Davina memandang bingung ke arah ponsel yang terus berdering sejak beberapa menit lalu. Tidak menerima panggilan bukan berarti ia dalam kondisi sibuk, tidak sama sekali. Bahkan saat ini pun, ia tengah memandangi layar ponselnya dimana terdapat sebuah nama terpampang di layar.
Nama yang tidak asing lagi, tapi kemunculannya di waktu seperti saat ini sungguh merupakan hal yang sedikit mustahil.
Davina menoleh ke arah jam dinding, dimana waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Masih terlalu pagi untuk menerima kejutan, yakni panggilan dari adiknya, Laura.
“Iya, Lau.” pada akhirnya, ia menerima panggilan, setelah membiarkan Laura memanggilnya sampai tiga kali. Tidak bermaksud abai, hanya saja Davina ingin memastikan, bisa saja Laura hendak menghubungi seseorang, namun tanpa sengaja menghubunginya.
“Ada waktu, Kak?” tanya Laura dari seberang sana.
“Kapan?”
“Sore nanti,”
Davina berpikir sebentar. “Aku tidak bisa memastikan, kadang situasinya berubah setiap jam. Ada apa?” karena pekerjaannya tidak menentu, kadang sangat santai tapi kadang juga terburu-buru, Davina pun tidak bisa menjanjikan.
“Ingin ngobrol saja, ada yang ingin dibahas denganmu.”
“Apa?” Davina sedikit penasaran.
“Lebih tepatnya minta pendapat sih,”
Davina terkekeh, “Tumben banget minta pendapatku, biasanya nggak pernah.”
Laura adalah wanita dewasa yang tidak pernah melibatkan apapun bersama keluarga. Satu-satunya keluarga yang selalu terlibat adakah Oma, sementara Davina dan Edo tidak pernah dilibatkan dan untuk pertama kalinya, Laura meminta pendapat Davina.
“Ini sedikit penting, dan karena kak Davina adalah sosok pengganti ibu, aku harap bisa memberiku sedikit masukan.”
“Tetang?”
“Noah,”
Seketika Davina merasa keengganan dalam hatinya, berurusan dengan lelaki itu tentu saja akan membuat Oma semakin salah paham terhadapnya.
“Noah, kenapa dia?”
“Nggak bisa dijelaskan lewat telpon, kita harus bicara secara langsung. Nanti aku jemput, ya? Kebetulan aku nggak ada jadwal hari ini.”
“Baiklah.”
“Sampai ketemu nanti, Kak.”
Dan, panggilan pun terputus. Larap ponsel berubah hitam, tapi Davina masih menatap layar ponselnya hingga sebuah pesan masuk pun terlihat.
Davina tersenyum melihat nama si pengirim pesan, dan tidak berselang lama ponselnya pun kembali berdering.
“Iya,” jawabnya. Kali ini bukan hanya panggilan suara, tapi video.
Muncul dua wajah dalam satu frame, yang membuat Davina terkekeh melihatnya. Mereka adalah pasangan favorit Davina, dimana ketulusan dan kekuatan cinta terlihat begitu besar diantara keduanya. Cinta setara yang sama-sama kuat.
“Kenapa? Kalian merindukanku?” tanyanya, dengan satu alis terangkat.
“Tentu saja! Kami begitu merindukanmu.” jawab Reno, ayah sambungnya.
“Aku memang ngangenin sih,” Davina memasang wajah imut yang dibuat-buat.
“Gimana kabarnya, sayang? Kenapa tidak memberi kabar?” tanya Tiara, ibunya.
“Ya ampun ibu, baru sehari nggak kirim pesan.”
“Ibu minta kamu kirim pesan setiap hari, kamu bikin ibu khawatir.”
Davina tahu kekhawatiran yang dirasakan ibunya, tapi terkadang ia melupakan hal penting yang sangat dinantikan ibunya, yakni mengirim pesan singkat atau sekedar bertukar kabar.
“Aku baik, Bu. Beberapa hari lalu ada acara keluarga dan sedikit sibuk, maaf sampai lupa kasih kabar.”
“Acara apa?” tanya Reno.
“Perjodohan Laura,”
“Ohh, gimana calon suami Laura? Ganteng, kaya dan mapan? Baik hati, Soleh dan sayang istri?”
Davina tertawa mendengarnya. “Aku tidak tahu, Ayah. Tapi visualnya lebih mirip preman pasar.”
“Apa?! Mana mungkin speak preman pasar lolos dari standar nenekmu.”
“Sungguh, wajahnya seperti preman pasar aku tidak berbohong. Dia itu,,,”
“Kau membicarakan ku?”
Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu masuk, di ruang kerjanya dan saat menoleh Davina dibuat terkejut oleh kehadiran sosok lelaki yang sialnya sedang dibicarakan.
“Kamu,,”
“Aku sudah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, kamu tidak mendengarnya. Kalau tidak percaya, jangan salahkan aku,” Noah berjalan dengan langkah santai, menghampiri Davina yang duduk di meja kerjanya.
“Nanti aku hubungi lagi, dah…” Davina melampiaskan tangannya ke arah layar ponsel dan langsung mematikan sambungan secara sepihak.
Noah menatap dengan senyum jahil ke arah Davina, saat wanita itu kembali memasang wajah datar dan dingin, lengkap dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Davina.
“Untuk pemeriksaan awal dan untuk pendaftaran ada di sebelah sana, bukan disini. Ada prosedur yang harus dipatuhi, tidak bisa langsung menemui dokter sesuka hati.”
Noah memasukkan kedua tangannya kedalam kantong celana, penampilannya tidak serapi malam itu, ia seperti kembali ke stelan asli dengan mengenakan celana jeans dan jaket hitam. Tidak salah jika Davina menyebutnya seperti preman pasar karena memang seperti itu penampilannya, namun sialnya, lelaki itu masih saja terlihat mempesona.
“Tidak ada urusan dengan mereka dan terlalu merepotkan harus lapor sana sini,” balasnya santai.
“Aku datang untuk mengganti kekacauan malam itu,”
Davina berdecak, “Tidak ada kekacauan, semuanya sudah teratasi dengan baik. Jika tidak ada keperluan lain, silahkan pergi.” Davina mempersilahkan Noah pergi dari ruangannya.
“Galak banget sih?!” keluhnya, alih-alih menuruti perintah Davina, lelaki itu justru duduk di bangkar yang ada di ruang kerja Davina.
“Lukaku masih basah dan butuh pemeriksaan, sepertinya terkendali infeksi.” Noah menarik perban di lehernya, dan memang masih terlihat sedikit basah belum tertutup sepenuhnya.
“Periksa,” titahnya.
“Silahkan daftar terlebih dahulu,”
Noah berdecak, “Aku sudah daftar dan melakukan semua proses itu, kenapa lambat sekali!” Noah kesal, ia segera turun dari bangkar dan menarik Davina.
Tentu saja Davina memberontak, dengan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman lelaki itu.
“Periksa, atau aku akan lebih kasar lagi.” ancamnya.
Davina menarik tangannya hingga terlepas, menatap kesal ke arah lelaki itu.
“Duduk!”
Kaki ini giliran Davina memerintah, “Buka jaketnya.”
Noah mengangguk dan melepaskan jaket yang dikenakannya. “Kita tidak sedang melakukan pemeriksaan lain, kan? Sampai harus membuka jaket segala?”
Davina tidak menjawab, ia berusaha untuk mengabaikan lelaki itu dan tidak mudah terpancing walaupun sikap dan kata-kata Noah membuatnya kesal.
Davina memeriksa luka di leher lelaki itu dengan seksama, memang tidak di rawat dengan baik hingga proses penyembuhannya sangat lambat. Bahkan beberapa titik mengalami infeksi ringan yang pastinya menimbulkan rasa gatal dan sakit di waktu bersamaan.
Saat jarak keduanya sangat dekat karena luka Noah ada di bagian leher, lelaki itu bisa melihat wajah Davina dengan sangat dekat dan jelas. Bulu mata lentik, hidung mancung bahkan kedua bola mata yang begitu indah. Tanpa sadar Noah mengagumi kecantikan Davina yang terlihat natural, bahkan bisa dipastikan wanita itu tidak mengukir alisnya karena masih terlihat berantakan khas bentuk aslinya.
Dibalik masker yang menutupi wajahnya ada bibir merah merona yang selalu terlihat indah saat tersenyum, tapi pedas saat berbicara.
“Sudah selesai,” Davina segera menjauhkan diri, setelah memeriksa dengan seksama.
“Ada sedikit infeksi, aku akan meresepkan salep dan obat yang bisa kamu konsumsi nantinya.”
Noah mengangguk, kembali mengenakan jaketnya.
“Aku akan menutup kembali lukanya dengan perban, jangan terlalu sering kena air dan sangat disarankan menghubungi plester anti air.” Davina kembali menghampiri dengan membawa perban, usai mengoles salep khusus, ia kembali menutup luka Noah.
“Ini resepnya, dan kamu bisa ambil di apotik.” Davina juga mengerikan secarik kertas dimana ia sudah menuliskan resep untuk Noah, tapi lelaki itu justru mengembalikan kertas resep pada Davina.
“Kamu aja yang beli, aku akan datang setiap jadwal membersihkan luka. Dan untuk biaya pengobatannya akan ku bayar di pertemuan berikutnya.” Noah tersenyum jahil
“Terimakasih dan sampai jumpa lagi,,” tanpa merasa bersalah, bahkan mengabaikan ekspresi Davina yang terlihat sangat kesal, lelaki itu melambaikan tangannya dan pergi begitu saja.
“Preman kampung!” umpat Davina, melempar kertas ke arah pintu, namun sayangnya sosok Noah sudah menghilang.