"Ana!"
"Ya!"
Rasya menghela berat, Kirana kebingungan melihat temannya. Sudah pukul setengah sepuluh, belum ada satu orang datang. Hari yang paling membosankan seumur hidupnya.
"Melamun apa lagi sih, dirimu ini?" timpal Rasya kepada Kirana.
"Gak ada hal perlu dibahas. Ngomong-ngomong, kamu gak ada kerjaan lain? Santai banget?" Giliran Kirana bertanya pada Rasya.
Rasya malah duduk sambil meluruskan kedua kakinya. Kirana masih menunggu jawaban.
"Ada, tapi ..."
"Tapi apa?"
"Orang yang tiba-tiba turun pangkat malah buat aku hilang semangat," lanjutnya.
Kirana terharu mendengar itu. "Ada penggantiku? Memang dia bisa buat kamu lebih semangat?"
Rasya menciut. "Dia beda, malahan suka sok pintar. Kalau kamu tidak sama sekali, pintar tapi pura-pura bego," lirihnya sembari beri seulas senyum paling dimengerti.
Kirana tidak bisa menutupi apa yang dia miliki. "Memang yang kamu lihat? Aku ini pintar? Tidak juga, kan?" Sebaliknya Kirana tidak merasa apa dia peroleh kemampuan. Tidak ada guna untuk dijadikan sumber pekerjaan.
Rasya bersanding dan menatap Kirana, walau saat ini di lobi sedang sepi tidak ada satu manusia yang berniat muncul. Pasti akan bosan untuk Kirana sekarang ini. Sedangkan di atas, suara berisik membuat para manusia mondar mandir ke sana ke sini karena pekerjaan mereka yang tidak pernah usai.
Pengganti Kirana, Devi, sedang sibuk dengan komputer beserta printer terus macet setiap dia akan print out. Entah masalah apa pada printer satu ini. Tidak mau keluar kertas, jelas-jelas notifikasi dari komputer tentang printer tidak ada masalah soal tinta atau pun servernya. Tetapi tetap tidak keluar juga.
"Ini laporan siapa?" Tiba-tiba sebuah printer keluar dengan sendiri. Dengan cetakan berbeda membuat Yuni bagian Stok kaget.
Angel, bagian pembelian mendekati dan merasa kepo, saat dilihat laporan tentang keuangan. Dengan cepat dia memberitahu kepada Yuni.
"Paling dari Accounting. Kan, kamu bisa lihat laporan jurnal di sana?" ucapnya.
Yuni baru sadar, dengan sikap kesal pun dia berdiri dan meneriaki seseorang. "DEVI! APAKAH INI LAPORAN MU?"
Devi terkejut akan suara bas dari Yuni. Membuat dia ikut menoleh dan menghampiri ke bagian Stok. Dengan muka pura-pura tidak bersalah. Yuni, kesal banget pada pengganti Kirana.
"Sudah berapa kali sih, aku beritahu ke kamu? Bukannya kamu punya printer sendiri? Kenapa harus print ke tempat aku? Kalau aku beri laporan ke pak Darga, apa yang harus aku jelaskan padanya?" Yuni mengomel panjang lebar.
Yang lain diam, tidak berani bersuara atau membantu kepo. Yuni, tidak suka sekali ada yang campur pekerjaan dengan pekerjaan lain. Apalagi, posisi dia bagian stok. Pasti wajib melaporkan kepada atasan, belum lagi barang yang keluar masuk dari gudang. Setiap hari wajib juga diperiksa. Jika salah saja, pastinya yang kena damprat itu Yuni. Bukan bawahannya. Karena Yuni ditunjukkan tanggung jawab paling besar.
Devi tidak bisa membantah. Dia merasa kali ini tidak tau apa pun. Sudah berapa kali dia mendapat masalah terus dengan Yuni. Jelas-jelas dia sudah memilih bagian printer miliknya kenapa pula masih tersambung ke tempat Yuni.
"Bukannya kamu paling genius soal komputerisasi? Kenapa soal printer seperti ini, bisa pula nyasar terus ke tempatku? Apa kamu coba ingin berurusan terus denganku. Apa kamu coba sengaja biar aku ditambahi mulut berdosa dari pak Darga?" Yuni tidak akan pernah diam lagi.
Dia sangat kesal banget padanya. Kirana sendiri juga sering kena getah dari mulut iblisnya Yuni. Makanya kadang dia kerepotan pada server printer-nya.
Kirana tidak bisa membayangkan bagaimana nasib penggantinya itu. "Aku lupa memberitahu kepadanya soal printer yang suka rusuh kalau print?"
"Jangankan kamu, dia sudah sering dapat sial amukan dari Yuni. Untung saja kamu dipindahkan di sini. Mungkin kamu sering kena omelan dan gak akan hidup tenang," kata Rasya.
Ada benar juga dikatakan oleh Rasya. Dia begitu beruntung, kalau tidak. Mungkin sampai matipun dia tidak akan pernah merasa tenang. Selalu berurusan dengannya. Sampai kini, dia masih penasaran pada jaringan selalu tersambung ke tempatnya.
Kirana dikejutkan oleh deringan telepon. Sebaliknya oleh Rasya. "Halo, selamat siang, bersama saya. Kirana Melani Lim, ada yang bisa saya bantu?" Dengan suara yang lembut, dengan sikap profesional. Semampu yang Kirana bisa memenuhi pada penelepon.
"Kirana?"
Kirana sangat mengenal suara itu. Dia terdiam sebentar sambil melirik Rasya masih di sebelahnya. Rasya berkerut untuk menanyakan siapa yang menelepon.
"Kirana?"
Sekali lagi Kirana merespons cepat. "Ya! Maaf, jika boleh saya tahu. Dengan siapa saya berbicara? Ada yang bisa saya bantu?"
Kirana mencoba menetralkan suara dan sikapnya. Dia tidak boleh terkecoh akan suara tidak asing. Sungguh, Kirana tidak tahu kapan dia kehilangan kontak suara itu.
Rasya mencolek Kirana. Kirana menoleh, Rasya memberi isyarat, bahwa dia ke atas, kembali bekerja. Kirana dengan sikap senyum dan menganggukkan. Sepeninggalnya Rasya dari tempatnya. Kemudian suara dari seberang lagi mengagetkan dirinya.
"Bagaimana kabarmu? Apa pekerjaan sekarang menyenangkan?"
Kirana mencoba untuk sopan. Meskipun dia tidak tahu tujuan suara seberang ini maksudnya apaan. "Kabar saya baik-baik, pak. Pekerjaan? Biasa saja, tidak buruk."
"Baguslah. Soal enam bulan belakangan ini. Saya minta maaf, tidak bisa belasungkawa atas meninggalnya almarhum beliau,"
"Tidak masalah, pak. Tidak perlu dikhawatirkan persoalan itu. Kalau tidak ada hal penting, saya akhiri percakapan ini. Selamat siang dan selamat berak...."
"Sebentar, apa kamu punya senggang? Ada hal yang ingin aku bicarakan, jika tidak keberatan, datanglah ke lantai enam,"
Sebelum memutuskan percakapan telepon dengan seseorang. Kirana tercegah sebentar dengan perintah dari penelepon.
"Lantai enam? Bukannya itu kantor bagian...."
Kirana sempat membatin. Dia tidak mungkin salah tebakan. Walau dia belum ketemu sekalipun dengan pemilik perusahaan ini.
"Ada apa? Saya tunggu, ya. Saya harap kamu tidak tau ruangan yang sering kamu lewati,"
Masih belum berakhir percakapan mereka. Setelah suara seberang mengakhiri terlebih dahulu. Kirana masih diam di posisinya. Beberapa saat kemudian, deringan telepon kembali berbunyi. Kali ini bukan suara tadi. Melainkan dari teman satu kantor. Siapa lagi Yuni.
"Halo, Kirana? Bisakah, kamu datang ke sini?"
Suara Yuni tidak pernah lembut. Selalu ngegas dan perintah sesukanya. "Memang ada perlu apa? Aku masih ada urusan ke lantai enam," jawabnya.
Kirana juga tidak akan pernah sopan. Walau Yuni lebih tinggi jabatan daripada dirinya. "Sebentar saja. Memang ada perlu apa di lantai enam? Bukannya itu bukan tugas kamu di sana?"
Kirana menghela pendek. "Memang sih. Ada sesuatu yang diminta oleh si penelepon tadi. Kurang tau, katanya ada yang ingin dia bicarakan."
Diseberang, Kirana juga mendengar hembusan nafas Yuni. Pasti ada masalah, tidak biasa Yuni meminta dia untuk datang ke kantor yang sebenarnya bukan bagiannya lagi. Rasanya Kirana ingin mengundurkan diri saja.
"Sebentar saja, tidak lama kok. Ada hal ingin ku tanyakan kepadamu," mohonnya.
"Baiklah, aku akan ke sana tiga menit lagi."
Setelah telepon menelepon usai, Kirana pun bergegas untuk ke kantor bagian finance. Sebelum dia beranjak dari tempat, entah suara dari mana itu muncul mengejutkan dirinya.
"Apakah pak Theo ada di kantor?" suara yang lembut, sopan, bahkan ngena banget di telinga Kirana.
Kirana memang belum bertemu dengan seorang bernama Theo. Tapi banyak yang membincangkan perihal itu. Apalagi nama yang disebut itu, sangat susah sekali disambut. Karena beliau suka menolak tamu mana saja yang ingin dia temui.
"Apa Ibu sudah janji dengan beliau?" Kali ini dia bertanya kepada wanita dengan rambut Coca-Cola.
"Belum, tapi saya sudah memberi sebuah pesan kepadanya. Kalau tidak, bisa saya titipkan ini, berikan kepadanya?" Wanita itu menyerahkan sebuah bingkisan, dari Kirana lihat, sepertinya isi di dalam itu makanan. Aroma saja bisa ke cium sangat jelas.
"Baiklah, akan saya berikan, jika saya boleh tau. Dengan siapa saya...."
"Vika, Vika Aurora," lanjutnya menyebutkan nama dengan lengkap.
Kirana akan mengingat nama itu. "Baiklah, Ibu Vika."
Setelah wanita itu pergi meninggalkan lobi. Kirana sekali lagi mengintip isinya. Lalu, dia dikagetkan deringan telepon.