“Untukku?” Noah menoleh pada uluran tangan yang menggenggam secangkir teh hangat.
“Bukan, untuk manusia sok tahu dan suka ikut campur urusan orang lain!” Davina memasang wajah ketus saat membuka masker yang menutupi wajahnya.
“Galak bener, Neng. Jangan galak-galak, nanti kecintaan berabe loh!” Noah tersenyum jahil, mengambil cangkir kertas yang ada di tangan Davina.
“Makasih ya, walaupun kamu nggak ngucapin terimakasih padahal udah dibantu nenangin anak itu,”
“Lain kali jangan ikut campur, apapun alasannya. Dan,,” ragu, tapi Davina harus mengatakannya
“Terima kasih untuk bantuannya.”
Noah tersenyum, “Gitu kek dari tadi, susah amat bilang terima kasih, harus ngomel-ngomel dulu.”
Keduanya duduk di sebuah bangku kayu, usai menangani korban kecelakaan yang beruntungnya bisa diselamatkan tepat waktu. Kondisi korban laki-laki yang diduga sebagai ayah, berhasil diselamatkan oleh dokter Alfarezi, sementara Davina dan tim yang lain berhasil menyelamatkan ibu dan si anak.
Lega rasanya jika ia berhasil menyelamatkan nyawa seseorang tepat waktu, kini hanya tinggal menjalani serangkaian perawatan untuk memulihkan kondisi masing-masing.
“Ada keperluan apa datang ke sini? Lukamu sudah sangat membaik,” Davina menoleh ke arah leher Noah, dimana luka tersebut sudah sangat membaik bahkan tidak perlu lagi membutuhkan perawatan khusus. “Hanya tinggal minum obat, pakai salep secara teratur, lukamu sudah sangat membaik dan akan cepat sembuh. Bekasnya mungkin tidak akan hilang, kecuali kamu melakukan tindakan operasi.”
“Untuk apa melakukan operasi, aku punya banyak luka seperti ini.” Noah memegang lukanya,
“Mau lihat nggak?”
“Nggak!”
Noah terkekeh saja, berhasil mengerjai Davina.
“Hanya bercanda, kamu terlalu serius. Cobalah sedikit santai dan jangan menatapku seperti penjahat.”
“Wajahmu aura penjahatnya kuat banget,”
Noah kembali tertawa, “Masa sih? Ganteng begini dibilang penjahat.”
Davina hanya mengangkat kedua bahunya, sebagai jawaban.
“Untuk kopi dan roti yang kamu kirimkan tadi,”
“Oh itu,,, nggak masalah aku bisa kirim lebih banyak lagi untukmu tapi nggak pakai kalimat-kalimat zaman purba seperti itu lagi. Janji,”
Davina terdiam, detik berikutnya ia tersenyum.
“Oh, oke.”
Untuk pertama kalinya Noah melihat wanita itu tersenyum, keindahan yang berhasil disembunyikannya dengan begitu sempurna. Dibalik tatapan dan ekspresi wajahnya yang selalu terlihat datar, rupanya wanita itu menyembunyikan kecantikan luar biasa yang membuat jantung Noah tiba-tiba berdetak nyeri, akibat terlalu kencang.
“Woww,, cantik sekali.” pujian yang tidak hanya sekedar gombal semata, tapi begitu kalimat itu terucap senyum di wajah Davina kembali hilang berganti dengan ekspresi datar dan dingin.
Sulit sekali melihatnya kembali cantik, walaupun ekspresi dan sikapnya saat ini cenderung menyebalkan tapi Noah suka.
“Kamu suka roti?” tanya Noah lagi.
“Nggak, masih ada di ruang kerja belum habis.”
“Bagi ke perawat lain, mungkin mereka butuh.”
“Kamu nggak tersinggung aku kasih yang lain?”
“Tidak, aku lebih tersinggung kalau kamu tetap menyimpannya sampai tidak layak makan.”
“Baiklah, nanti aku bagikan.”
Senyum itu kembali terlihat walau tidak lebih dari satu detik saja.
“Davina,,” suara seorang lelaki terdengar memanggil, membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara.
Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan paras tampan menghampiri, tidak hanya satu tapi dua orang, walaupun lelaki satunya lagi lebih tua tapi tida mengurangi ketampanan yang dimilikinya. Salah satu dari dua lelaki itu dikenali Noah, dia adalah calon mertuanya, tapi yang berjalan beriringan bersamanya Noah tidak kenal namun dari tatapan dan gesture tubuhnya sudah dipastikan bahwa sosok itu merupakan ancaman besar untuknya.
“Ayah, Dokter Alfa.”
Alfa namanya, Noah langsung mengingat nama itu.
“Ngapain? Ayah cari-cari rupanya kamu malah disini,” ucap Edo, menoleh singkat ke arah Noah.
“Ayah mertua, apa kabar?” Noah tahu, sikap Edo tidak seramah Oma Teti, tapi bagaimanapun juga lelaki itu calon mertuanya, ia harus bersikap baik, jangan sampai ada kendala restu di kemudian hari.
“Baik, ngapain kamu disini? Laura mana?” Edo menarik Davina ke arahnya, tepat disamping Dokter Alfa..
“Maureen ketemu Davina.” jawab Noah jujur.
“Untuk?”
Interogasi mulai terjadi, lengkap dengan tatapan penuh curiga.
“Hanya ingin menyapa.”
“Laura ikut?”
“Tidak.”
“Kalau begitu jangan temui Davina saat Laura tidak bersamamu. Jangan menimbul fitnah yang nantinya akan berdampak buruk pada Davina.”
“Ayah,,” Davina memegang lengan Edo. Terlalu frontal dan tegas, tapi Edo memang sengaja mengatakannya agar dikemudian hari tidak terjadi salah paham
“Ayo, kita pulang.” ajak Davina.
“Aku bukan mengancam, aku hanya ingin kamu lebih memperhatikan sikap, jangan sampai menimbul salah paham pada putriku.”
“Baik,” Noah tersenyum samar dan mengaguk.
“Alfa, ayo kita pergi.” Ajak Edo.
“Noah, pulanglah.” ucap Davina.
“Oke, sampai ketemu lain waktu.” Noah pun akhirnya pergi, memasang senyum diwajahnya walau hatinya benar-benar kesal akan sikap calon mertuanya. Rupanya tidak hanya Alfa yang menjadi bibit pesaingnya, tapi juga Edo yang akan mempersulit pendekatannya dan Davina.
“Sial!” umpatnya, sambil berlalu menuju area parkir dimana mobilnya berada.
“Dia Noah Alexander Rahadi?” tanya Alifa, saat mereka bertiga menuju kantin.
Walau jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi kantin selalu buka dua puluh empat jam, kapanpun mereka butuh makanan atau minuman beberapa pedagang selalu menyediakan.
“Iya. Kamu kenal?”
“Kenal, tapi mungkin dia sudah lupa padaku. Sudah lama sekali kami bertemu, kalau tidak salah saat kami ada di universitas yang sama, di Amerika.”
“Latar pendidikannya memang bagus, entah mengapa penampilannya lebih mirip brandalan pasar.” Edo berdecak.
“Dia calon menantu ayah loh,,,” Davina tersenyum jahil.
“Iya.” Edo menghela lemah. “Entah apa yang menarik dengannya sampai Oma memilih cucu Rahadi sebagai calon menantunya. Ayah nggak suka,,,” ucapnya jujur.
Davina hanya terkekeh saja. “Jangan benci nanti jadi cinta. Siapa tahu jadi menantu kesayangan.”
“Nggak untuk kamu, sayang.” Tegas Edo
“Tapi untuk Laura?”
“Laura pasti punya pilihan sendiri, mungkin dia justru merasa cocok dengan lelaki seperti Noah, tapi tidak untukmu.”
Sikap yang selama ini kerap ditunjukkan Edo memang terkesan pilih kasih, dimana beberapa hal yang menyangkut di kehidupan Davina ia akan menjadi orang terdepan yang menilai. Selalu ingin yang terbaik untuk anak tertuanya, tapi terkesan abai dengan anak kedua. Itu juga yang memicu percikan api di tengah-tengah keluarga yang membuat Laura semakin menjauhi Edo menganggap sebagai orang tua pilih kasih. Entah alasan apa yang membuat Edo bersikap demikian, yang pasti kesenjangan kasih sayang itu masih berlanjut sampai detik ini.
“Lebih baik kamu mencari pendamping hidup yang memiliki profesi sama denganmu. Alfa misalnya,”
Davina menghela lemah, “Kenapa jadi ajang perjodohan sih, apakah aku terlihat sangat menyedihkannya dengan tidak memiliki kekasih sampai detik ini.”
Edo dan Alfa tertawa. “Meluluhkan hati wanita seperti Davina butuh kesabaran ekstra, dan aku harus lebih sabar lagi.” balas Alifa.
“Terus berjuang, Dok. Saya mendukung seratus persen.” balas Edo.