3. Ada aku

897 Words
Dheana menatap seorang wanita yang menggendong anaknya dengan dua kantor besar berwarna hitam di kedua tangannya. Wajahnya sangat familiar, bahkan wanita itu pun tersenyum ke arahnya. Mereka sudah saling mengenal, Ibu itu bernama Yeni dan anaknya bernama Kiki, seorang anak lelaki berusia tujuh tahun tapi belum bisa beraktivitas normal seperti anak seusianya. Kiki adalah anak spesial, tapi Ibu Yeni tidak pernah sekalipun mengeluh atas kondisi anak dan juga kondisinya sendiri. Ia selalu membawa Kiki kemanapun ia pergi, bahkan saat mencari nafkah seperti saat ini. Sebuah kondisi yang jauh berbeda dengan dirinya, saat Dheana memiliki fisik sempurna tapi Ibu lebih memilih meninggalkannya di Jakarta dengan alasan repot. “Nak Dehana mau beli?” Bu Yeni menjual beraneka ragam sarapan, dari mulai gorengan, nasi uduk dan bihun goreng. Ia hanya menjualnya saja, mengambil untung seribu rupiah dari satu jenis makanan. “Mau, Bu.” Dheana memang sering membeli, bukan berarti ia memiliki cukup banyak uang. Tapi Dheana berharap dengan membeli beberapa jenis jualannya bisa sedikit membantu Bu Yeni. “Mbak Bening mau beli juga nggak?” Tanya Bu Yeni. “Tunggu sebentar ya, saya tanyakan dulu.” Dheana masuk ke dalam toko, memanggil Bening. “Mbak Ning, mau beli sarapan?” Dheana menghampiri wanita berambut merah itu yang tengah menatap layar komputer di hadapannya. Dia adalah Bos di tempatnya bekerja, pemilik toko bunga Be’flower. “Bu Yeni ya?” Bening menoleh. “Iya.” Wanita itu mengeluarkan uang lembar lima puluh ribu, “Belikan semuanya.” Dheana menganggukkan kepala lantas kembali menghampiri Bu Yeni. “Beli 7 bungku ya bu, campur aja.” Wajahnya Bu Yeni terlihat senang, bahkan berulang kali mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya ia pergi. “Kamu ambil sebagian, aku sebagian.” Bening memberikan empat bungku nasi uduk pada Dheana. “Banyak banget, Mbak.” “Buat makan siang, makan malam sekalian.” Bening terkekeh. “Tinggal dihangatkan saja.” Dheana bekerja di toko bunga sudah cukup lama, setelah lulus sekolah menengah atas ia sempat bekerja di beberapa tempat. Di toko kain, minimarket, hingga akhirnya ia bertemu Bening secara tidak sengaja. Saat itu Iskan memintanya untuk membelikan bunga dengan hanya memberinya uang lima puluh ribu. Dengan uang itu Iskan memintanya membeli satu buket mawar merah dengan harga lebih dari tiga ratus ribu. Saat itu Dheana tidak memiliki uang, tapi dengan kebaikan Bening, ia pun tetap memberikan Dheana buket mawar. Karena kejadian itu juga akhirnya Dheana bisa menjadi salah satu karyawan di toko bunga Be'flower. “Mbak Ning, saya boleh pulang lebih awal hari ini.” Dheana ragu untuk mengatakannya, tapi hari ini Ibu dan Kak Iskan berangkat ke Penang. Penerbangan pukul lima sore sementara toko tutup pukul lima sore. Waktu yang bersamaan. “Mau antar Ibu ke Bandara.” “Ibumu jadi ke Penang?” Dheana pernah bercerita tentang pengobatan Ibu yang akan dilakukan di Penang Malaysia. “Iya.” “Berapa lama?” “Katanya tiga bulan.” Bening menganggukkan kepalanya. “Pulanglah, ada ongkos?” “Ada.” Terlalu sering Bening menolongnya, Dheana tidak akan mengatakan jika ia sebenarnya tidak punya cukup uang. “Ini untukmu.” Tapi Bening tetap memberinya uang. “Saya ada uang,” “Untuk jajan, siapa tahu di jalan kamu haus dan ingin beli minuman.” Dheana menatap uang seratus ribu di tangan Bening. “Ambil aja.” Bening memberikan uang tersebut dengan menarik tangan Dheana dan menaruh uang tersebut di telapak tangannya. “Terima kasih Mbak Ning.” “Sama-sama. Hati-hati ya,” Dheana menganggukkan kepalanya, lintas bergegas merapikan diri, melepaskan celemek yang menempel di tubuhnya. Dengan menggunakan ojek online, Dheana segera menuju rumah tapi sayangnya kondisi rumah sudah sepi. Ia pun segera menghubungi Iskan untuk menanyakan keberatannya tapi sayang ponselnya tidak aktif. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia pun segera bergegas menuju Banda. “Kami berangkat jam lima sore, kamu tidak perlu mengantar. Kerja saja yang benar!” Dheana masih ingat ucapan Iskan sore itu, sesaat setelah Dheana diantar ke rumah Wisnu. Sekarang masih pukul empat sore lebih lima belas menit, masih ada waktu untuk bertemu Ibu atau setidaknya Dheana bisa melihat wajahnya Ibunya sebelum jarak dan waktu memisahkan mereka. Tiga bulan bukan waktu yang sebentar. Tepat pukul setengah lima sore, Dheana sampai di bandara. Ia segera mencari Ibu dan Kakaknya tapi setelah lama mencari keduanya tidak kunjungan ditemukan. Dhean mencari di semua terminal, tapi hasilnya nihil. “Dheana!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. Ia segera menoleh dan mendapati Erika dan Wisnu berdiri tak jauh dari tempatnya berada. “Kan, aku bilang juga Dheana.” Ucap Erika, dengan menoleh ke arah Wisnu. “Ngapain kamu disini?” Tanya Erika. “Ibu dan Kakakmu sudah berangkat.” Tubuhnya terasa lemas saat mengetahui Ibu dan Kakaknya sudah pergi. “Tiga puluh menit lalu.” “Oh, gitu.” Sedih dan kecewa, sebab ia tidak bisa menemui mereka terlebih dahulu. “Jangan sedih, ayo kita makan. Kamu suka makan apa? Es krim?” Wisnu mengerti bagaimana perasaan Dheana saat ini, ia pun segera menarik tangan Dheana menggenggam erat tangannya. “Jangan sedih, Cil. Ayo jajan!” Ia tersenyum menatap Dheana. “Tunggu aku!” Dari arah belakang Erika pun mengejar “Aku juga mau es krim.” Erika meraih satu tangan Wisnu yang lain, hingga membuat lelaki itu terlihat memiliki dua kekasih. Tapi Erika tidak sedikitpun merasa cemburu, ia menganggap Dheana adalah adik Wisnu. Begitu juga dengan Wisnu. Setidaknya untuk saat ini, sebelum hatinya berontak suatu hari nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD