Bab 11. Nama Keramat

1083 Words
“Nggak ada yang tertinggal, kan? Semuanya sudah aman dan dipindahkan ke sini?” Sedikit canggung dan aneh, ketika Garran masuk ke kamar yang dulu menjadi ruang pribadinya itu, namun saat ini justru menjadi milik Gianni. Nyaris sebulan wanita itu menguasai kamar tersebut dan Garran melihat banyak perubahan di dalamnya. Salah satu yang mencolok, yakni lebih berantakan dan penuh. Garran mengambil beberapa barang yang berceceran di lantai, seperti buku, pakaian, pulpen bahkan bekas makanan. Garran yakin, Gainni belum membersihkan kamar tersebut, sejak kemarin, sejak mereka menyiapkan skenario tidur di satu kamar yang sama. “Kayaknya Om Gar harus simpan beberapa pakaian atau barang pribadi di kamar aku deh, takut ada inspeksi mendadak. Aku yakin Ayah dan Oma nggak akan sampai masuk ke kamar ini, tapi lebih baik berjaga-jaga.” Garran tidak menjawab, ia justru mengambil beberapa kantong makanan yang masih ada isinya dan tidak. Wanita itu benar-benar sangat berantakan. Kamar yang ditempati Gianni hanya separuh dari kamar yang ditempati Garran, tapi kondisi kamar tersebut jauh lebih terlihat sesak dan berantakan. “Dulu nggak sepenuh ini,” sindir Garran.. “Boleh taruh baju-baju yang udah jarang kamu pakai, Om.” Gianni tampaknya tidak begitu tertarik bahkan tidak merasa tersindir sama sekali. Ia duduk di pinggiran tempat tidur sambil memainkan ponselnya. “Parfum dan skincare juga boleh, jaga-jaga Mamah mertua masuk ke kamar ini, dia sedikit kepo orangnya.” Gianni terkekeh, tidak segan membicarakan kebiasaan ibu mertuanya yang memang sedikit kepo. “Om Gar, mau tidur disini atau di sofa. Kalau mau disini, aku bisa di sofa” untuk kali ini Gianni memberikan pilihan, tidak seperti sebelumnya dimana wanita itu kerap mengambil keputusan secara sepihak. “Aku di sofa saja.” jawab Garran. “Bagus. Lelaki memang harus mengalah.” ia mengacungkan ibu jarinya ke arah Garran. Lelaki itu tidak menjawab, hanya menatap datar ke arah Gianni. Di dalam kamar yang dulu menjadi salah satu ruang pribadi sekaligus ruang yang paling disukainya, kini terasa canggung sementara Gianni justru terlihat acuh dengan beberapa kali berlalu-lalang tanpa menghiraukan keberadaan Garran. “Om, aku mau kerjain tugas pastinya sedikit berisik, nggak apa-apa kan? Kalau mau tidur duluan silahkan, atau mau lampu kamarnya di matikan? Aku masih tetap bisa mengerjakan tugasku walau lampunya mati.” Garran sudah memposisikan dirinya di atas sofa, dengan satu bantal dan selimut. Ia tidak terbiasa tidur di bawah pukul sebelas malam, tapi meski begitu Garran suka ketenangan. “Kerjakan saja tugasmu dan tidak perlu dimatikan lampunya.” “Oke!” Gianni terlihat mengambil laptop dan beberapa buku, duduk di atas tempat tidur dengan meja lipat di depannya. Sesekali Garran memperhatikan Gianni, wajahnya terlihat serius menatap ke arah buku dan laptop secara bergantian. Dibalik sikapnya yang selalu terkesan konyol dan kekanak-kanakan, rupanya ia bisa terlihat serius saat mengerjakan sesuatu. Padahal keputusan impulsif yang diambilnya saat menikah adalah hal yang sangat serius, bukan hanya sekedar mendapatkan kebebasan memenuhi hobinya saja, tapi Gianni seolah mudah mengambil resiko untuk keinginannya itu. Tanpa sadar Garran tersenyum samar saat melihat ekspresi Gianni yang sesekali mengerutkan kening. Karena penasaran, ia pun membuka kembali selimut yang sudah menutup tubuh sampai sebatas d**a. “Ngerjain apa?” Garran mendekati, naik ke atas ranjang dan duduk di samping Gianni. “Tugas. Puding banget deh,,” Gianni kembali mengerutkan keningnya. Garran memperhatikan dengan seksama, sedikit familiar dengan tulisan-tulisan yang ada di layar laptop dan buku. “Setelah lulus nanti kamu mau kemana?” tanya Garran penasaran. “Aku suka desain, mungkin aku ingin kembali melanjutkan pendidikan sebagai fashion desainer.” Gianni memang memiliki bakat menggambar dan keahliannya itu dituangkan dalam bentuk karya desain berbagai jenis pakaian. “Oh,,” balas Garran. Jawaban singkat yang membuat Gianni menoleh. “Om Gar mau gimana?” Tanyanya. “Gimana apanya? Aku sudah lulus kuliah, bahkan aku sekarang sudah bekerja, apa lagi yang aku lanjutkan selain menjalani hidupku dengan baik.” “Maksudnya setelah kita berpisah, Om Gar mau gimana. Menikah lagi dengan wanita yang dicintai, atau mau menduda seumur hidup. Aku rasa nggak bakal betah menduda sih, yakin.” Garran terkekeh mendengar pertanyaan sekaligus jawaban yang diucapkan Gianni. “Memangnya kenapa kalau menduda seumur hidup?” “Bosen lah, Om. Emangnya nggak mau punya anak?” “Saat ini nggak.” Jawab Garran. “Maksudnya nanti.” “Mungkin iya mungkin juga tidak, tapi aku merasa anak tidak ada dalam daftar keinginanku untuk beberapa tahun kedepan, begitu juga istri.” Ekspresi Gianni berubah saat mendengarnya. “Apa enaknya sih gonta-ganti pasangan? Om nggak takut kena penyakit kelamin?” “Aku main aman, Cil! Nggak sembarang wanita bisa tidur denganku.” “Termasuk wanita yang waktu itu ada di kamar ini? Yang datang ke pernikahan kita dengan tatapan maut?” Gianni berdecak. “Wanita itu pasti kesel banget sama aku, menganggap aku telah merebut kekasihnya.” Gianni mengerlingkan kepalanya. “Bilang ke dia sabar sedikit lagi statusku akan menjadi mantan istri, kalian berdua boleh kembali bersama.” “Aku nggak suka dia,” “Tapi kamu bawa dia ke rumah ini, Om. Bi Ati bilang, nggak banyak wanita yang berhasil diajak pulang dan masuk ke kamar ini, hanya aku, wanita kemarin dan satu lagi..” Gianni nampak berpikir mengingat nama seseorang. “Satu lagi siapa?” Tanya Garran dengan perasaan was-was. “Lupa..” Gianni menggaruk kepalanya, tidak berhasil mengingat satu nama yang sempat didengarnya dari Bi Ati. “Nggak usah diingat, nggak penting juga. Sekarang cepat selesaikan tugasmu dan tidur, oke!” Gianni menganggukkan kepala, sementara Garran memutuskan untuk kembali ke sofa dan berusaha memejamkan matanya. Besok masih ada pekerjaan penting yang menanti, kondisi tubuhnya harus prima dengan beristirahat cukup. Beberapa menit dalam keheningan, Garran hanya mendengar suara keyboard di tekan oleh Gianni. Sesekali wanita itu menguap, mengucek kedua matanya. Ia sudah terlihat ngantuk namun masih memaksakan diri berada di depan laptop. Garran kira ia tidak akan bisa memejamkan kedua matanya, namun ternyata salah. Ia mulai merasakan kantuk, dan nyaris memejamkan kedua matanya namun suara Gianni kembali terdengar nyaring. “Aku ingat!” ucapnya dengan suara nyaring dan tepukan tangan. “Apa? Bikin kaget aja.” Garran yang nyaris memejamkan kedua matanya kembali menoleh ke arah Gianni, kantuknya sedikit memudar. “Aku ingat nama wanita yang pernah datang ke sini, namanya Rinjani!” Gianni menunjuk ke arah Garran “Iya, Rinjani!” Gianni mengulang nama yang sama, membuat kantuk Garran benar-benar hilang. Mungkin juga ia tidak akan merasa kantuk sampai esok pagi setelah mendengar nama wanita itu, dimana beberapa memori kebersamaan diantara mereka kembali menghampiri dan membuat Garran tersiksa karenanya. Sial! Kenapa Gianni harus menyebut nama keramat itu!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD