Pesta resepsi berlangsung megah. Musik mengalun pelan, lampu kristal memantulkan cahaya ke segala arah, menciptakan ilusi bahwa semua yang terjadi malam ini penuh berkah. Tapi Andini hanya melihat satu hal dari sudut ballroom: Roy dan Melati berdiri berdampingan di atas panggung utama, seperti boneka pajangan yang terlalu mahal untuk disentuh, tapi terlalu rapuh untuk dijual. Ia menyesap teh. “Kenapa kamu minum teh kayak orang habis-habisan peluk bom?” Suara Herdi datang tanpa permisi, dan tanpa rasa bersalah ia duduk di kursi sebelah, menggigit pastry seperti tak ada yang salah di dunia. Andini melirik. “Karena bomnya belum meledak.” “Kamu pikir bakal meledak malam ini?” “Enggak, tapi retaknya udah mulai bunyi.” Herdi ikut memandangi Roy dan Melati. “Aku bisa tebak siapa yang megan

