Udara di balkon lantai dua mulai dingin. Jam hampir menunjukkan tengah malam, tapi pesta belum benar-benar bubar. Tamu-tamu penting masih mengobrol, sebagian lagi sibuk mencari angle foto terbaik sebelum pulang. Roy berdiri sendirian. Dasinya sudah dilonggarkan, gelas anggur di tangan tak lagi disentuh sejak sepuluh menit lalu. Pandangannya kosong ke arah lampu-lampu taman yang berkedip—entah karena lampunya rusak, atau karena hatinya terlalu gelap. "Malam, Tuan Muda.” Suara itu datang dari belakang. Ringan. Nggak terlalu sopan, tapi cukup untuk membuat Roy menoleh. Herdi bersandar di ambang pintu balkon dengan ekspresi santai, tangan di saku celana. Tapi matanya… serius. "Kamu butuh ditampar pelan, atau cuma mau ditemani diem-diem?” Roy menatapnya datar. "Paman mau apa?” “Cuma

