. Sudah lewat tujuh belas tahun ya, tapi kamu tetap tanggung jawab aku.”
“Tapi, aku.”
“Udah ayo.” Wisnu menarik tangan Dheana. “Jangan di dapur mulu, kita nongkrong di depan teras.” Ajaknya.
Jika sebelumnya Wisnu kerap duduk sambil minum kopi di teras depan rumah sendirian, kali ini ia sering mengajak Dheana.
Meski pada awalnya Dheana menolak, tapi beberapa kali mereka pernah nongkrong bersama.
Depan teras merupakan bagian terfavorit Wisnu di rumah ini selain tempat tidur tentu saja. Saat melepas penat setelah seharian bekerja, ia akan menghabiskan waktu di teras depan sambil minum kopi dan main game.
Dheana memang kerap menolak ajakan lelaki itu, menghindari kontak fisik atau pertemuan adalah sebuah kesengajaan yang dilakukannya setiap hari. Hal tersebut dilakukan Dheana sebab ia tidak mau orang lain salah paham dengan kedekatan mereka. Tidak hanya Ibu Tati yang merasa curiga, tapi Dheana takut kekasih Wisnu pun ikut mencurigainya
Sampai detik ini Erika masih menganggap dirinya sebagai Adik, sama halnya seperti perlakuan Wisnu padanya tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Erika akan merasa cemburu.
“Bagaimana pekerjaan kamu?” Tanya Wisnu setelah keduanya duduk di teras sambil menikmati secangkir teh, sementara Wisnu menikmati secangkir kopi panas.
“Baik. Rencananya mau kerja di tempat lain juga.”
“Dimana? Kerja di dua tempat? Memangnya kamu sanggup?” Cerca Wisnu.
Dheana menganggukkan kepalanya, “Mudah-mudahan sanggup.”
“Kerja apa?”
“Ikut teman, belum pasti kerja apa. Tapi katanya kerjanya nggak begitu capek, bayarannya lumayan besar.”
Wisnu menyeruput kopi panas secara perlahan, menatap Dheana dengan tatapan menyelidik.
“Kerjaan apa yang kerjanya gak capek tapi gajinya besar?”
“Nggak tahu, nanti mau tanya lagi sama teman.”
“Nggak ada kerjaan yang mudah tapi gajinya besar, mustahil kalau ada teman yang bilang kayak gitu, kecuali kerjaan yang berbau hiburan malam.” Jelasnya.
“Sama halnya seperti kerjaan yang kamu anggap mudah dan menyenangkan, sebenarnya dua hal itu belum tentu benar terjadi.”
Dheana menoleh, menatap Wisnu. “Kerjaan Kak Wisnu juga gitu? Maksudnya capek?”
“Menurutmu bagaimana?” Wisnu justru balik bertanya.
Dilihat dari jarak yang sangat dekat seperti ini, Dheana menyadari satu hal bahwa tidak hanya senyumnya saja yang terlihat begitu manis tapi tatapannya pun begitu teduh dan hangat. Dheana segera memalingkan wajah, mengusir rasa aneh yang mulai mengganggu dalam hatinya tapi Dheana yakin itu hanya sebatas kekagumannya saja pada soso Wisnu yang terlihat sangat dewasa.
“Sepertinya menyenangkan apalagi bisa satu pekerjaan dengan Kak Erika. Pasti seru.”
“Begitu ya?”
Dheana menganggukkan kepalanya. “Mungkin begitu, aku nggak pernah satu kerjaan sama pacar tapi aku bersyukur memiliki bos yang super baik dan cantik.”
“Oya? Siapa namanya, boleh lah kenalin ke kak Wisnu.” Goda nya.
“Nggak boleh, kak Wisnu udah punya kak Erika, nggak boleh kenalan sama wanita lain.”
Wisnu tertawa. “Kenalan nggak boleh, tapi tinggal sama cewek lain boleh, mana cantik pula. Satu lagi, masih muda lagi.” Entah pujian atau hanya sekedar ingin menggoda saja tapi Dheana merasa wajahnya memanas.
“Kalau mau kerja di tempat baru, bilang aku dulu ya? Jangan asal ambil gitu aja. Ingat, saat ini kamu tanggung jawab aku dan aku wajib dilibatkan dalam setiap kegiatan kamu di luar rumah ini. Mengerti?”
Dheana tidak langsung menganggukkan kepalanya, menoleh sekilas ke arah Wisnu. Perhatian yang di tunjukkan lelaki itu kerap menimbulkan getar aneh dalam dirinya. Entah apa namanya, Dheana tidak tau. Yang pasti perasaan itu tidak sama dengan perasaan seorang adik pada kakaknya.