“Enak!” seru Davina saat menikmati bubur kesukaannya.
“Kenapa makanan ini enak sekali, ya ampun! Aku nggak akan bosan makan setiap pagi.” ia benar-benar terlihat kelaparan, bahkan menyuap satu sendok penuh tanpa jeda hingga membuat kedua pipinya menggembung.
“Tau lapar banget, tadi beli dua.” ucap seorang lelaki yang duduk di bangku kemudi, tersenyum senang melihatnya makan dengan lahap
“Nggak usah dua, tapi ingin dibelikan setiap pagi.”
“Tentu sayang, aku akan membelikannya setiap pagi khusus untukmu.” lelaki itu mengusap lembut wajah Davina.
Dia bukan kekasih, tapi hubungan keduanya sangat dekat dan hangat. Lelaki yang setiap harinya memberikan perhatian dan kasih sayang yang tidak pernah berkurang, tapi justru semakin bertambah besar. Dia adalah Edo, ayah kandung Davina.
Hanya di depan lelaki itu saja Davina berani menunjukkan sisi manja yang ada dalam dirinya, sebab saat bersama orang lain, ia akan terlihat tegas, galak dan minim senyum. Hanya Edo yang mampu membuat princess ice tersenyum dan bebas melakukan apapun yang disukainya.
“Habis kerja atau berantem sih?!” Edo memegang tangan Davina, saat ia melihat luka di sana. Luka yang belum di obati dan masih terlihat darah segar.
“Lebih tepatnya dua-duanya sih,” jawabnya dengan senyum, tapi hal tersebut justru membuat Edo semakin kesal.
“Coba ceritakan, secara detail dan nggak ada yang ditutupi. Atau, ayah akan mendatangi rumah sakit dan menuntut tanggung jawab.”
“Ayah,,,” Davina merengek, tahu bahwa sang ayah akan selalu bersikap berlebihan saat dirinya mengalami sedikit masalah sekalipun.
“Hanya luka kecil, bukannya terluka saat bekerja ada hal yang biasa terjadi untuk seorang dokter? Kenapa ayah berlebihan sekali?!” Davina mencoba menutupi luka di tangannya, yang disebabkan oleh geng motor itu.
“Ayo turun! Kita obati lukanya!” Edo menarik tangan Davina, memintanya keluar dari dalam mobil untuk mengobati lukanya.
“Ayah,,,” ia hanya bisa merengek saja.
Beberapa hari berlalu setelah keributan hari itu, kehidupan Davina kembali normal seperti biasa walau ia harus mengganti beberapa kerusakan akibat Noah dan geng motornya. Tidak hanya itu, Davina juga terpaksa membayar biaya pengobatan Noah pada malam itu.
“Kak, aku jemput ya?” Ucap seseorang melalui sambungan telepon, di jam terkahir Davina bekerja. Untuk Minggu ini jadwal kerjanya di shif pagi sampai sore pukul empat.
“Boleh, tapi kamu nggak harus turun nanti situasi rumah sakit kacau.” balasnya sambil tersenyum.
“Oke. Aku juga nggak mau jadi pusat perhatian dan males ladenin orang minta foto, lagi capek banget.” balasnya.
“Oke.”
Panggilan terputus, dan saat Davina menyelesaikan tugasnya ia sudah melihat mobil mewah berwarna merah menyala memasuki lobi rumah sakit. Dia adalah Laura adiknya, atau yang lebih tepat adik satu ayah.
Laura adalah artis ibu kota, popularitasnya setara selebritis Fuji bahkan mungkin mereka sama-sama terkenal di negri ini.
Kehadiran Laura di rumah sakit bisa menimbulkan kegaduhan, oleh karena itu Davina kerap melarang Laura turun jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
“Hai Bu Dokter, apa kabar? Gimana kabarnya hari ini?” sapa Laura, saat Davina masuk kedalam mobilnya.
“Baik, bagaimana kabar artis ternama dan termahal se Indonesia ini? Apakah baik-baik saja?” Davina pun tidak mau kalah, dengan balik bertanya.
“Baik.” jawab Laura, disusul dengan tawa dari keduanya.
Hubungi kakak-adik yang cukup dekat. Memang tidak bisa dikatakan sangat dekat, sebab keduanya sudah memiliki kesibukan masing-masing, hanya saja baik Laura maupun Davina, keduanya kerap bertukar kabar melalui pesan singkat atau panggilan video.
“Langsung ke rumah Oma?” tanya Davina.
“Aku nggak bawa baju ganti untuk acara malam ini.” keluhnya.
“Aku punya banyak gaun, kamu bisa pakai gaunku.” Laura mengedipkan mata.
“Cari yang pas, walaupun tubuhmu lebih kecil tapi aku punya banyak gaun yang bisa di pilih.” sindirnya dengan senyum jahil.
“Baiklah,”
Rencananya malam ini keluarga besar Wijaya akan bertemu dengan keluarga besar Rahadi. Kedua keluarga yang sudah sepakat berniat menjodohkan salah satu cucu dari keluarga besar masing-masing. Dari keluarga Wijaya, ada Laura Amalia yang menjadi calon perjodohan, sementara dari keluarga Rahadi ada seorang pemuda yang tidak diketahui namanya. Davina pernah mendengarnya saat Oma menyebutkan nama calon jodoh Laura, hanya saja Davina tidak mengingat-ingatnya lagi merasa hal tersebut bukan kepentingan yang perlu diingat di hidupnya. Lelaki itu calon jodoh adiknya, tidak mengingat nama bukan kesalahan fatal.
“Aku pakai gaun ini ya?” Davina mengambil gaun berwarna putih untuk acara malam ini, gaun paling sederhana yang ada di lemari Laura..
“Kenapa pilih gaun itu, padahal ada banyak gaun bagus yang bisa kamu coba.” balas Laura. Wanita yang memiliki tubuh ideal seorang model itu mengenakan gaun berwarna merah cerah, warna kesukaannya dimana warna tersebut begitu kontras dengan kulit putih mulus yang dimilikinya.
“Hanya ini yang bisa dipakai, yang lain terlalu besar dan panjang.” karena Davina memiliki tinggi dan bentuk tubuh lebih kecil dari Laura, ia pun tidak bisa asal mengambil gaun untuk dikenakannya malam ini.
“Terlalu sederhana, Kak.”
“Nggak apa-apa, ini acara kamu. Bukan acara aku,” Davina meyakinkan.
“Baiklah, lagipula kenapa Oma harus menerima perjodohan ini, kayak aku nggak laku aja.” keluh Laura.
“Bukan perjodohan hanya perkenalan saja, kalau nggak cocok bisa menolak.”
Laura tersenyum samar. “Ngebet banget pengen besanan sama keluarga Rahadi, yang aku dengar cucu mereka justru berandalan ibu kota. Bayangkan, aku menikah dengan berandalan kota, apa jadinya reputasi ku ini nanti.”
Davina hanya terkekeh saja, mendengar keluh kesah Laura, dimana ia merasa keberatan atas rencana perjodohan kali ini. Laura memiliki paras yang sangat cantik, dia tidak akan mengalami kesulitan mencari jodoh, namun karena paksaan sang Oma, Laura pun terpaksa menyetujui tapi Laura menegaskan untuk tidak menjamin dia akan menerima perjodohan jika keduanya merasa tidak cocok.
Usia Davina dan Laura terpaut enam tahun, seharunya Davina lah yang di jodohkan, namun Oma memang sejak dulu memiliki kesenjangan kasih sayang, dimana ia selalu mendahulukan Laura dibanding Davina.
Acra pertemuan pun dilangsungkan di kediaman Wijaya, dimana Davina dan keluarga menjadi tuan rumah untuk malam ini.
“Tamunya sudah datang, ayo turun.” ajak Laura.
Dua cucu keluarga Wijaya pun turun dari lantai dua menuju lantai utama dimana tamu dari keluarga Rahadi sudah tiba. Keduanya berpenampilan sama-sama cantik, hanya saja Laura jauh lebih mencolok dengan penampilannya malam ini. Mungkin karena Laura sudah terbiasa merias diri, sementara Davina tidak, penampilan keduanya pun terlihat berbeda. Meksi begitu Davina pun tidak kalah cantiknya dengan Laura.
“Itu cucu saya,” Oma menunjuk ke arah Davina dan Laura, memperkenalkan.
“Laura dan Davina,” lanjutnya.
Davina memasang senyum manis di wajahnya, namun senyum itu perlahan luntur saat melihat sosok lelaki yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana, tengah menatapnya dengan tatapan tajam dan senyuman sinis.
“Hai, Dokter. Kita ketemu lagi.” ucapnya sambil mengangkat satu tangan, berlagak sudah sangat mengenal Davina.
“Aku nggak bohong, kan? Kita pasti bertemu lagi.” lanjutnya..