Pertemuan

1935 Words
Napas Sandra begitu memburu, tangannya mencengkram erat sabuk pengaman. Sementara Leon yang duduk di sampingnya, tampak terlihat sangat tenang. Tidak seperti ia yang panik, seakan nyawanya akan melayang dalam hitungan detik. "Yaaa, LEON!!" teriak Sandra, menolehkan kepalanya ke Leon dengan mata melotot. Seandainya bukan ciptaan Tuhan, mungkin bola mata Sandra sudah keluar dari tempatnya. "LO MAU MATI?" Sandra kembali berteriak, volume suaranya mengalahkan nada tinggi dari penyanyi sopran. Begitu melengking dan memekakkan telinga. Namun, meski suara Sandra yang cempreng sudah berteriak-teriak sekencang mungkin. Nyatanya Leon tetap tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Sandra. "Apaan, nggak kedengeran!" Sandra mengembuskan napas kasar, memejamkan mata sejenak. Habis sudah kesabarannya, singa gila di sampingnya berhasil membangunkan kemarahan dalam dirinya. Bola api dalam tubuhnya sudah meledak-ledak sampai ke ubun-ubun, asapnya mengepul lewat kedua telinganya, diiringi dengan mata melirik tajam ke arah Leon dan dalam hitungan detik ia siap menyembur pria itu. "HIYAAAA!!!" Sandra berteriak lagi, tangannya bergerak cepat mematikan tombol musik yang ada dasbor. Telinganya begitu pengang akibat musik rock yang diputar oleh Leon dengan volume penuh, ditambah pria itu memacu mobilnya dengan kecepatan di atas normal seakan mereka tengah berada di arena balap mobil. Rasanya jantung Sandra seolah berpacu mengalahkan peluncuran roket ke luar angkasa, bagaikan rollercoaster yang terjun bebas ke bawah. Sangat mengerikan! Benar-benar menegangkan! "Ngapain di matiin si?" Leon berdecak, tangannya berusaha menggapai tombol untuk menyalakan musik lagi. Tapi Sandra menghalanginya, menepis-nepis tangannya agar tidak menyentuh tombol itu. "Sandra!" bentak Leon, geram. Sandra sama sekali tak terpengaruh oleh bentakan Leon, ia tetap menyingkirkan tangan pria itu dari tombol. Hingga hal kekanak-kanakan terjadi, keduanya saling berebut tombol. Hal itu membuat konsentrasi Leon terpecah, dan saat ada mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan seketika ia membanting stir ke kiri untuk menghindari tabrakan. "Aaa————" Sandra memekik, tapi kemudian tercekat saat merasakan sesuatu yang basah mendarat di pipinya. Sesaat ia membeku, hingga kesadaran mengambil alih tubuhnya. Lalu perlahan ia menggerakan bola matanya bergerak ke samping dan spontan berjengit saat sadar bibir Leon yang berada di pipinya. "Dasar m***m!!" "Arggh!" Leon meringis, merasakan pipinya cenat-cenut akibat tamparan tangan Sandra yang berhasil memberikan sensasi panas luar biasa dan cap merah di pipinya. "Kau gila?" Leon mendelik, geram bukan main. Ia memegangi sebelah pipinya yang memerah dan terasa panas seperti terbakar. "Kau yang gila!" sergah Sandra, kesal. "Apa kau mau mati? Kalau kau mau mati, mati saja sendiri. Nggak usah ajak-ajak aku!" Leon mendengkus, ia geregetan sendiri melihat bibir Sandra yang bergerak ke kanan-kiri. Rasanya ia ingin menggeprek mulut wanita itu agar tidak berisik lagi atau membungkam dengan bibirnya sendiri. Mungkin opsi kedua jauh lebih menarik dan sangat menantang tentunya, mengingat Sandra paling anti dengan dirinya. "Bawel!" seru Leon kemudian, seraya menarik persneling dan mulai melajukan kembali mobilnya. "Apa kau bilang?" Tentu saja Sandra tak terima dibilang bawel. Lagian juga salah Leon sendiri, kenapa pria itu harus menyetir seperti orang kesurupan. Kalau Leon mau mati, seharusnya dia mati sendiri bukannya malah membawa Sandra ikut serta. Argggh! Sandra benar-benar muak dengan pria itu. Leon yang malas berdebat dengan Sandra memilih diam dan fokus mengemudikan mobilnya yang kembali melaju di jalan raya. Sandra berdecih, sadar dikacangin ia pun membuang mukanya ke samping. Ubun-ubunnya mendidih kalau melihat Leon, apalagi pria itu terus memicu ketegangan setiap kali bersama. Hening! Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi sepertinya yang dipikiran oleh mereka sama, seputar pernikahan yang dipercepat. Mamanya Leon sudah memutuskan kalau nanti malam mereka akan melangsungkan pertemuan antar keluarga untuk membahas hal tersebut. Sebenarnya tanpa perlu didiskusikan lagi orangtua Sandra pasti akan setuju-setuju saja, lagian memang ini kan yang mereka mau. Pernikahan bisnis! Sandra membenci label itu, tapi kenyataannya memang begitu. Pernikahannya dengan Leon dilandasi atas dasar bisnis, bukan cinta. Entah akan seperti apa nasibnya setelah menikah dengan Leon, mungkin hidupnya akan serasa seperti di neraka. Mengingat yang ia nikahi manusia setengah setan! "Singa," panggil Sandra, tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela. Leon yang tahu sebutan itu ditujukan kepadanya, hanya melirik sekilas tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Sejujurnya ia tak begitu suka dengan sebutan yang Sandra sematkan padanya, meski namanya memang hampir mirip dengan nama binatang. Sial! Salahkan orangtuanya, kenapa harus memberi nama Leon. Nggak sekalian Lion saja! "Apa pernikahan itu tidak bisa dibatalkan saja?" tanya Sandra, suaranya merendah nyaris seperti gumaman. Seakan ada keberatan dalam pertanyaan itu, tentu saja karena Sandra enggan memasrahkan hidupnya pada pernikahan yang tidak dilandasi oleh perasaan cinta dan ia tidak mau jadi korban di dalamnya. Leon yang mendengar merasa heran, ia mengerutkan keningnya seraya menoleh sekilas untuk memperhatikan ekspresi wajah Sandra yang tampak murung. "Kayanya si enggak," jawab Leon, asal nyeplos. "Lagian kenapa kau bertanya seperti itu? Harusnya kau bersyukur karena masih ada laki-laki yang mau menikah dengan wanita setengah matang sepertimu." Ucapan Leon menyulut api kemarahan Sandra, ia seketika berbalik menghadap Leon. "Heh, Singa c***l!" Napas Sandra memburu, amarahnya menggebu-gebu diiringi sorot mata yang begitu tajam. Seolah ada ribuan peluru yang meluncur dari bola matanya yang ditujukan pada Leon. "Apa kau bilang barusan? Wanita setengah matang? Kau pikir aku wanita jadi-jadian! Aku wanita tulen!" "Oh, ya? Mana buktinya? No bukti, hoaks!" ejek Leon, mencebikkan bibirnya mengejek Sandra. "Apa matamu buta? Apa kau tak bisa membedakan mana wanita asli dan wanita palsu. Ah, nggak heran si kalau kau saja terbiasa main dengan wanita berbatang. Jadi kau tak bisa membedakan mana yang original dan mana yang fake!" sarkas Sandra, membalas telak cibiran Leon. "Sok tahu! Kau tahu, mataku ini setajam elang, lebih jeli dari alat detektor. Jadi dengan hanya melihat saja aku sudah bisa mendeteksi mana yang benar-benar wanita dan mana yang wanita jadi-jadian. Dan menurutku kau termasuk dalam golongan wanita jadi-jadian yang suka berubah-ubah, kadang jadi kuntilanak, kadang jadi sundel bolong!" Leon membalas dengan sadis. "Yaaa!!" jerit Sandra, hilang sudah keanggunannya sebagai wanita jika sudah berhadapan dengan Leon. "Kau mau mati?" Leon melirik, menyunggingkan senyum mengejek. "Tuh, sekarang malah jadi nenek lampir." Astaga! Bunuh orang kaya Leon halal nggak si! Tangan Sandra sudah gatal ingin mencekik Leon saat ini juga. Ia geregetan ingin mencabik-cabik mulut Leon dan menjadikannya makanan buaya. "Kau!" Tangan Sandra tertahan di awang-awang. Leon berhasil mencekal pergelangan tangannya sebelum ia sempat melayangkan tinju ke wajah pria itu. "Lepas!" Leon menghela napas panjang dan dalam, matanya tetap fokus melihat jalanan di depannya. "Sudahlah Sandra, terima saja takdirmu. Lagian menikah denganku tak akan merugikan dirimu. Aku ini paket komplit, suami idaman semua wanita. Tampan? Sudah pasti. Kaya? Apalagi itu, enggak perlu diragukan lagi. Harusnya kau bersyukur karena Tuhan memberikan aku sebagai anugerah untukmu, jarang-jarang kan ada pria yang mau sama kamu. Sekalinya ada yang mau dapat yang sempurna kaya aku," ujar Leon dengan sangat bangga. Sandra mencebikkan bibirnya, matanya berkedut. Ia tak habis pikir, dari mana Leon mendapatkan tingkat kepercayaan setinggi itu. "Anugerah kau bilang? Yang ada juga musibah!" sarkas Sandra. Setelah itu menggerutu sepanjang jalan, karena Leon terus memancing emosinya dengan membanggakan diri sendiri. ——————— Suasana restauran bintang lima yang terkenal dengan masakan lokalnya terpantau ramai pengunjung. Restauran yang menyuguhkan berbagai hidangan lokal yang menggugah selera dan aneka makanan seafood fresh yang diolah dengan berbagai pilihan rempah-rempah khas nusantara menjadikan restauran Segarra Harmony Resto and Cafe salah satu  restauran dan kafe terbaik di Jakarta. Tempat restauran yang mengusung konsep elegan dan mewah itu benar-benar memiliki dekorasi yang unik. Mungkin orang awam akan mengira kalau restauran tersebut dimiliki oleh orang asing, tapi nyatanya pemiliknya orang Indonesia yang memiliki darah campuran Indonesia-Jepang-Rusia. Daichi Nathan Segarra, pria berkulit putih bersih yang memiliki wajah tampan blasteran lokal-Jepang-Rusia. Senyumnya yang manis menurun dari sang mama yang asli dari Bandung, sementara iris matanya bewarna hazel diturunkan dari sang papa yang keturunan Jepang-Rusia. Tidak heran jika wajah tampan Nathan terlihat sedikit kebule-bulean, apalagi dengan gaya potongan rambut soft side parting yang membuat penampilannya lebih rapi dan necis berpadukan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana bahan bewarna hitam. Nathan baru saja tiba di restauran, ia langsung memarkirkan mobil Ferrari SF90 Stradale warna merah di parkir VVIP depan lobi restauran. Sebenarnya Nathan jarang sekali datang ke restauran, ia hanya memantau keadaan restauran lewat CCTV yang tersambung langsung ke ponselnya. Sedangkan ia sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya di bar, bisnis sampingan yang sedang digelutinya. Nathan memang memiliki jiwa bisnis dan sangat berambisi, ia tak berhenti hanya di satu bidang bisinis saja. Ia yang menyukai tantangan selalu mencoba banyak hal baru dari berbagai bidang. "Apa mama sudah datang?" tanya Nathan pada seorang pria yang ada di balik meja resepsionis. Pria ber-nametag Adam itu menganggukkan kepalanya dengan sopan. "Sudah Mas, beliau menunggu di ruang VVIP," jawabnya kemudian. Restauran Nathan memang memiliki beberapa ruang VVIP, sehingga para pelanggannya bisa menikmati makan malam dengan ruang privasi dan tanpa perlu takut terganggu oleh pengunjung lainnya. Terlebih konsep restauran yang sangat mewah, membuat para pelanggannya betah berlama-lama di sini. Nathan mengangguk. "Kalau begitu saya langsung ke dalam saja, terima kasih Adam." Lalu Nathan pun bergegas masuk ke ruangan VVIP yang dimaksud, tapi saat ia berjalan melewati lorong tanpa sengaja seseorang menabraknya. "Maaf, maaf, maaf." Seorang wanita cantik mengenakan gaun panjang bewarna hitam itu menabrak d**a bidang Nathan. "Maafkan saya ... saya tidak sengaja, sekali lagi saya mohon maaf." Nathan terpaku, pandangan matanya tak berkedip melihat wajah cantik wanita di depannya. Wajah yang sangat familiar dan mengganggu pikirannya seharian ini. Ya, wajah wanita yang sempat memprovokasi dirinya di bar, meninggalkan bekas ciuman yang tak bisa Nathan lupakan barang sedetik saja. Sensasi berbeda yang ingin sekali Nathan rasakan lagi, lagi dan lagi. "Maaf, apa Anda baik-baik saja?" suara merdu wanita itu menyadarkan Nathan dari lamunan singkatnya. "Apa ada yang sakit? Sekali lagi saya mohon maaf, karena saya tidak memperhatikan jalan dan terlalu fokus mencari sesuatu———" "It's okay, saya tidak apa-apa. Anda tidak perlu minta maaf, saya hanya sedikit terkejut saja," kata Nathan dengan sopan, memamerkan senyuman manis yang sangat menawan. Hati wanita mana yang tak ketar-ketir melihat senyumannya, seolah senyuman Nathan bagaikan sihir bermantra yang membuat siapa pun akan terbius oleh pesonanya. Lihat saja wanita itu, sepertinya ia sempat terpukau sesaat. Walau setelah itu menggelengkan kepela dengan cepat untuk mengembalikan kewarasannya. "Baiklah, kalau begitu saya permisi. Sekali lagi saya mohon maaf untuk kejadian barusan," kata wanita itu, diiringi senyuman manis yang membuat Nathan kembali terpanah beberapa detik. Namun, ia segera mengembalikan kesadarannya sebelum wanita itu melangkah jauh. "Tunggu!" serunya, mencoba menghentikan langkah wanita itu dan ia berhasil. "Ya?" Wanita itu menoleh, mengerutkan keningnya. Tampak bingung. "Apakah kau tidak mengenaliku?" tanya Nathan ragu-ragu. Ia sangat penasaran, apakah wanita itu sama sekali tak mengingat kejadian semalam. Di mana wanita itu menciumnya lebih dulu dan mereka b******u mesra, walau hal itu harus berakhir karena kedatangan pria sialan yang entah siapa. Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, semakin terlihat bingung. "Apakah kita pernah bertemu?" Wanita itu balik bbertanya pada Nathan. "Ah, berarti kau memang tak ingat. Tak apa-apa, lupakan. Oh ya, perkenalkan saya Nathan." Nathan dengan rasa percaya dirinya memberanikan diri mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan wanita cantik itu. Wanita yang berhasil menggetarkan perasaannya untuk pertama kali setelah mati suri bertahun-tahun. Dengan sopan wanita itu pun menjabat tangan Nathan. "Sandra." "Sandra, nama yang cantik. Secantik parasnya," puji Nathan, membuat pipi wanita di hadapannya bersemu. "Anda bisa saja, tapi terima kasih atas pujiannya. Senang berkenalan dengan Anda, Nathan. Kalau begitu saya permisi, karena orangtua saya sudah menunggu," kata wanita itu pamit undur diri, dengan langkah cepatnya berjalan menuju salah satu ruang VVIP. Nathan tak sempat menghentikan, padahal ia berniat ingin meminta nomor telepon Sandra agar mereka bisa berkenalan lebih jauh. "Tak apalah, setidaknya aku tahu namanya." Senyum Nathan mengembang. "Sandra, sepertinya pertemuan kita bukan sekedar kebetulan. Aku yakin kalau takdir tengah merencanakan sesuatu untuk kita berdua. Aku tak sabar menanti hari-hari itu." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD