4. Merajuk

1013 Words
“Bagaimana pertemuannya?” tanya Agisa melalui panggilan telepon. Gadis itu masih berada di luar kota dan belum bisa menemui Bella secara langsung. Dia penasaran dengan yang terjadi tadi siang mengenai pertemuan Andreas dan Adrian, ayah Bella. Bella mengembuskan napas panjang. “Aku rasa, papa tidak setuju karena Andreas hanya seorang montir dan tidak memiliki latar belakang terpandang.” Di seberang sana Agisa tampak kebingungan juga dan mau tak mau mencari solusi untuk masalah Bella. Kemudian dia memiliki ide lain. “Apa kamu mau cari yang lebih potensial?” Bella mengeluh. “Aku sedang tidak mood, Gisa.” Itu karena dia sudah yakin dengan pilihannya dan tidak mau mencari kandidat lain. Lagipula, dia tidak begitu menyukai acara yang menampilkan para pria tersebut, karena membuatnya risih dan khawatir bila para pria itu menganggapnya tidak menarik sehingga harus membayar pria bayaran untuk menjadi suaminya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Namun, Bella tidak mau ambil pusing dengan pemikiran orang lain terhadap dirinya. Yang dia inginkan hanya keluar dari rumah kakeknya dan menjauh dari ibu tiri yang tidak pernah dia sukai. “Jadi, bagaimana, Bella?” Pertanyaan Agisa terdengar putus asa, dia bahkan tidak tahu harus melakukan apa untuk membantu sahabatnya yang sedang dilema. “Aku akan bicarakan dengan papa lagi nanti. Mencoba untuk meyakinkannya mengenai Andreas.” Hanya itu yang bisa dia lakukan. Bella hanya tidak mau menyia-nyiakan usaha yang sudah mereka lakukan. “Kuharap semua berjalan lancar.” Bella mengamini ucapan Agisa, berharap semua sesuai dengan rencananya. “Kapan kamu pulang?” “Besok. Aku akan segera menemuimu begitu tiba di Jakarta.” “Baiklah. Aku merindukanmu, Gisa." “Me too, Baby.” Panggilan teleponnya terputus, Bella berjalan ke arah jendela kamar dan memandang langit yang malam itu tampak sangat gelap tanpa cahaya bintang. Bella sama sekali tidak mengerti dengan dirinya sendiri, seharusnya itu bukan masalah penting untuknya. Seperti yang dikatakan oleh Agisa, mereka bisa mencari kandidat lain yang lebih potensial untuknya. Tapi, Bella tidak mau, entah bagaimana dia merasa sudah yakin pada Andreas. Pria itu begitu membuatnya penasaran, seolah-olah ada magnet yang menariknya untuk mendekat pada pria tersebut. *** Bella berencana melewatkan sarapannya pagi itu, dia akan memilih drive thru saja hanya untuk menghindari ayahnya selama dua hari itu. Namun, saat turun dari tangga dan bersiap berangkat ke kantor, suara panggilan dari kakeknya menghentikan langkah kakinya. “Bella, jangan pergi sebelum sarapan.” Suara Pramana terdengar seperti perintah yang tidak boleh dilanggar oleh setiap anggota keluarganya, tanpa terkecuali Bella. Bella mengembuskan napas panjang, kemudian memutar tubuhnya ke arah ruang makan di mana seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul di sana. Demi kebaikan dan kelangsungan hidupnya, dia tidak mau melawan kakeknya. Jadi, dia melangkah gontai ke arah meja makan, lalu menarik kursi kosong tepat di sebelah Aditya, adik lelakinya dari ibu yang berbeda. Dengan sangat terpaksa Bella mencomot roti tawar di depannya. Aditya meletakan selai kacang ke arah Bella, karena tahu itu adalah selai favorit kakaknya. Melihat yang dilakukan oleh adiknya, Bella hanya tersenyum tipis. Adrian memperhatikan apa yang dilakukan oleh Bella. Dia tahu bila putrinya itu masih marah padanya, perihal penolakan yang dia layangkan pada Bella yang hendak menikah dengan Andreas. Adrian tidak bisa merestui hal itu, karena dia ingin Bella menikah dengan pria yang memiliki asal usul jelas. Bukan seperti Andreas yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keluarga yang sederajat dengan mereka. “Bagaimana pekerjaan di kantor, Bella?” tanya Pramana pada cucu kesayangannya. “Lumayan sibuk, Kek. Dua hari lagi tim kami akan melakukan survei lokasi untuk pembangunan villa di kota Malang.” Pramana manggut-manggut. Dia cukup senang dengan kinerja Bella di perusahaan yang sama sekali tidak keberatan bekerjasama dengan banyak orang. Apalagi Bella memiliki tim sendiri di divisinya meski dia hanya sebagai anggota paling junior di sana. Selesai sarapan Bella berangkat dengan tergesa-gesa, hal itu dilakukan agar ayahnya tidak meminta untuk berbagi kendaraan ke kantor. Pramana bisa melihat sikap cucunya yang sengaja menghindari ayahnya. Dia sempat mendengar pertengkaran ayah dan anak itu dua hari lalu tentang keinginan Bella yang menikah dengan pria pilihannya. “Kalian masih belum berbicara?" Pramana bertanya pada putranya yang masih berdiri di teras memandangi kendaraan yang ditumpangi Bella melesat keluar dari halaman rumah mereka. Adrian menghela napas panjang. “Dia masih merajuk." Pramana melipat bibir dan mengangguk pelan. “Siapa pria itu?” “Hanya seorang pemuda biasa dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Bila Bella bersikeras ingin menikah dengannya, saya khawatir dia tidak bisa memenuhi kebutuhan Bella.” “Apakah mereka saling mencintai?” tanya Pramana lagi ingin tahu. Adrian menoleh ke arah ayahnya dan tampak kebingungan, karena dia tidak tahu banyak mengenai hubungan putrinya dengan pemuda itu. Bahkan dia terkejut mengetahui bahwa putrinya bisa memiliki kekasih seorang montir. Adrian menjadi penasaran bagaimana pertemuan Bella dengan lelaki itu pertama kali dan seperti apa hubungan mereka. “Entahlah, mungkin saja begitu.” “Bila mereka saling mencintai, biarkan saja mereka menikah. Masalah pekerjaan pria itu, kita bisa memberinya pekerjaan yang lebih layak di perusahaan.” Suara Pramana terdengar sangat tenang saat mengatakan hal itu. Tapi Adrian masih belum bisa menerimanya begitu saja. Dia mau ayahnya berpikir ulang. Bukankah ayahnya sendiri yang menginginkan Bella menikah dengan pria yang sederajat dengan keluarga mereka. “Ayah yakin dengan pria itu?” Pramana memang belum bertemu dengan pria yang dicintai oleh cucunya. Dia jelas menginginkan kebahagiaan untuk Bella, dia berharap jika cucunya menemukan pria yang mencintainya. Hanya karena dia mengingat satu hal yang terjadi di masa lalu, dan Pramana tidak mau cucunya bernasib sama seperti mendiang menantunya yang berakhir tragis dan semua itu ulah dari putranya sendiri. “Ayah hanya tidak mau kejadian yang dialami Amanda dulu kembali terjadi pada Bella dan pastinya kamu juga tidak mau hal itu terjadi pada putrimu 'kan? Pikirkan lagi, Adrian.” Setelah mengatakan hal itu, Pramana menepuk pelan pundak Adrian dan meninggalkannya sendiri di teras rumah. Adrian berdiri dengan tubuh yang menegang. Dia tidak akan pernah melupakan masa kelam bersama ibu kandung Bella. Itulah yang menyebabkan putrinya menghindari dirinya selama bertahun-tahun. Semua itu terjadi karena ulahnya dan tidak bisa menjaga Bella dengan baik sehingga gadis kecil itu harus menyaksikan sendiri saat-saat terakhir ibunya yang tewas mengenaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD