BAB 9

1437 Words
Rendra baru selesai kuliah dan keluar dari kelas saat melihat Bella duduk sendirian di taman kampus. Awalnya dia merasa ragu untuk menghampiri Bella. Namun, perasaan bersalah yang terus-menerus menggerogoti hati Rendra membuat dia memberanikan diri untuk berbicara dengan Bella. Rendra tidak ingin dihantui rasa bersalah dan penyesalan yang tak kunjung usai akibat kepengecutan dirinya yang tidak berani menemui Bella. Setelah memantapkan niat dan memastikan tidak ada orang di sekitarnya yang berpotensi mengenali dan melihat dirinya bersama Bella, Rendra akhirnya berjalan menghampiri Bella. Rendra berjalan tanpa suara mendekati Bella yang duduk di kursi taman di bawah pohon dan tampak sedang melamun. Dia bersyukur suasana taman kampus pada siang hari ini tidak terlalu ramai sehingga dirinya bisa bebas berbicara dengan Bella. Rendra tidak mau kebersamaannya dengan Bella menjadi gosip baru yang akan tersebar di seluruh penjuru kampus ini. Rendra juga tidak mau Viona sampai mengetahui kalau dia menemui Bella dan berbicara empat mata dengannya. Namun, begitu tiba di belakang kursi yang diduduki oleh Bella, Rendra merasa ragu untuk menyapanya. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan terlebih dahulu kepada Bella. Keraguan Rendra membuat ia hanya berdiri mematung di belakang tempat Bella duduk hingga akhirnya Bella beranjak dari kursi dan melihat dirinya. Bella terlihat terkejut ketika melihat Rendra sudah berada di hadapannya. Mereka hanya saling menatap selama beberapa detik hingga akhirnya Rendra berani membuka suara ketika melihat Bella akan pergi meninggalkan taman kampus. Rendra menatap kepergian Bella dengan sorot mata sendu. Dia merasa lega karena telah meminta maaf dan mengungkapkan perasaannya pada Bella. Namun, Rendra merasa ada yang kosong di sudut hatinya seiring dengan langkah kaki Bella yang berjalan menjauhi taman kampus. Rendra merasa hubungannya dan Bella kali ini benar-benar akan menjauh dan berakhir. Rendra memegang dadanya. ‘Apa Bella juga merasakan apa yang aku rasakan sekarang? Kenapa hatiku terasa hampa setelah selesai bicara dengan Bella? Sebenarnya perasaan apa yang aku miliki untuk Bella?’ tanya hati Rendra. Rendra menghembuskan napas berulang kali untuk melegakan perasaannya. Setelah merasa lebih baik, Rendra berjalan meninggalkan taman kampus. Dia akan menjemput Viona yang masih ada mata kuliah sekarang. Rendra memilih untuk menunggu Viona di depan kelasnya agar mereka bisa segera pulang setelah mata kuliah Viona berakhir. oOo Sejak pembicaraan di taman kampus, Bella dan Rendra tidak bertemu lagi. Bukannya tidak pernah, tapi Bella selalu menghindar bila melihat Rendra di koridor kampus. Bella tidak mau pertemuannya dengan Rendra membuka luka hatinya yang belum kering. Siang itu, setelah tiba di rumah, Bella menangis sejadi-jadinya. Air mata yang ia tahan sejak berada di taman kampus tumpah tak terbendung. Bella patah hati. Rasa cinta yang telah lama Bella pendam, harus ia kubur dalam-dalam setelah mendengar pernyataan dari Rendra. Bella tetap berangkat kuliah meskipun suasana hatinya sedang kacau akibat pembicaraannya dengan Rendra. Baik di rumah maupun di kampus, Bella bersikap baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak mau ada orang yang tahu mengenai kejadian di taman kampus beberapa hari yang lalu. Bella tidak ingin membagi kisah cintanya yang berakhir menyakitkan dengan orang lain. Siang ini, Bella dan Fika berjalan di sepanjang koridor kampus sambil asyik mengobrol. Mereka membicarakan rencana libur akhir pekan besok pagi. Bella dan Fika ingin berkeliling Kota Bandung untuk mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di sini. “Jadi, besok kita bertemu di mana, Fik?” tanya Bella, setelah mereka memutuskan tempat wisata apa saja yang akan mereka kunjungi besok pagi. “Di halte dekat kos aku saja, Bel. Jam delapan pagi, ya,” kata Fika, menjawab tanya Bella. “Oke, Fik,” sahut Bella, mengacungkan jari jempolnya. Fika tersenyum. Dia terlihat sudah tidak sabar menanti hari esok tiba sama seperti Bella. Sejak Bella dan Fika kuliah di Bandung, mereka belum sempat mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kota kembang ini karena kesibukan masing-masing. Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Bella mendengar suara seseorang memanggil namanya. “Bella.” Bella dan Fika dengan kompak menghentikan langkah. Bella menoleh ke sumber suara dan mengernyitkan dahi ketika melihat seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi dan berwajah oriental berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. “Kamu Bella, kan?” tanya laki-laki itu, memandang Bella dari ujung kaki hingga ujung rambut untuk memastikan tidak salah mengenali orang. Bella mengangguk. “Iya. Kamu siapa?” Bella balik bertanya dengan raut wajah bingung. Dia merasa tidak asing dengan wajah laki-laki di hadapannya ini. Namun, Bella tidak ingat pernah melihatnya di mana. “Kamu lupa siapa aku, Bel?” tanya laki-laki itu, menunjuk wajahnya sendiri. Bella menatap laki-laki itu dengan saksama. Dia yakin pernah melihat laki-laki berpostur tubuh tinggi bak seorang model ini. Namun, Bella lupa siapa namanya. Dia terkejut ketika menoleh ke arah belakang laki-laki itu dan melihat Rendra berdiri di sana sambil menatap ke arah mereka tanpa suara. ‘Siapa laki-laki ini? Kenapa dia bersama Kak Rendra? Dia juga terlihat sangat mengenalku,’ batin Bella penuh tanya. “Iya. Aku temannya Rendra, Bel, tepatnya teman sekolah Rendra dulu,” ucap laki-laki itu seolah menjawab tanya di hati Bella. Bella kembali memandang laki-laki di hadapannya lagi. Jika laki-laki ini adalah teman sekolah Rendra dulu, wajar saja kalau dia mengenal Bella dan wajahnya tidak asing. Bella mengernyitkan dahi, mencoba menggali ingatannya tentang teman-teman sekolah Rendra yang dikenalnya dulu. “Kak Doni?” tanya Bella, menyebutkan satu nama yang diingatnya. Doni tersenyum dan menganggukkan kepala. “Iya. Aku Doni, Bel,” ujarnya membenarkan. “Kamu apa kabar?” “Alhamdulillah baik, Kak,” jawab Bella, balas tersenyum. Bella ingat Doni adalah salah satu teman Rendra yang sering bersamanya saat di sekolah dulu. Bella tidak mengenali sosok Doni saat ini karena telah banyak berubah dari yang terakhir diingat oleh Bella dulu. Jika dulu kulit Doni tampak hitam dan kusam karena sering terpapar sinar matahari saat bermain basket, kini kulit Doni telah berubah menjadi putih bersih. Wajahnya juga terlihat lebih tampan daripada dulu. “Kamu kuliah di kampus ini, Bel?” tanya Doni, ingin tahu. “Iya, Kak,” sahut Bella, menganggukkan kepala. “Berarti kamu sudah bertemu Rendra dong?” tanya Doni, memandang Bella dan Rendra bergantian. “Sudah, Kak. Kak Rendra menjadi salah satu panitia OSPEK aku kemarin,” kata Bella, menjelaskan. Doni mengernyitkan dahi. Dia tampak heran mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Bella. Bella mengerti maksud pertanyaan Doni. Namun, dia sengaja tidak menjelaskan lebih rinci mengenai pertemuannya dengan Rendra. “Kamu kuliah di sini, Kak? Aku nggak pernah melihat kamu sebelumnya,” tanya Bella, mengganti topik pembicaraan. “Aku kuliah di Bandung, tapi bukan di kampus ini, Bel,” jawab Doni. Bella mengangguk, mengerti. Pantas saja dia tidak pernah melihat Doni sejak awal kuliah di kampus ini. “Aku nggak menyangka bisa bertemu kamu lagi, Bel. Sekarang kamu semakin cantik meskipun tubuh kamu tetap mungil,” kata Doni, mengomentari penampilan Bella. “Kamu memuji aku atau meledek, Kak?” tanya Bella, mengerucutkan bibir. Doni tertawa melihat ekspresi wajah Bella. “Ya puji lah. Kamu sudah semakin dewasa sekarang, meskipun masih terlihat imut dengan bibir monyong seperti itu, Bel,” ujarnya memberi tahu. “Kakak ih ....” Bella merasa kesal mendengar penilaian Doni tentangnya. Tubuh Bella memang kecil, tapi wajahnya sudah tidak imut lagi seperti anak kecil. Doni tertawa semakin lebar. Dia tampak menikmati candaannya kepada Bella. “Sorry, Bel. Aku cuma bercanda,” kata Doni, setelah tawanya reda. “Oh ya, dia teman kamu, Bel?” tanyanya beralih memandang Fika yang sejak tadi hanya berdiri diam di sebelah Bella. Bella menoleh ke arah Fika. “Iya, Kak. Kenalkan, dia Fika. Fik, ini Kak Doni,” kata Bella, memperkenalkan keduanya. Fika dan Doni saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. “Fka.” “Doni.” “Aku dan Rendra mau makan siang bareng. Bagaimana kalau kalian ikut kami juga?” tanya Doni, menawarkan. Fika memandang Bella seolah meminta pendapatnya. “Eh – maaf, Kak. Kami nggak bisa. Kami ada acara lain setelah ini,” tolak Bella, beralasan. Bella dan Fika tidak memiliki acara lain setelah ini. Jam kuliah mereka juga telah berakhir. Namun, Bella tidak mau makan siang bersama Doni dan Rendra. Suasana makan siang nanti pasti akan terasa canggung dan tidak nyaman mengingat hubungan Bella dan Rendra yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Bella merasa lega karena Fika tidak mengatakan apa pun mengenai penolakannya. Bella tidak tahu bagaimana reaksi Rendra mendengar penolakannya, tapi dia bisa melihat kekecewaan yang terpancar dari raut wajah Doni. “Yah ... sayang banget, Bel, padahal kita sudah lama nggak bertemu dan mengobrol,” tutur Doni. “Iya. Maaf, Kak. Mungkin lain waktu,” kata Bella, menimpali. “Baiklah,” sahut Doni, akhirnya. “Kalau begitu kami pergi dulu, Kak,” pamit Bella, kemudian. “Iya, Bel.” Bella mengangguk ke arah Rendra sebagai tanda berpamitan, lalu menggandeng tangan Fika untuk segera pergi meninggalkan Doni dan Rendra. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD