"Dek, Kakak berangkat dulu ya? Kamu jaga Mama di rumah. Jangan lupa, kasih Mama minum obatnya nanti sore. Makanannya, tinggal kamu angetin aja dulu ya?" pesan Nayanika, kepada adik semata wayangnya, Mentari.
"Iya, Kak. Kakak pulang malem lagi hari ini??" tanya Mentari.
"Iya. Kenapa emangnya?" Nayanika mengikat rambut panjangnya dan membentuk sebuah cepol, agar memudahkan ia dalam pekerjaannya nanti.
"Mentari iseng, Kak. Biarpun, kita udah sebulan di sini. Tapi masih belum terbiasa. Masih asing rasanya. Takut, kak." Mentari bergidik sambil mendekap tubuhnya sendiri.
"Ya kan kakak pulangnya juga nggak terlalu malam. Jam sepuluh udah sampai di rumah lagi kok," ucap Nayanika sembari menghela napas.
"Iya sih, Kak. Tapi pokoknya, kalau kerjaan kakak udah beres, kakak langsung pulang ya?? Jangan lama-lama pulangnya," pinta Mentari dengan sambil memasang tampang memelas.
"Iya iya. Oh iya, kamu mau dibeliin apa nanti pulangnya?? Nasi goreng?? Ketoprak atau Martabak??" tanya Nayanika.
"Aku diet sih, Kak. Tapi siomay sih kalau ada."
"Kalau nggak ada, ketoprak mau??" tanya Nayanika.
"Boleh deh, Kak."
"Ya udah. Kamu baik-baik di rumah. Jaga Mama juga. Kakak berangkat kerja dulu," pamit Nayanika.
"Iya, Kak. Hati-hati kerjanya ya, Kak?? Jangan lupa, cepet pulangnya."
"Iya."
Nayanika pergi dengan sepeda motor matic, yang dibelinya juga dari uang yang Meisya berikan untuknya. Uang tersebut cukup untuk biaya hidup juga selama beberapa bulan ke depan. Akan tetapi, untuk terus bertahan hidup dan tidak hanya menghabiskan uang yang ada saja, ia tetap harus bekerja dan sebuah cafe lah pilihannya. Selain jam kerja yang fleksibel. Ia pun juga bisa bergantian dengan sang adik, untuk menjaga ibunya di rumah.
"Nay, tolong kasih ke meja nomor lima ya??" pinta salah seorang rekan kerja Nayanika.
"Iya," ucap Nayanika, sembari melipat bibirnya dengan cukup erat. Ada aroma yang tidak terlalu bersahabat, di indra penciumannya.
Nayanika bergegas dan memberikan pesanan, ke meja yang dimaksud.
"Ini pesanannya silahkan," ucap Nayanika seraya meletakkan pesanan meja itu dan kemudian segera berlari ke belakang, seraya membekap mulutnya sendiri.
"Hoek!"
Nayanika berjongkok di depan kloset. Ia memuntahkan hampir semua isi perutnya, hingga terasa lega. Namun, ditengah kelegaan itu, kepalanya mendadak pusing. Hingga ia harus segera mencari sesuatu untuk meredakannya. Nayanika keluar dari dalam toilet dan menghampiri temannya, yang sedang membuat pesanan.
"Nis, punya minyak angin nggak? Pinjem dulu dong kalau ada," ucap Nayanika.
"Di loker. Ambil aja nggak dikunci kok lokernya," jawab wanita, yang terlihat sibuk menyiapkan pesanan.
Nayanika secepatnya pergi ke loker. Ia cari nama Annisa dan membuka loker tersebut, lalu berjongkok sambil mengoles leher, pelipis kanan dan kirinya secara merata.
Rasanya tidak kuat bekerja. Ia bisa pingsan, bila terus memaksakan diri. Nayanika kembali mengoleskan minyak angin dengan lebih banyak. Supaya setidaknya, ia tidak merasa terlalu lemas begini dan masih bisa bertahan, untuk kembali bekerja lagi.
"Nay? Sakit??" tanya Andre, yang baru melihat Nayanika dari jarak satu meter saja, namun aroma minyak angin di tubuhnya tercium dengan sang cepat dan juga menyengat.
"Iya. Pusing. Enggak enak badan rasanya." Nayanika menyentuh pelipis kanan dan melakukan pijatan singkat.
"Ya udah. Izin pulang gih. Ngomong sama Bos dulu tapi."
"Ah nggak apa-apa kok. Aku masih kuat kerja!" ucap Nayanika sembari menurunkan tangannya lagi.
"Yee jangan. Nanti kalau pingsan gimana?? Udah sana, nggak apa-apa minta izin pulang. Daripada pingsan. Nggak akan ngomel kok Si Bos."
"Eum, ya udah deh." Nayanika berputar haluan tapi pemilik cafe baru turun dari lantai atas cafe ini dan hendak keluar dulu.
"Nah itu Si Bos. Bos, Naya izin pulang katanya," ucap Andre mewakili.
"Pulang?? Kenapa kok pulang??"
"Si Naya sakit. Nanti kalau sampai pingsan di sini kan repot juga, Bos."
"Oh ya udah sana. Pulang dulu istirahat."
"Nggak apa-apa, Pak?" tanya Nayanika.
"Ya nggak apa-apa. Daripada kata Andre tadi, kamu malah pingsan di sini. Apa mau saya anter pulang juga??"
"Nggak nggak usah, Pak. Saya pulang sendiri bisa kok."
"Serius saya. Sekalian saya mau keluar. Nanti daripada kamu pingsan di jalan. Itu muka kamu juga keliatan pucet."
"Nggak apa-apa, Pak. Masih bisa bawa motor sendiri kok. Nanti kalau kerasa gimana-gimana, saya berhenti dulu," ucap Nayanika.
"Oh ya udah kalau gitu. Hati-hati di jalan. Andre, saya keluar sebentar ya? Kalau ada yang cari, suruh tunggu dulu."
"Iya, Bos. Siap!" ucap Andre sembari melakukan gerakkan hormat.
Pemilik cafe pergi dan Nayanika pergi ke loker untuk berganti seragam dan membawa tasnya. Dia berdiam diri di atas motor, untuk merasakan tubuhnya sendiri, kiranya kuat ataupun tidak, bila dipaksakan pergi.
Nayanika menghela napas dan memakai helmnya. Ia melaju hanya beberapa belas meter saja dan berbelok ke sebuah rumah sakit terdekat. Bila hanya ke klinik biasa, ia yakin tidak akan sembuh dengan cepat. Bila langsung pergi ke dokter rumah sakit, ia akan meminta obat yang cukup bagus, agar bisa cepat kembali sehat dan pergi bekerja lagi. Ya, biarpun agak mahal, tapi kalau langsung sembuh kenapa tidak? Kalau ada penyakit yang sekiranya serius pun, ia akan langsung tahu juga kan??
Nayanika turun dari atas motornya dan berjalan dengan agak sempoyongan. Ia berhenti dulu dan menghela napas, lalu melangkah lagi dan mendatangi bagian pendaftaran.
Sudah mendapatkan nomor antrian di dokter umum. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya tiba gilirannya juga. Nayanika bangkit dari kursi dan masuk ke dalam ruangan dokter.
"Selamat sore, Dok." sapa Nayanika saat melihat dokter yang duduk sambil menunggu pasien barunya.
"Selamat sore. Ayo, silahkan duduk," ucap dokter tersebut sembari tersenyum.
"Apa keluhannya?" tanya sang dokter dengan ramah.
"Pusing, Dok. Mual. Badan rasanya lemas. Terus juga, tadi sempat muntah-muntah. Apa saya keracunan makanan ya?" tanya Nayanika.
"Kalau begitu, ayo, naik dulu. Biar saya periksa dulu," ucap dokter tersebut sembari menyuruh Nayanika untuk berbaring saja.
Detak jantung mulai diperiksa dengan menggunakan stetoskop. Mulut pun diminta untuk dibuka dan dilihat dengan menggunakan senter.
"Sepertinya bukan keracunan," ucap sang dokter sembari mematikan senternya dan menyuruh Nayanika, untuk duduk lagi di kursi.
"Kalau bukan keracunan, saya sakit apa ya, dok??"
"Kapan hari pertama haid terakhir?" tanya dokter tersebut dan Nayanika sempat mengerutkan keningnya dulu.
"Eum, awal bulan kemarin. Sekitar tanggal dua," jawab Nayanika.
Dokter itu menyentuh kalender yang ada di atas meja dan kemudian nampak tersenyum.
"Sepertinya, ini adalah tanda-tanda awal kehamilan," ucap dokter itu sampai Nayanika mengerjap bingung.
"Mana mungkin, Dok!?? Saya...," Tenggorokan Nayanika terasa tercekat. Ia ingin mengatakan, bila belum pernah menikah. Tapi baru ingat, bila memang pernah melakukannya dan itu, malah bersama dengan pria beristri!
Oh ya ampun!
"Dok, dokter ini salah kan?? Saya nggak mungkin hamil, dok!" ucap Nayanika bersikukuh.
"Kita bisa melakukan tes darah. Tapi, akan lebih cepat dan mudah, bila melakukan pengujian di dokter Obgyn secara langsung. Jadi, silahkan temui dokter Anita dan melakukan pemeriksaan lanjutan di sana ya? Kalau memang tidak terbukti hamil, baru kita lakukan uji sample darah, untuk mengetahui apa permasalahannya. Sus, tolong antarkan ke ruangan dokter Anita ya?"
"Baik, dok. Ayo Mbak. Ikut saya," ucap Suster yang kini menggiring Nayanika, ke ruangan yang lainnya.