Bab 12. pengakuan

1076 Words
Bukan tidak menyadari, tapi Davina hanya tidak ingin menimbulkan kegaduhan di lingkungan tempatnya bekerja. Itulah sebabnya ia kerap mengasingkan diri dan lebih memilih untuk menjauh dari kerumunan walaupun masih saja tetap jadi bahan ghibah rekan kerjanya yang lain. Saat menikmati makan siang, Davina kedatangan tamu yang kerap menjadi bahan gunjingan akhir-akhir ini, dia adalah dokter muda nan tampan rupawan bernama Alfarezi Malik. Davina menatap tajam ke arah dokter yang sejak kehadirannya di rumah sakit ini kerap menunjukkan gelagat yang tidak bisa dikatakan normal. Lelaki itu menyukainya, Davina tahu itu. “Nggak marah kan, aku duduk disini.” ucapnya basa-basi. “Nggak, tapi mereka pasti marah. Idolanya duduk bareng aku.” Alfa menoleh ke arah belakang dimana beberapa wanita jelas-jelas menunjukkan ketertarikan padanya. Namun sama halnya dengan Davina, ia pun tidak mudah tergoda, bahkan kerap menghindar setiap kali merasa wanita-wanita itu sudah mulai bersikap agresif. “Itu urusan mereka, aku nggak ada kepentingan untuk menyenangkan mereka.” balasnya santai. “Tapi aku sangat terganggu,” kesal Davina. “Kalau begitu, abaikan saja. Kita tidak sedang melakukan kesalahan kan? Hanya makan bersama, kenapa harus peduli dengan penilaian orang lain.” Davina menghela lemah, kembali fokus ke arah mangkok berisi soto daging yang menjadi menu makan siangnya hari ini. Di tengah-tengah kantin yang begitu ramai, tiba-tiba kegaduhan terdengar dan semakin membuat kacau suasana kantin. Davina dan Alfa menoleh ke arah sumber kekacauan, dimana beberapa orang berlarian seolah hendak mengejar sesuatu. Keduanya menatap bingung, apa yang sebenarnya terjadi namun setelah kekacauan semakin tidak terkendali dan diantara kerumunan terlihat beberapa lelaki berpakaian serba hitam, lengkap dengan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya, barulah Davina menyadari siapa penyebab kekacauan itu. “Laura,,” ucapnya pelan, dan ia pun segera beranjak dari tempat dudukku untuk memastikan. Tidak bisa menerobos lautan manusia yang berdesakan ingin mendekati Laura, “Jangan mendekat, bahaya.” Alfa menahan Davina agar tidak mendekati kerumunan. Untuk menenangkan situasi yang semakin tidak terkendali, Alfa menghubungi beberapa pihak keamanan rumah sakit untuk membantu menenangkan kekacauan yang semakin tidak terkendali saja. Kehadiran artis ternama di sebuah kantin rumah sakit jelas membuat kekacauan yang begitu besar, orang-orang yang mengidolakan Laura rela berdesak-desakan hanya untuk mengabadikan momen bertemu langsung dengan sang idola. Foto bersama, minta tanda tangan, bahkan sampai berusaha menyentuh Laura mereka lakukan dengan brutal, hingga tiga pengawal Laura kewalahan mengatasinya. Tidak berselang lama, petugas keamanan pun datang, ikut membantu menertibkan situasi. Beruntung pihak keamanan rumah sakit berjumlah lebih dari sepuluh orang, hingga bisa mengatasinya dengan baik. “Lau, kenapa kamu ke sini? Ada perlu apa?” Penampilan Laura sedikit berantakan, dan wanita itu langsung mencari cermin untuk merapikannya. “Cermin!” ucapnya pada seorang wanita bertubuh gempal bernama Susi. “Ini,” Susi memberikan cermin berukuran satu telapak tangan orang dewasa pada Laura. “Kacau banget,” keluhnya, sambil membetulkan riasan di wajahnya. “Ada apa ke sini? Kenapa tiba-tiba datang?” tanya Davina lagi. “Noah mana?” Laura balik bertanya. “Nggak tahu,” Davina kebingungan sendiri saat Laura justru menanyakan keberadaan lelaki itu. “Dia bilang ada di rumah sakit.” Laura mengedarkan pandang, seolah tidak percaya dengan jawaban Davina. “Aku nggak tahu dia dimana, mungkin di tempat lain.” Davina memang tidak tahu dimana keberadaan Noah, setelah pertemuannya beberapa hari lalu, mereka tidak pernah berkomunikasi lagi, baik secara langsung ataupun pesan norak yang waktu itu di kirim Noah. Beberapa orang masih saja berdatangan ingin bertemu langsung dengan Laura, bahkan mereka pun mulai mengambil gambar dan video saat Laura bersama Davina. Hal tersebut membuat Davina merasa tidak nyaman, ia tidak terbiasa ada di tengah-tengah keramaian seperti saat ini, kecuali saat dalam situasi kritis atau dalam situasi kacau saat banyak pasien. Dua hal yang memiliki perbedaan, tidak bisa disamakan. “Ayo, kita masih punya banyak tugas. Sudah selesai kan, makanannya?” Ajak Alfa, menarik sikut Davina . “Oh iya,” kali ini Davina tidak menolak ajakan Alfa, menghindari kekacauan adalah hal terpenting saat ini. Laura pasti sudah terbiasa dengan keramaian dan banyak kamera yang membidik ke arahnya, tapi tidak dengan Davina. “Lau, aku masih di jam kerja, nggak bisa nemenin kamu. Kalau mau cari Noah, coba hubungi dia dulu dan tanyakan lagi dimana posisinya saat ini.” Davina mendekat “Jangan berkeliaran di tempat keramaian seperti ini tanpa penjagaan ketat, kamu bisa terluka.” Davina melihat sendiri beberapa ibu-ibu yang merasa gemas sendiri melihat kecantikan Laura hingga mereka tanpa sadar mencubitnya. “Oke, aku cari Noah dulu.” Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, untuk menghubungi Noah menanyakan keberadaannya. Namun belum sempat berhasil menghubungi Noah, tiba-tiba saja lelaki itu muncul dengan penampilan yang jauh lebih rapi. Bukan lagi mengenakan pakaian biasa, celana sobek, jaket jeans dan kaos saja, tapi kali ini penampilannya jauh lebih rapi, khas seorang pengusaha muda. Rambut yang selalu dibiarkan begitu saja, kini disisir rapi. Seperti Noah yang berbeda tapi saat tersenyum, barulah percaya bahwa lelaki itu masih Noah yang sama. “Davina,” namun bukan mengapa Laura yang memang sudah menunggunya bahkan mencarinya di tengah keramaian, tapi yang pertama di sapa adalah Davina. “Nih, untuk kamu.” tanpa ragu, lelaki itu memberikan paper bag yang dibawanya. “Salad sayur dan buah. Nggak tahu sih mana yang enak, beli dua-duanya aja. Kamu nggak suka roti, kan? Aku belikan makanan sehat kali ini.” Kedua mata Davina terbelalak, saat Noah mengucapkan kalimat yang mungkin akan membuat Laura salah paham. “Davina nggak suka salad buah, salad sayur pun merk tertentu saja.” Alfa mengambil alih paper bag, “Tapi, makasih sudah perhatian sama Davina. Sebagai calon adik ipar, memang harus bersikap baik, kan?” Alfa menepuk pundak Noah, “Kami pamit, kalian ngobrol aja. Oke.” Alifa menarik tangan Davina, kali ini menggenggamnya dengan erat meninggalkan Laura yang masih terlihat terkejut. “Kalian sering bertemu?” tanya Laura. “Nggak juga. Hanya sesekali.” jawab Noah santai. “Bahkan saat kamu bilang sibuk dan nggak ada waktu, kamu masih sempat-sempatnya ke sini?” Noah menghela “Ayolah, jangan mendramatisir keadaan. Tidak seperti yang kamu bayangkan, tapi mungkin saja apa yang kamu pikirkan itu yang terjadi saat ini.” Noah menatap ke arah Laura “Kita sudah sama-sama dewasa, kamu pasti paham betul situasi seperti apa sekarang.” “Ayo, kita pergi. Atau kamu masih ingin disini, jadi pusat perhatian orang-orang? Terserah sih.” Noah segera beranjak meninggalkan Laura namun hanya beberapa langkah saja, sebelum akhirnya Laura memanggilnya. “Noah, tunggu! Jangan tinggalkan pacarmu ini!” ucapnya, yang langsung menimbulkan kegaduhan di seluruh penjuru rumah sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD