Eps. 11 Tak Sengaja Bunuh Diri

1057 Words
Joanna marah, marah sekali pada Tristan. Hingga tak ada kata yang perlu diucapkan lagi pada pria itu. Karena menurutnya percuma marah panjang lebar yang akan membuat dirinya lelah saja. "Ingat! Ini sudah kali kedua kau membuatku sengsara. Sekarang gara-gara kau juga calon tunanganku meninggalkan diriku. Jangan pernah temui aku lagi!” sentak Joanna. Tangannya di bawah sana terkepal erat, siap untuk memukul apa saja yang ada di depannya. Ingin sekali memukul Tristan. Tapi apa bedanya dia dengan Dimas yang lepas kendali sampai adu fisik. Ia tak ingin sampai ada masalah di tempat kerja, jika karyawan sampai ada fisik di tempat kerja akan terkena sanksi hukuman tergantung dari berat pelanggarannya. Konsekuensi terburuknya adalah dikeluarkan dengan tidak hormat. Maka ia memilih pergi berlalu begitu saja meninggalkan Tristan. Ia masih butuh kerja untuk masa depannya. "Hey!” panggil Tristan saat Joanna sudah duduk di motor. Sayangnya Joanna yang sudah duduk di motor mempedulikan dirinya sama sekali dan malah menarik gas motornya segera. "Wanita itu benar-benar,” geram Tristan. Baru kali ini dia mendapatkan perilaku seperti ini dibentak oleh seorang wanita. Hancur sudah harga dirinya sebagai seorang pria terlebih sebagai seorang CEO. Padahal biasanya dia lah yang membentuk para wanita yang mendekati dan melemparkan tubuh padanya. *** “Boss apa yang terjadi? Siapa pria tadi dan kenapa ribut?” tanya seorang petugas sekuriti saat pria itu sudah kembali bergabung dengannya, mengatur kendaraan karyawan supaya tidak berdesakan di jam pulang. Mood Tristan terlihat kurang baik setelah kejadian barusan. “Kau ini wartawan atau sekuriti? Pertanyaamu mencecar begitu.” “Oh, m-maaf, Boss.” Petugas sekuriti itu langsung menutup mulutnya takut salah bertanya lagi. Biasanya jika Tristan seperti itu maka tandanya pria itu tak bisa diajak bicara. Petugas sekuriti tadi pun memilih jalan aman dan memutuskan untuk bungkam daripada kena sembur lava yang meledak dari gunung berapi. “Pria itu tamu tapi tidak sopan sekali. Kasar juga semaunya sendiri. Besok lagi kalau ada tamu meskipun hanya menjemput suruh mereka cepat ke pos sekuriti untuk melapor.” bentak Tristan. Sebenarnya dia tidak marah pada petugas sekuriti di sampingnya. Dia hanya kesal pada Dimas dan Joanna saja. Tapi tetap saja anggotanya yang jadi pelampiasan amarahnya juga kekesalannya. “Siap, Boss!” ujar pria bertubuh tegap berseragam biru dongker itu sembari hormat. Haah! Tristan mendengus kesal sembari membuang napas panjang. Moodnya benar-benar sudah hilang kali ini. Ia tak bersuara lagi mengatur jalannya lalu lintas di kantor. “Kau lanjutkan sisanya. Aku pulang saja.” Tristan terbalik kemudian menepuk sembari menekan bahu anggotanya yang sedang bertugas. “Siap, Bossku.” Setelahnya Tristan masuk ke pos sekuriti untuk mengambil tasnya. Ia lalu masuk ke toilet yang ada di sebelah pos dan berganti baju dengan baju non tugas, baju biasa. Malahan ia terlihat lebih keren saat memakai baju biasa daripada seragam sekuriti. Siapa yang tahu jika dia sebenarnya seorang CEO. Tak ada yang tahu, kecuali Sardi seorang. *** Tristan mengendarai motor sportnya membelah jalanan ramai. Sore di jam pulang kerja seperti ini jalanan padat merayap. Jika saja dia naik mobil mungkin akan terjebak macet. Beruntung, dia naik motor. Jadi bisa srlip sana selip sini melewati jalan diantara dua mobil dengan mudah, seperti tikus yang berlari dengan cepat di gang sempit saat dikejar kucing. “Sial! Lampu merah,” umpat Tristan. Ia pun menginjak rem dalam untuk menghentikan motornya sedang melaju cepat di persimpangan jalan. Padahal lampu di perempatan barusan menyala hijau baru sepuluh detik tapi sudah merah saja. Terdengar sirine mobil melintas di perempatan setelahnya. “Ternyata ada ambulans lewat. Pantas saja.” Tristan menggerutu kesal. Tapi mau apalagi. mungkin saja yang berada dalam ambulans saat ini nyawanya sedang kritis atau di ujung tanduk jadi lebih berhak didudukan daripada pengguna jalan lainnya. “Lama sekali lampu hijau menyala kembali.” Tristan kembali mendesau setelah barusan melirik jam yang melingkar di tangannya, ternyata sudah berhenti selama satu menit lamanya. Padahal biasanya lampu merah menyala sekitar 20 detik saja. “Siapa yang sebenarnya sakit? Ada tiga ambulans lagi yang melintas.” Kali ini Tristan hanya berdecak saja. Beruntungnya, lima detik kemudian lampu menyala hijau. Tristan segera menarik gas kencang. Bahkan dia melesat lebih dulu daripada pengendara motor lainnya. Di tengah jalan saat dia melintasi sebuah jembatan, tatapannya kemudian terkunci pada sebuah sosok yang duduk di tepi jembatan hingga membuatnya memelankan laju motor. “Siapa wanita itu? Kenapa duduk di tepi jembatan seperti itu. Apa dia tidak takut jatuh?” Nampak seorang wanita, tampak punggungnya duduk di dekat motor yang terparkir di tepi jembatan. Wanita itu duduk terlalu menepi dekat dengan sungai. Jika bergerak sedikit saja mungkin dia akan jatuh tercebur ke sungai. Karena jembatan tidak ada pengamannya. Sayangnya pemerintah setempat tidak memasang tanda peringatan bahaya di sana, jadi siapa saja bebas duduk di sana tanpa rasa khawatir akan jatuh sekalipun. “Baju itu...” Tristan hafal pada seragam kerja yang dipakai oleh wanita tersebut. Setelan jas berwarna biru muda cerah, yang merupakan seragam perusahaan tempatnya bekerja saat ini. “Apakah dia Joanna?” Untuk memastikannya secara langsung, Tristan maka menepikan motor lalu berjalan ke sana. Ya, wanita itu memang Joanna. Dia mencoba mencari ketenangan dengan duduk di jembatan. Menatap riak sungai membuat hatinya yang kacau balau sedikit tenang, juga terasa dingin. “Apa yang harus kulakukan? Kenapa nasibku sial. Sial sekali?!” protesnya keras. Joanna meremat kedua tangannya sempurna kemudian memukulkan berulang kali pada pahanya dengan keras. Ia meluapkan semua emosi kemarahannya, kesedihannya juga kegelisahannya dengan cara itu. “Aku sudah kehilangan kesucianku. Sekarang aku kehilangan kekasihku.” Ia sudah tak bisa lagi menahan luapan kesedihan yang sudah ia bendung sejak tadi. Akhirnya matanya yang berembun pun melelehkan cairan bening yang menganak sungai. Deras, sederas arus di sungai yang dilihatnya kali ini. "Hidupku hancur! Tak ada lagi alasan untukku bertahan dan terus maju. Aku harus pergi ke mana?” Rasanya ia ingin menjadi semut saat ini. Semut kecil yang bisa masuk ke tanah dan berdiam di sana selama mungkin yang dia mau bersembunyi dari siapapun. Bersembunyi dari aib yang tak kuat ditanggungnya. Angin saat itu berhembus agak kencang. Joanna sedikit menunduk yang membuat ponsel di saku bajunya kemudian jatuh. “Astaga, ponselku!” Ia bermaksud menangkap ponselnya sebelum jatuh ke sungai. Namun nyatanya gerakan tangannya tak kalah cepat dari gaya gravitasi yang mengakibatkan dirinya ikut terjun jatuh bebas bersama ponselnya ke sungai. “Tolooong!” Joanna berteriak nyaring, berharap ada seseorang yang mendengar dan menolongnya. Ia takut karena tak bisa berenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD