Selalu Bertemu

1304 Words
"Gue mau buang air kecil dulu!" ucap Rosi, kepada Nayanika sembari menutup bagian kasirnya dan pergi, disaat sudah banyak pelanggan yang mengantri. Nayanika menatap barisan orang-orang, yang berada di belakang sana dan menghela napas, lalu memulai pekerjaannya itu. Kewalahan, karena hanya sendirian. Apa lagi, ia masih baru di sini. Sementara yang mengajarinya tadi, sedang membantu menurunkan barang yang datang. Jadi, Nayanika pun hanya sendirian di sana. Kelimpungan dan juga kebingungan. "Kenapa lama banget sih??" tanya seorang lelaki, yang merupakan suami dari salah satu customer yang baru selesai membeli perlengkapan rumah di dalam supermarket itu. "Iya! Kasirnya lama!! Mana cuma ada satu!! Lelet lagi!!" keluh wanita itu sembari menaruh barang belanjaannya di bagasi motor. Genta, pria yang tadi mengajari Nayanika dan sedang membantu bongkar barang pada truk pengangkut bahan itupun, kini melihat ke arah belakang. Dari kaca transparan itu, kelihatan sebuah antrian yang sangat panjang. Belum lagi, raut wajah mereka kelihatan seperti orang-orang yang kesal. "Genta! Nih ambil! Turunin! Malah bengong sih!?" hardik temannya, yang berada di dalam box mobil pengangkut barang ini. Genta ambil barang-barang itu dengan terburu-buru. Ia turunkan dengan sangat cepat dan setelah semuanya sudah berada di luar mobil. Genta pun cepat-cepat masuk ke dalam lagi. "Gue mau buang air kecil dulu!" cetus Genta, yang kini malah datang ke bagian kasir dan membuka rantai penutupnya. "Ayo silahkan, di sini kosong," ucap Genta dan antrian panjang itu mulai terpecah. Mereka mengantri di tempat Genta, yang sangat gesit mengambil barang-barang itu satu persatu dan memasukkannya ke dalam wadah. "Totalnya jadi lima ratus tiga puluh," ucap Genta, yang kemudian mendapatkan pembayarannya dan memberikan kembalian, lalu barang yang sudah dibayarkan itu juga. "Iya silahkan," ucap Genta yang kembali meladeni customer dengan secepat-cepatnya. Hingga antrian yang tadinya sangat panjang, sudah tidak lagi ada. Pembeli habis. Hanya tinggal satu terakhir, yang sedang Nayanika layanin, sebelum akhirnya ia berjongkok lemas di bawah. Nayanika kira, pekerjaan menjadi seorang kasir tidak terlalu melelahkan. Tapi ternyata ia salah. Ia seperti hampir mati dan mau mati saja rasanya. Kakinya pegal. Kepalanya pun pusing. Mau pulang. Tapi butuh uang. "Ini, minum dulu," ucap Genta, sembari memberikan sebotol air mineral untuk Nayanika. Nayanika langsung meneguk sebotol air mineral itu dan terlihat mengembuskan napas. "Capek ya?" tanya Genta dan Nayanika pun hanya mengangguk saja. Sudah tidak ada tenaga untuk bicara. Mau tidur di atas kasur, biarpun tidak terlalu empuk, tapi lumayan nyaman, untuk ia yang sedang kewalahan sekarang. "Rosi kemana??" tanya Genta. "Buang air kecil katanya," jawab Nayanika. Mulai lagi saja. Masa buang air kecil selama ini?? Bagaimana ada kasir yang betah, bila di ospek habis-habisan terus oleh senior yang satu itu dan mentang-mentang orang titipan, dia malah jadi seenaknya. "Kalau capek. Berhenti nggak apa-apa," ucap Genta, yang malah kasihan melihat Nayanika. Nayanika langsung bangun dan menunggu pembeli yang sedang berjalan ke arah kasir. Belum sampai tapi ia sudah sangat siap siaga di sana. Ia bahkan terlihat cekatan juga, dalam melayani orang tersebut, biarpun rasanya lelah sekali. Satu customer pergi. Kini, Nayanika kembali berlutut di bawah lagi. "Kerja itu emang capek. Tapi lebih capek lagi, kalau nggak punya uang. Biarpun capek. Tapi masih ada uang di tangan, semuanya pasti baik-baik aja," ucap Nayanika, untuk menimpali ucapan Genta tadi. Genta tersenyum tipis. Semangat yang begitu membara. Tidak tahu, dia akan bertahan berapa lama. Tapi untuk semangatnya di awal, memang bisa dibilang boleh juga. "Ya udah. Selamat bekerja. Kalau mau minum atau istirahat sebentar boleh ke belakang. Tapi, harus tetap ada salah satu kasir di sini," ucap Genta. "Iya aku paham kok," balas Nayanika lagi. "Woi Genta!" pekik teman-teman prianya, yang sedang mengangkat container box dari luar supermarket. "Oh iya iya, tunggu!" cetus Genta yang pergi untuk menghampiri orang-orang di sana itu dan membantu mengangkat barang-barang di luar sana. Sepulang dari bekerja. Nayanika langsung terkapar di atas sofa. Ia tak berdaya. Lelah. Baru hari pertama sudah digembleng habis-habisan. Ia lupa juga, bila ini adalah awal bulan. Yang berbelanja, pastinya akan membludak. Pantas saja, tadi langsung disuruh bekerja. Tapi untungnya, mulai besok, dia boleh masuk shift kedua terus. Karena jika adiknya sudah masuk sekolah lagi, setelah libur yang cuma beberapa hari ini, nanti tidak ada yang menjaga ibu mereka di rumah. "Kak?? Kakak udah pulang??" tanya Mentari, yang muncul dari kamar mandi. "Iya. Udah," jawab Nayanika sembari bangun dan duduk sambil bersandar pada sofa. "Gimana tempat kerja barunya, Kak??" tanya Mentari lagi, yang langsung dikabari, saat sang kakak diterima kerja dan mengatakan langsung bekerja hari itu juga. "Lumayan. Kerjaannya, cuma layanin orang yang belanja aja sih, Dek. Ya ringan lah," ucap Nayanika sambil tersenyum. Tidak boleh kelihatan susah dan lelah. Pokoknya, adik maupun ibunya, harus tahu bila ia sangatlah baik-baik saja. "Syukur deh, Kak. Untungnya, kerjaannya ringan ya, Kak?" ucap sang adik. "Iya. Em, kakak mau mandi dulu deh. Udah sore," ucap Nayanika sambil memegangi perutnya yang terasa sedikit kram. Di dapur. Nayanika memasak untuk dirinya, ibu maupun adiknya juga dan setelah masakan selesai. Ia siapkan di atas meja dapur dan Mentari mendorong ibunya di atas kursi roda ke sana. Nayanika makan, tapi sambil menyuapi ibunya ini juga. Satu suapan masuk ke mulutnya sendiri dan suapan yang berikutnya, datang untuk sang Ibunda. "Sini, Kak. Gantian," ucap Mentari. "Nggak usah. Kakak aja," ucap Nayanika, sembari menyuapi ibunya ini lagi dan mengajak sang ibu untuk berbicara, biarpun ibunya tidak bisa menimpali ucapannya. "Waktu Naya kecil, Mama juga suapi Naya begini ya?? Sambil Mama makan, sambil Naya juga makan," ucap Nayanika, yang selalu ingat setiap cerita ibunya. Sekarang gantian. Waktu kecil, ia yang disuapi dan setelah besar, ia lah yang menyuapi ibunya ini. Sekalian simulasi. Belajar untuk menjadi seorang ibu juga nantinya, yang pasti akan menjalani peranan ini juga. "Kak, punya pembalut nggak?? Kayaknya, Mentari mau datang bulan deh," tanya Mentari. "Nggak ada. Kakak kan udah nggak datang bulan," jawab Nayanika sampai adiknya itu jadi terheran-heran sendiri. "Hah? Udah nggak datang bulan, Kak??" ulang Mentari dan Nayanika pun langsung meralat ucapannya tadi. "Eum... Iya. Kakak nggak lagi datang bulan maksudnya. Jadinya, kakak nggak punya," ucap Nayanika dengan sedikit gugup. "Kamu beli aja sana. Ini uangnya," ucapnya Nayanika sembari mengeluarkan uang dari saku celananya. "Beli satu pak yang agak besar. Buat kakak juga nanti," ucap Nayanika sembari menyuapi ibunya lagi. "Iya, kak," sahut Mentari, seraya mengambil uang yang berada di atas meja dan menyimpannya di dalam kantung celananya sendiri. Esok harinya. Mentari pergi ke tempatnya bekerja agak siang. Karena jadwalnya sekarang, masuk pukul tiga dan pulang pukul sembilan malam. Jadi pergi dari rumah pukul setengah tiga pun masih ada tenggang waktu. Tidak akan terlambat juga. Hari ini, tidak bersama dengan wanita yang ketus kemarin lagi. Karena dia ada di shift pagi. Jadi satu pekan ke depan ia aman. Rekan kerjanya pun di shift ini biasa-biasa saja. Menegur seperlunya dan yang pasti, tidak sampai mengerjainya juga. Nayanika berusaha keras untuk lebih cekatan. Karena, tidak mau kehilangan pekerjaan lagi. Sulitnya mencari pekerjaan. Apa lagi, yang bisa memberikan kelonggaran, agar ia bisa selalu masuk di sore hari. Sementara itu saat malam tiba. Abiyaksa mengemudi dengan lemas. Ia mengambil botol air mineral di dashboard mobilnya dan ternyata, malah habis serta sisa sedikit saja. Masih haus dan tenggorokannya sudah terasa sangat kering kerontang. Ia pun menepi di sekitaran sini dan mendatangi salah satu toko yang masih buka. Niatnya, bukan hanya membeli minuman saja. Akan tetapi, ia juga ingin membeli camilan untuk istrinya juga di rumah. Setiap pulang, selalu saja dengan tangan kosong. Sepertinya sesekali, atau mungkin setiap pulang bekerja seperti saat ini, ia harus membelikannya camilan. Abiyaksa memasuki sebuah supermarket. Membeli satu botol air mineral tentunya. Lalu membelikan es krim, maupun cake untuk dibawa pulang. Snack-snack sepertinya istrinya suka. Tapi janganlah. Terlalu banyak bahan pengawet di dalamnya. Tidak sehat. "Ini aja, Pak?? Nggak ada tambahan yang lain??" tanya kasir yang menerima semua barang belanjaan Abiyaksa. "Kamu kerja di sini sekarang??" tanya Abiyaksa dan sontak wanita itupun mengangkat kepalanya dan menatap wajah Abiyaksa, sebelum akhirnya, ia menundukkan kepalanya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD