Bella baru saja selesai mandi setelah pulang dari pertemuannya dengan Andreas. Dia masih sedikit kesal pada pria itu yang seolah-olah bisa membaca pikirannya.
Sebelum jam makan malam Bella melakukan video call dengan Agisa. Dia melaporkan hasil pertemuannya dengan Andreas dan meluapkan segala kekesalannya pada sahabatnya itu.
“Dia pria yang menyebalkan, Gis. Aku tidak menyukainya,” keluhnya pada Agisa.
“Hey, Baby. Kamu sudah pilih dia, bagaimana mungkin kamu tidak menyukainya? Apa yang menyebalkan darinya, coba beri tahu aku.”
Bella mendesah kesal, ketika dia harus kembali mengingat pertemuannya dengan Andreas. “Dia cuek, tatapan selalu bikin aku merinding, dan dia juga irit bicara. Dia sama sekali tidak ....”
“Bukankah itu bagus, Bella. Dia tidak banyak bicara, tepat seperti yang kamu mau, tidak suka pria cerewet. Iya kan?" Agisa mencoba membuka pikiran Bella mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh Andreas seperti yang dituturkan oleh Bella sendiri.
Bella tidak menjawab pertanyaan Agisa. Dia hanya sedang bingung saja dengan apa yang dirasakannya terhadap pria bernama Andreas itu.
“Apa yang salah dengan hal itu, Bells?” tanya Agisa lagi. “Atau, kamu mau batalkan kontraknya dan cari kandidat lain?”
Sontak saja Bella menggeleng cepat. “Bukan begitu, Gisa. Aku tidak berniat untuk membatalkan kontraknya."
Tentu saja Bella tidak mau menyia-nyiakan usaha Agisa yang telah banyak membatunya. Bella merasa jika Andreas terlalu misterius baginya. Namun, saat pria itu menawarkan untuk mengenalnya lebih dekat, Bella menolak karena dia merasa ada rasa takut yang menyelimuti hatinya.
“Jadi?” Agisa bertanya lagi.
Bella mengembuskan napas panjang. “Aku akan bicara pada papa untuk bertemu dengannya.”
“Nah, begitu maksudku! Bukankah ini semua demi warisan?!"
“Hey!” Bella memelototi Agisa dan sahabatnya itu tertawa lepas.
“Sorry. Demi kebebasan!” Agisa kembali tertawa di seberang sana setelah meralat ucapannya.
Bella menggelengkan kepalanya seraya tertawa kecil, bersamaan dengan suara ketukan pada pintu kamarnya. Kemudian Bella menyudahi panggilan video-nya karena ada yang datang.
“Baik, kita sambung lagi nanti. Bye, baby girl!”
Bella memutuskan panggilan video-nya setelah membalas ucapan Agisa. Bella beranjak turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Saat dia membuka pintunya, tampak Maya, adiknya berdiri dengan wajah tak bersahabatnya.
“Saatnya makan malam.”
Setelah mengatakan itu, Maya segera memutar tubuhnya dan berlalu dari hadapannya.
Bella hanya menghela napas panjang melihat kelakuan adiknya yang tampak seperti musuh. Di rumah itu, dua anak ayahnya memang terlihat tidak menyukainya. Bella berpikir jika itu adalah hasutan dari Indira, ibu tirinya yang sudah lama tidak disukainya.
Usai makan malam, Bella menemui ayahnya di ruang kerjanya. Ketika dia mengetuk pintu, dari dalam ruangan terdengar suara ayahnya yang meminta untuk masuk.
“Oh, Bella.” Adrian tampak senang begitu melihat putri sulungnya yang masuk ke ruangannya.
“Papa sibuk?” tanya Bella yang masih berdiri di balik pintu yang dia buka sebagian.
“Tidak. Masuklah, sayang!”
Akhirnya Bella menutup pintu di belakangnya dan menghampiri sang ayah. Dia menarik kursi tepat di depan meja kerja ayahnya dan duduk di kursi tersebut.
“Apa ada hal penting?” Adrian bertanya sembari menyatukan kedua tangan di atas meja. .
Kepala Bella mengangguk pelan. “Aku ingin mengenalkan seseorang pada papa.”
Adrian tersenyum senang. Wajahnya tampak berbinar cerah menyadari bahwa Bella akan melakukannya sekarang. Dia yakin bila Bella sudah siap untuk mengenalkan seorang yang spesial padanya.
“Boleh, kapan?”
“Makan siang besok, bila papa tidak sibuk.”
“Tentu saja, papa akan meluangkan waktu untuk besok.”
Keesokan harinya, Bella sudah berada di sebuah restoran bersama dengan Andreas. Sebelum ayahnya datang, Bella dan Andreas membuat sedikit informasi pada masing-masing mengenai pekerjaan dan hobi yang mereka sukai. Tentang di mana pertama kali mereka bertemu dan tempat apa saja yang menjadi favorit mereka.
Bella yang mengarahkan semua itu pada Andreas, dan lelaki itu hanya manut saja tanpa protes. Andreas bersikap seperti biasanya. Hal itu membuat Bella semakin gemas padanya.
“Itu papa,” kata Bella memberitahu Andreas ketika Adrian sudah memasuki restoran.
Andreas menoleh ke arah pintu masuk restoran dan tersenyum tipis.
“Halo, maaf sedikit terlambat." Adrian tiba di sana dan langsung mengambil duduk di kursi kosong bagiannya.
“Papa, ini Andreas. Andreas ini Papa." Bella memperkenalkan kedua pria itu.
Adrian menjabat tangan Andreas dan melempar senyum hangat. Kemudian mereka mulai memesan minuman sembari mengobrol.
Adrian yang lebih banyak bertanya pada Andreas mengenai latar belakang pria itu. Apa pekerjaannya, bagaimana dengan keluarganya, dan sudah sejauh mana hubungan mereka.
“Saya hanya seorang montir dan sampingan saya menjadi bartender. Dan saya hanya seorang diri di dunia ini, karena dibesarkan di panti asuhan.” Andreas mengatakan hal itu dengan nada datar.
Adrian menoleh ke arah Bella. Bella tahu bila ayahnya pasti tidak akan suka dengan hal itu. Padahal sudah sejak awal Bella meminta Andreas untuk tidak mengatakan mengenai panti asuhan.
“Ouh, sudah berapa lama kalian berpacaran?” tanya Adrian lagi.
“Tiga bulan.” Bella yang menjawab lebih dulu. Lalu, Andreas menatapnya. Bella balas menatapnya dengan berani.
Adrian manggut-manggut mengerti. “Masih terlalu baru.”
“Papa, kami berniat untuk menikah," ucap Bella dengan spontanitas.
Adrian terkejut dengan yang dikatakan oleh putrinya. Sedangkan Andreas masih memasang wajah datarnya, tatapan matanya bergantian memandang pada Bella dan pria di sebelahnya yang masih dalam keterkejutan.
“Menikah?” Adrian mengulang satu kata yang diucapkan oleh putrinya.
“Iya. Bukankah papa mengatakan jika aku sudah dewasa dan—”
Adrian mengangkat satu tangannya meminta Bella untuk tidak berbicara. “Bisakah kita bicarakan soal ini di rumah saja?”
Bella terdiam dan hanya menatap ayahnya dengan ekspresi yang terlihat buruk. Andreas menyadari hal tersebut.
“Kita akan bicarakan masalah ini di rumah, Sayang. Sejujurnya papa tidak nyaman sekarang.” Adrian berkata jujur. Dia merasa jika pria yang bersama putrinya bukanlah kriteria yang diinginkan olehnya ataupun ayahnya. Jelas sekali bila Pramana akan langsung menolak begitu tahu siapa pria yang dipacari oleh cucu kesayangannya.
Bella dan Adrian sudah berada di rumah, mereka memutuskan untuk pulang dan tidak kembali ke kantor. Bella segera masuk ke dalam kamarnya dia sangat kesal pada ayahnya mengenai penolakannya terhadap Andreas.
Adrian menyusul Bella yang sudah lebih dulu masuk ke kamarnya. Mereka harus membicarakan tentang pertemuan tadi.
“Aku akan menikah dengannya, Pa. Papa sendiri yang mengatakan bila aku boleh memilih sendiri siapa pria yang akan menjadi suamiku dan aku memilih dia tapi apa?! Papa malah menolaknya!” Bella kembali mengungkapkan protesnya terhadap ayahnya.
“Papa tahu itu, sayang. Tapi tidakkah kamu melihat siapa pria itu? Dia seorang montir dan lebih buruk dia memiliki latar belakang yang sangat jauh dari keluarga kita. Bukan hanya papa yang akan menolaknya tapi kakekmu juga pasti akan menolaknya.”
Bella semakin kesal mendengar fakta itu yang tidak mungkin bisa disangkalnya.
Di tempat lain, Andreas tengah berbicara dengan seseorang melalui panggilan teleponnya. Dia menyalakan rokoknya dan berjalan ke arah jendela.
“Coba tebak apa yang akan dia lakukan setelah ayahnya tidak merestui hubungan kami?” tanya Andreas pada lawan bicaranya.
“Kurasa kamu juga harus membantu meyakinkan ayahnya agar bisa menerimamu, Dre. Kamu mau rencanamu berhasil 'kan?”
Andreas mengembuskan asap nikotin dari mulutnya menjadi bulatan-bulatan kecil. Ya, temannya benar, bahwa dia harus membantu gadis itu agar pernikahan itu terjadi dan memudahkan rencananya.