أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.”
(HR. Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
***
Zahira merasa sangat kesepian karena semua orang di rumah ini sibuk dengan pekerjaan masing-masing sedangkan ibunya hari ini izin tidak bekerja.
Zahira ingin pulang ke rumahnya dan menengok ibunya atau membawanya ke rumah sakit, tapi dia bingung harus meminta izin siapa karena dia belum memiliki ponsel untuk menghubungi salah satu dari mereka. Dari tadi dia hanya mondar-mandir tanpa melakukan apapun sampai beberapa ART di rumah ini bingung dengan tingkahnya.
"Non Rara kenapa dari tadi mondar-mandir terus?"
"Aku bingung bi Nur, pengen ke rumah ibu tapi aku belum izin sama orang rumah."
"Kan bisa pakai telfon rumah, non, ayo sini bibi bantu."
Bi Nur menarik tangan Zahira mendekati telfon rumah dan mencarikan nomor Arkan.
"Ini nomor mas Arkan, non." Bi Nur memberikan gagang telfon untuk Zahira agar bisa berkomunikasi langsung dengan suaminya.
"Halo mas Arkan." Suara Zahira terdengar sangat lembut dan pelan tapi jawaban Arkan sama sekali tak ada halus-halusnya.
"Kenapa sih?! saya lagi sibuk di kantor jangan ganggu!"
"Aku mau izin ke rumah ibu, Mas. Di rumah nggak ada orang jadi aku bingung mau izin siapa."
"Saya nggak peduli!" Setelah itu panggilan mereka terputus secara sepihak.
Zahira mengusap *dadanya melihat kelakuan kasar pria yang baru beberapa hari sah menjadi suaminya. Dia meletakkan gagang telfon itu di tempatnya dan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap.
Hari ini dia akan tetap pergi ke rumah ibunya, meski tanggapan Arkan tidak baik setidaknya dia sudah meminta izin pada suaminya.
*
Zahira tak membawa apa-apa dari rumah itu, dia hanya berjalan menyusuri gang sempit yang biasa dia lewati bersama ibunya dulu saat dia masih kecil dan selalu ikut ibunya bekerja.
Sepanjang jalan banyak orang yang menatapnya dengan pandangan yang bermacam-macam. Ada yang biasa saja, ramah, bahkan ada yang memberikan tatapan sinis karena nasib Zahira yang sangat beruntung bisa menjadi menantu keluarga super kaya di daerah mereka.
Entah lah, Zahira tak begitu peduli dengan pandangan mereka semua tentangnya. Dia cukup memberikan senyum serta menjawab sapaan saat ada beberapa orang yang berusaha menyapanya.
Lima belas menit kemudian Zahira sampai di depan rumahnya yang kecil namun terlihat sangat bersih. Zahira tersenyum riang akhirnya bisa melihat rumah ini lagi meski tak sebesar rumah mertuanya setidaknya dia mendapat lebih banyak kehangatan serta kebahagiaan dalam keluarga.
Zahira masuk ke dalam rumah dan mengucapkan salam yang langsung dijawab oleh kakak lelakinya yang sedang bersantai di depan televisi. Sebagai bentuk penghormatan Zahira menghampiri kakaknya dan mencium punggung tangannya.
"Abang nggak jualan?" Dua tahun yang lalu kakaknya memang mendirikan sebuah warung makan yang terletak di dekat jalan raya. Warung kecil namun selalu laris manis setiap harinya karena menu kari ayam yang sangat khas.
"Hari ini libur dulu nunggu ibu agak baikan."
"Hari ini sampai ibu sembuh biar aku yang menjaga, abang jualan atau ngapel ke rumah Kak Riri juga nggak apa-apa."
Riana adalah wanita spesial Danan mereka dikenalkan oleh saudara mereka karena Danan ataupun Riana sama-sama sudah siap membangun rumah tangga. Saat digoda seperti itu wajah kakaknya terlihat memerah menahan malu.
"Udah ah jangan ngeledek mulu, mending kamu lihat ibu di kamar."
Zahira mengangguk dan berjalan menuju kamar ibunya yang terletak tak jauh dari ruang tengah. Dengan gerakan perlahan Zahira membuka pintu kamar dan melihat ibunya sedang terbaring di ranjang berukuran kecil dan selimut yang warnanya sudah memudar.
Zahira duduk di samping ibunya dan menatap wajahnya yang pucat. Jari-jarinya mengusap rambut ibunya yang sudah mulai memutih.
"Rara ...." Sumiati berkata lirih sambil meraih tangannya putrinya yang masih berada di kepalanya.
"Rara ganggu ibu ya, maaf ya bu."
Sumiati terbatuk dan tersenyum tipis pada putrinya. "Tidak, ibu belum sepenuhnya tidur —kamu kesini sama siapa?"
"Aku sendiri bu, dirumah nggak ada orang semuanya kerja jadi aku kesini aja jalan kaki."
Mendengar jawaban Zahira wajah Sumiati terlihat khawatir karena putrinya yang masih sangat belia itu takutnya bertindak ceroboh dan sesukanya.
"Rara kamu sudah menjadi istri Arkan. Kamu nggak boleh keluyuran sendirian begini, terus kamu tadi sudah izin sama suami kamu atau belum?"
"Aku nggak bisa tenang waktu dengar ibu sakit, tadi aku udah izin Mas Arkan kok."
Sumiati mengembuskan nafas lega dan meminta bantuan putrinya untuk mengganti posisinya menjadi duduk. "Apapun yang akan kamu lakukan jangan lupa untuk meminta izin dulu pada suami. Apapun perkataan suami harus kamu turuti dan hormati sekalipun itu berat buat kamu karena ridho seorang suami sangatlah penting."
Sebenarnya Sumiati belum tega melepaskan putrinya untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang cukup besar rintangannya. Apalagi Zahira masih berumur 20 tahun dan belum cukup pengalaman dalam urusan rumah tangga atau menjadi istri yang baik untuk suami.
Namun, Sumiati tak henti-hentinya memberikan nasehat demi nasehat agar putrinya bisa mengerti dan mulai beradaptasi dengan kehidupannya yang serba baru. Apalagi dia kini hidup ditengah-tengah keluarga kaya dan ternama, itu sangatlah sulit.
Bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Malviano, Sumiati sudah hafal bagaimana watak semua anggota keluarga itu.
Ardi adalah sosok pemimpin rumah tangga yang tegas dan bertanggung jawab. Meski auranya terlihat menyeramkan Ardi memiliki hati yang lembut. Sedangkan istrinya — Maya adalah wanita sosialita yang super sibuk dengan segala urusannya diluar bahkan waktunya untuk keluarga terkadang hanya sedikit. Namun, Maya tetap lah seorang istri dan ibu yang harus mengurus suami dan anaknya. Berbeda dengan suaminya yang tak terlalu banyak kata, Maya adalah sosok yang cerewet dan sangat perhatian pada orang-orang disekitarnya.
Keduanya adalah sosok penyelamat keluarganya yang dulu hampir jadi gelandangan setelah ditinggal pergi suaminya selamanya. Bahkan mereka juga membantu dirinya membiayai sekolah kedua anaknya.
Oleh karena itu Sumiati tak bisa menolak saat Ardi akan memenuhi nazarnya yang akan menikahkan putra satu-satunya dengan Zahira seorang putri pembantu rendahan seperti dirinya.
Sumiati tak pernah meragukan kebaikan Ardi dan Maya, dia juga yakin kalau mereka akan memperlakukan putrinya yang masih polos dengan baik. Tapi dia masih belum yakin kalau Arkan melakukan apa yang orang tuanya lakukan. Sumiati hafal luar dalam bagaimana putra tunggal majikannya. Dia adalah sosok yang kasar, dan sangat egois. Bahkan dia juga tak akan segan-segan bermain tangan atau mengumpat penuh amarah jika ada orang yang membuat dia kesal dan marah.
Sumiati sangat takut jika Zahira mendapat perlakuan buruk dari Arkan. Meski pria itu sudah sah menjadi suami anaknya tapi tetap saja Sumiati tidak akan pernah terima jika putrinya diperlakukan semena-mena.
"Bu, ibu kok ngelamun sih? kepalanya masih pusing?"
Sumiati langsung tersadar dan menatap Zahira yang terlihat panik. "Ibu enggak apa-apa."
"Kok ngelamun, mikirin apa sih bu?"
"Mikirin kamu, Ra. Apa kamu dan Arkan baik-baik saja?"
Zahira langsung mengangguk tanpa menunjukkan tanda-tanda kebohongan sedikitpun. "Aku sama Mas Akan baik kok, bu meskipun masih belum terlalu akrab."
"Arkan nggak kasar kan sama kamu?"
"Enggak Ibu, Mas Arkan itu baik banget sama Rara." Zahira tersenyum sangat cerah seolah-olah dia adalah pengantin baru yang sangat beruntung dan berbahagia.
Sumiati ikut tersenyum lega mendengar pernyataan itu. Mulai sekarang dia akan mengurangi pikiran-pikiran buruk tentang Arkan yang kini sudah menjadi menantunya.
"Bu, jangan banyak pikiran Rara baik-baik aja kok. Meskipun Rara belum bisa menjadi istri dan menantu yang baik, tapi Rara akan terus berusaha menjadi yang terbaik." Zahira mengucapkan itu dengan bibir yang bergetar menahan tangis. Bukan tangisan terharu karena saat ini dia sudah menjadi istri orang, melainkan menangis karena sudah berusaha membohongi ibunya dengan semua sandiwaranya.
"Kamu pasti bisa Rara."
Zahira langsung berhambur kedalam pelukan ibunya yang ikut berkaca-kaca.
"Rasanya seperti baru kemarin ibu melatih kamu berbicara dan berjalan, sekarang kamu sudah menjadi istri orang. Semoga kalian cepat diberi momongan biar rumah tangga kalian bisa semakin kokoh."
Zahira hanya bisa tersenyum kecut karena tidur satu ranjang dengan Arkan belum pernah dia rasakan bagaimana dia akan mengandung buah cinta mereka.
"Ibu sudah ke dokter apa belum? Rara anter yuk kalau belum."
"Udah Ra, semalam abang kamu udah antar Ibu ke dokter."
"Terus apa kata dokter? sakit ibu nggak parah kan?"
Sumiati terkekeh dan menggeleng. "Ibu cuma kecapean, Ra darah ibu juga rendah."
"Nanti Rara masakin gulai kambing ya bu."
"Iya, nanti minta antar abang-mu ke pasar."
Zahira mengangguk dan kembali mengobrol banyak dengan sang ibu yang terlihat lebih sehat setelah dia datang.
***
Zahira masih berada di rumah ibunya sampai malam. Hari ini dia benar-benar menikmati kebersamaannya dengan dua orang yang paling dia sayangi dan selalu membuatnya nyaman dan aman.
Saat ini mereka bertiga sedang berkumpul di meja makan dan bersiap untuk makan malam. Zahira yang hari ini menjadi chef sedang sibuk mempersiapkan menu makan malam mereka.
"Hmm ... aromanya sedap sekali," ucap Danan sambil menghirup dalam-dalam aroma gulai kambing buatan Zahira.
"Rara gitu loh!!" Zahira tersenyum bangga dan mengambilkan nasi untuk ibu dan abangnya. Saat dia sedang sibuk melayani mereka tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar rumahnya. Zahira yang akan bersiap keluar melihat tamu di dahului Danan.
"Udah Ra kamu tunggu sini aja paling teman abang-mu."
Zahira menuruti ucapan ibunya dan kembali duduk sembari menunggu abangnya.
Mata Zahira langsung membelalak saat melihat siapa yang datang bersama kakaknya, dia Arkan —suaminya. Pria itu bahkan masih menggunakan setelan kerja dan wajah yang terlihat kusut karena kelelahan.
Zahira buru-buru bangkit dan menghampiri Arkan untuk mencium punggung tangannya. Arkan menyambutnya dengan sangat baik dan langsung beralih pada ibu mertuanya yang sedang menatapnya dengan penuh kebahagiaan
"Bagaimana bu, sudah sembuh?"
"Sudah nak, ibu sudah mendingan. Kamu habis pulang dari kantor ya?" Pertanyaan itu melontar begitu saja saat Arkan sudah mengambil duduk di dekat Sumi.
"Ikut makan malam disini ya, ini tadi Rara semua yang masak jadi kamu harus ikut nyicipin."
"Wah, saya nggak nyangka kamu pintar memasak." Arkan berucap sangat ceria seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang buruk saat mereka berdua di dalam kamar.
Sumiati memerintah Zahira melayani suaminya terlebih dahulu dan setelah itu mereka akan makan bersama-sama.
Setelah makan malam Arkan segera berpamitan untuk mengajak Zahira pulang ke rumahnya dan berjanji akan menginap di rumah sederhana itu selama beberapa hari.
Sumiati dan tak keberatan karena Zahira sudah milik suaminya sepenuhnya. Kemanapun Arkan membawa Zahira pergi tidak akan ada urusannya dengan mereka.
***