Sang penolong

1173 Words
"Mau ke mana dirimu?" Temannya bertanya, melihat Tian mengambil jaket dan kunci mobil. "Ke luar!" Temannya pun mengikutinya, Tian menyalakan mobil dan keluar dari area ruko perumahan. Walau portal dan pintu gerbang sudah jam tutup. Penjaga ruko itu mengenal plat mobil dipakai oleh Tian. Dengan rasa hormat melaksanakan perintah hingga dia kembali. "Memang kamu tau dia ada di mana?" temannya bertanya. "Cari sampai dapat, yang pasti gak jauh dari sini," kata Tian sambil memperhatikan sekitar jalan. Temannya memindahkan posisi dan memandang Tian sangat lama. Tian sedang menyetir, dapat rasakan apa yang dipelototi oleh teman satu ini. "Kalau ada yang mau kamu tanyakan, tanyakan saja. Gak perlu memandang aku seperti itu," ucap Tian. Temannya tawa kecil. "Tau, aja, kamu ini. Apa yang sedang ingin aku tanyakan." "Karena dari cara tatapan kamu," Temannya kembali duduk semula dan memandang lurus ke depan. "Btw, tumbenan kamu peduli sama dia? Masih perjuangkan untuk dapatkan hatinya?" "Gak, aku gak mau ada yang terjadi pada pelanggan yang tinggal di rumah milik pamanku," kata Tian cepat. "Hm... bukannya kamu malas banget ngurus pekerjaan ini?" "Memang, apa boleh buat, sambil menguasai. Walau membosankan. Daripada aku disebut laki-laki gak berguna?" Tian tidak berhenti memperhatikan sekeliling luar jalan, walau sudah malam, apa pun yang di lihat tidak akan terlihat jelas. Rata-rata pada tutup, hanya beberapa lampu untuk menerangi jalanan. Bahkan area wilayah melewati mobil dan kendaraan juga mulai sepi. "Btw, Tian. Kalau dipikir-pikir ambil pekerjaan ini gak membosankan deh, menurut aku. Apalagi, paman kamu, kan, ingin kamu ...." Teman Tian terhantam ke depan, tiba-tiba Tian mendadak rem mobilnya. Membuat hidung mancung ke cium sama tepi pintu. "Ada apa sih? Untung hidung aku masih utuh," ngomelnya. Tian membuka sabuk pengamannya, lalu segera keluar dari mobil. "Eh, Tian? Haih, anak satu ini?!" Dia pun ikut keluar mengejar Tian melangkah ke salah tempat. Di sana terdapat tiga orang manusia sedang membantu salah satu temannya yang terlihat mabuk. Mega membantu membukakan pintu untuk Kirana masuk ke mobil Deny, tetapi Kirana masih setengah sadar, dia menolak untuk masuk ke mobil orang lain. Meskipun Mega berusaha membujuk. Tetap saja Kirana mencoba untuk menolak dan mengelak dengan alasan tidak jelas. "Tempat tinggal kamu dengan Deny searah, Rana. Lebih aman jika dia yang ...." "Gak apa-apa, aku bisa minta Jes...." Deny menangkap tubuh Kirana yang hampir jatuh. Kirana menahan dan menjauh dari tangkapannya. Deny hanya berniat untuk membantu. Namun firasat Kirana mengatakan, Deny bukan lelaki yang baik. "Biar aku yang bawa dia pulang," ucap seseorang. Membuat Mega dan Deny menoleh ke arah sumber suara itu. Tian dengan cepat menarik tubuh Kirana ke pelukannya. Kirana sempat melirik, walau wajah dia lihat tidak jelas. Yang pasti dia kenal suara itu. Teman Tian menyusul dengan muka kesal. "Tian!" Kirana pun mendengar panggilan itu, Kirana tidak tahu kenapa teman tetangganya bisa ada di sini. Mega dan Deny menatap Tian penuh tanda tanya. Tian dengan sikap gentelmen pun mengeluarkan suara sangat tegas dan sopan. "Aku, Tian. Keperluan lewat sekalian mencari keberadaan teman katanya gak tau jalan pulang," ucapnya. Mega dan Deny kembali saling memandang. Mereka tidak tahu, jika Kirana punya teman sebaik Tian. Selama ini yang Mega ketahui adalah kalau Kirana jarang perkenalkan teman-teman terutama teman Mega saja. Kirana mencoba untuk buka matanya. Tetapi pusing dan berat dimatanya membuat dia begitu sesak. Tian dapat merasakan napas Kirana tidak beraturan. Sementara teman Tian melihat wajah Kirana penuh keringatan dan ada aneh pada dirinya. "Kayaknya Kirana...." Tian tanpa segan menggendong Kirana di depan Mega dan Deny. "Kalau begitu, aku berterima kasih sudah menjaga Kirana dengan baik. Aku permisi undur pamit," ucap Tian berlalu ke tempat itu. Mega dan Deny tidak berkata apa pun, membiarkan Tian dan temannya pergi begitu saja. Deny dengan muka kesal gagal membual Kirana. "Katamu, dia gak punya teman selain dirimu?" kesal Deny, menyalahkan Mega. "Aku juga gak tau, kalau dia minta bala bantuan? Padahal obat yang kamu masukan ke minuman sudah berefek," Mega mengelak, tidak mau disalahkan juga. Dia juga ikut kesal karena tidak bisa membuat Kirana pingsan tidak berdaya. Kalau tidak, Mega sudah mendapat pendapatan yang cukup lumayan. Teman Tian bantu buka pintu untuk Kirana, Tian dengan perlahan menurunkan Kirana dari gendongan. Tidak lupa juga dia melepaskan jaketnya, untuk menutupi tubuh Kirana yang setengah terbuka. Walau Kirana juga memakai jaketnya. Teman Tian malah sibuk memerhatikan dua orang manusia masih beradu cengkerama. "Ada apa?" Tian malah bertanya melihat temannya tidak bergerak. "Aku penasaran sama mereka. Ada hubungan apa dengan Kirana? Apalagi sama lelaki satu itu. Aku kayak gak asing sama mukanya," jawabnya. Tian sekali lagi menoleh arah dua orang manusia itu. Meskipun Tian tidak tahu siapa mereka. Yang pasti Kirana sudah aman. Jika saja terlambat beberapa menit, mungkin dia tidak akan bisa menemukan Kirana sekarang. "Sepertinya, banyak sekali orang yang kamu kenal?" ucap Tian memilih masuk dan menjalankan mobilnya. Teman Tian tidak terlalu singgung persoalan pertanyaan itu. "Jelas, aku kan punya wawasan yang luas. Ketimbang dirimu? Di kamar mulu bawaan cuma sama buku tebal," balasnya. "Eugh!" Kirana mengeluh, dia merasa dadanya semakin sesak dan sedikit membara. Jaket yang diberikan oleh Tian dia singkirkannya. Teman Tian mengintip lewat kaca depan. "Apa sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit?" usulnya. Meskipun dia kenal Kirana, mengetahui tentang Kirana. Ada rasa peduli juga terhadap Kirana. Walau dia tidak terlalu dekatnya. Tian juga sempat melihat arah Kirana saat ini. Kirana merasa tersiksa sekali. Tian dengan segera menancap gas untuk tiba ke rumah. Tiga puluh enam menit kemudian, Tian memasukan mobil ke depan rumahnya, teman Tian keluar dan buka pintu di mana Kirana sekarang ini. Meskipun baju dipakai oleh Kirana buat gairahnya membludak. Yang pasti teman Tian tidak terpancing untuk saat ini. Dia juga tidak minat menodai wanita. Apalagi buat sakiti. Rasanya pahit untuknya. Teman Tian membaringkan tubuh Kirana ke ranjang. Tian sedang mencari sesuatu di luar kamar. Beberapa saat kemudian, dia pun kembali masuk dan membuka kotak P3K di sana ada beberapa obat yang bisa dia berikan untuk Kirana. Tian menyentuh kening Kirana dan juga sisi lehernya. Rasa panas itu membuat dia kesulitan bernapas. Teman Tian sedang di dapur membuat minuman hangat. Sepertinya permasalahan saat ini Kirana memang butuh pertolongan. "Ini, masih panas," ujar teman Tian. Dia berdiri menjauh dari ranjang di mana Tian membantu meminumkan untuk Kirana. Kirana sempat memuntahkan isi di mulutnya. Sekali lagi Tian berikan minuman dibuat oleh temannya yakni, Rendy. Setelah usai berikan obat pereda demam, mereka pun keluar dari kamar tersebut. Rendy tidak bisa berpikir jernih dengan dua teman Kirana itu. Tian mengeringkan tangannya. "Aku gak habis pikir, obat apa yang mereka berikan ke Kirana?" Rendy bertanya. Dia tidak pernah menemukan perihal seperti ini. "Yang penting dia sudah aman. Kalau saja kita terlambat beberapa menit. Mungkin kita tidak akan bisa menemukannya," kata Tian membuka notebook-nya. "Ya, kamu benar, kalau sampai aku jumpa itu laki-laki b******k. Aku bakalan...." "Jangan buat ulah lagi, gak cukup kamu bikin aku memohon sama paman sialan itu?" ucap Tian, sekali lagi membuat Rendy terdiam. "Habisnya, aku penasaran sama laki-laki tadi, di mana aku melihatnya," ujarnya kemudian mengamati langit ruang tengah. Tian tidak peduli siapa teman Kirana yang baru dia temui. Yang pasti dia sudah merasa lega jika Kirana telah aman bersamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD