2. Adik kecil

755 Words
“Untuk sementara kamu tinggal di rumah Wisnu.” “Tapi Kak, aku bisa tinggal disini.” Tatapan Iskan berubah tajam. “Rumah ini akan dijual!” Sentak Iskan. “Memangnya biaya pengobatan ibu darimana kalau nggak dari jual rumah ini! Gajiku habis untuk membiayai sekolah kamu, mending kalau pinter!” Kata-kata menyakitkan yang terlontar dari bibir Iskan sudah terbiasa di telinga Dheana. Tidak hanya sekali, tapi berulang kali dan terus-menerus. Awalnya Dheana kerap merasa sakit hati, tapi lama kelamaan akhirnya ia terbiasa dengan sikap kasar sang Kakak. Dheana menoleh ke arah Ibu, wanita yang selalu diam, minim bicara dan nyaris tidak pernah mengajaknya bicara terlebih dulu. Sosok dingin yang hanya mengekspresikan seluruh emosinya dari tatapan, tidak jarang dengan hanya melihat sorot kedua matanya saja, Dheana sudah bisa merasakan aura kesal, atau marah darinya. “Ibu, Dheana ikut Ibu, ya?” Pintanya. “Dheana nggak mau tinggal di rumah kak Wisnu. Dhea janji akan kerja lebih rajin lagi,” Janjinya. Berharap wanita itu tidak meninggalkannya sendirian. “Dheana sudah punya kerjaan baru, jadi Dhea bisa kerja di dua tempat.” “Memangnya gaji kamu berapa kerja di dua tempat? Bisa bantu biayain pengobatan Ibu? Nggak kan?” “Memang tidak, tapi Dhea akan lebih berhemat lagi.” “Udahlah! Kalau kamu sayang Ibu, kamu nurut apa kataku. Tinggal sementara di rumah Wisnu sampai kondisi Ibu membaik.” “Tapi Dhea nggak mau sendirian!” Ia memohon, berharap Ibu mau membawanya ke Penang untuk menjalani pengobatan kanker yang diderita Ibu satu tahun terakhir. “Kamu nggak sendiri.” Jawab Ibu dengan suara dan tatapan datar. “Iskan masih tinggal di Jakarta. Hanya Ibu yang tinggal sementara di Penang.” “Tapi, Bu.” “Dengarkan apa kata Iskan. Kamu tinggal sementara di rumah Wisnu.” Keinginannya untuk ikut bersama Ibu ke Penang pupus sudah. Ibu menolak permintaannya dan lebih mempercayakan anak gadisnya tinggal bersama orang asing. Situasi yang kerap membuat Dheana tidak memiliki kesempatan untuk menolak. Ia selalu berada dalam kondisi dimana ia dipaksa menerima apapun keputusan sang Kakak, terlebih setelah kematian ayahnya empat tahun lalu. Hangatnya sebuah keluarga tidak lagi dirasakan Dheana, yang terjadi justru hubungannya dengan Ibu dan Kakak kian menjauh seperti orang asing. “Kemasi barangmu! Aku akan mengantarmu ke rumah Wisnu.” “Kak,” Panggil Dheana, sesaat sebelum Iskan keluar dari kamarnya. “Berapa lama aku akan tinggal di rumah Kak Wisnu?” Tanya Dheana. “Belum tahu, bawa saja semua pakaianmu.” Ucapnya lantas pergi. Tidak ada kepastian, begitu juga dengan keberadaannya di rumah Wisnu. Dheana pun hanya membawa beberapa pakaian yang dianggapnya penting saja. Tidak mungkin selamanya menumpang di rumah lelaki itu, Dheana pun berencana akan mencari tempat tinggal sendiri setelah ia menerima gaji dari tempat kerjanya yang kedua. Iskan benar-benar mengantar Dheana ke rumah Wisnu. Lelaki yang menjadi teman baiknya itu sepakat menampung Dheana setelah tahu Ibu Iskan harus mendapatkan pengobatan di luar negri. Melihat kondisi yang dialami Dheana membuat Wisnu merasa kasihan, gadis yang seharusnya masih menempuh pendidikan itu terpaksa harus berhenti sampai sekolah menengah atas dan memilih untuk bekerja. Sedikit banyaknya Wisnu tabu bagaimana kondisi keluarga Dheana karena ia dekat dengan Iskan. “Gue titip dia ya?” Iskan mengantar Dheana, dimana Wisnu sudah menunggunya. Wisnu sudah memiliki rumah pribadi, memang tidak terlalu besar tapi di dalamnya masih terdapat satu kamar kosong yang bisa di tempati Dheana. “Susah diatur dan pembangkang, gue nggak berani lepasin dia sendiri. Jadi, untuk sementara waktu gue titip dia disini, nggak lama paling tiga bulan.” Tiga bulan? Nggak lama? Sembilan puluh hari waktu yang harus Dheana lewati di rumah ini, rumah seorang lelaki yang tidak diketahui bagaimana sifat aslinya. Wisnu memang terkesan baik, Dheana sudah mengenalnya cukup lama, tapi hanya sekedar kenal biasa. Setiap kali bertemu pun hanya sekedar bertegur sapa, tidak lebih. “Iya. Ada Erika yang ikut jagain. Tenang aja.” “Iya. Gue percaya kalian berdua. Titip ya, untuk sementara gue harus jagain Ibu di Penang.” Wisnu menganggukkan kepalanya. “Tenang aja. Lo fokus jagain Ibu, gue dan Erika jagain bocil ini.” Wisnu tersenyum ke arah Dheana. “Ayo cil, masuk.” Ajaknya. “Anggap aja rumah sendiri. Kalau masih canggung, nanti Erika datang untuk menemani. Tunggu aja, oke!” Dheana masih bingung dengan situasinya saat ini. Tapi sambutan hangat Wisnu sedikit mengurangi ketakutan dalam hatinya. Usia keduanya terpaut enam tahun. Dheana dua puluh satu tahun, sementara wisnu dua puluh tujuh tahun. Dheana bukan anak kecil lagi, tapi mungkin Wisnu menganggapnya sebagai adik kecil dan sebutannya pun aneh. “Chil” Mungkin artinya Bocil!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD