4

1168 Words
Raka duduk di sofa kulit yang dingin di pojok ruangan bar miliknya. Dinding gelap, lampu gantung dari kristal redup, dan rak wine berjajar rapi di balik kaca—semuanya seolah tak berarti malam ini. Tangannya menggenggam botol wine merah, sementara matanya menerawang kosong ke arah gelas di hadapannya. Raka sudah berdiam diri di ruangan ini sekitar dua jam lamanya. Setelah bertemu dengan Sekat siang tadi. Raka benar-benar merasakan gejolak rasa yang tak bisa dia hindari lagi. "Maafkan aku, Sekar..." bisiknya pelan. Lalu, segalanya seperti ditarik mundur. Suara denting anggur memudar, digantikan oleh suara mesin, klakson, dan detak jantung yang berpacu... --- FLASHBACK — Empat Tahun Lalu Langit sore sudah menghitam, mendung menggantung rendah di atas langit. Adyatma memacu mobil sport-nya terlalu cepat di ruas tol yang lengang. Hujan baru saja turun, menyisakan jejak licin di aspal. Atma ingin segera sampai di rumah. Setelah mendapat pesan dari istrinya, Sekar. Wanitanya beberapa menit yang lalu, mengirim pesan padanya. Pesan itu berisikan foto. Dimana terdapat tiga test pack dengan dua garis. "Mas, aku bahagia." Pesan lanjutan itu masuk kembali ke layar ponsel. Tangan Adyatma menggenggam erat setir, sementara senyum tak terbendung akhirnya muncul di wajahnya. Senyum paling lepas yang pernah ia ukir sejak pernikahan mereka. Genap di enam bulan pernikahan mereka, kabar bahagia ini menjadi pelengkap jalinan cinta mereka. "Aku akan pulang, Sayang..." gumamnya pelan, seolah suara istrinya ikut mengalir bersama semilir angin yang menyusup dari celah jendela. Namun… Satu detik saja bisa mengubah segalanya. Satu detik ketika matanya melirik ponsel itu lagi. Satu detik saat lampu dari arah kiri menyilaukan pandangan. Satu detik, dan— BRAAAKKK!! Dentuman keras menghantam sisi mobil. Kaca pecah, serpihan menyayat kulit. Dunia seakan terbalik. Setir membanting ke kiri, sabuk pengaman menahan tubuhnya kuat. Tapi ledakan pertama datang dari bagian belakang—entah dari mana. Api muncul dengan cepat, membakar bahan bakar yang mengucur dari tangki yang pecah. Dalam kekacauan dan detik-detik menuju maut, matanya yang mengabur sempat menangkap siluet seseorang. Sosok tinggi mengenakan masker hitam dan jaket kulit, muncul dari kabut api seperti bayangan maut—namun justru menjadi penyelamat. Pintu ditarik paksa. Tubuhnya yang nyaris tak sadar diangkat keluar. Beberapa detik sebelum kobaran api meledakkan mobil itu sepenuhnya. BOOOOMMM!!! Berhari-hari kemudian, polisi hanya menemukan potongan tubuh hangus tanpa identitas. Wajah tak dikenali, sidik jari pun hangus terbakar. Tapi di dekat lokasi, ditemukan ponsel milik Adyatma, dompet, dan dokumen pribadi. Cukup untuk membuat semua orang percaya: Adyatma Wiratama telah meninggal. Namun di suatu tempat gelap dan tersembunyi… Di antara remang lampu ruangan operasi darurat bawah tanah, Adyatma terbaring. Luka-luka parah di sekujur tubuhnya dirawat oleh seorang pria berjas putih yang asing. "Siapa... kamu…?" lirihnya. Pria itu menoleh sekilas, menekan jarum infus ke tangannya dengan tenang. "Orang yang kamu kenal sebagai musuh… Tapi sekarang satu-satunya alasan kamu masih hidup." "Mengapa...?" "Karena kamu dibutuhkan. Masih ada yang harus kau selesaikan. Termasuk… membalas mereka yang ingin kau mati.” Dengan tubuh yang tak sepenuhnya utuh, nama baru, dan identitas yang dimanipulasi, Adyatma memulai lembar baru. Membiarkan dunia percaya bahwa dia telah tiada, termasuk wanita yang paling ia cintai. Namun dari kegelapan itu, satu tujuan tetap hidup: ia akan kembali. Demi istri yang ia cintai. Demi kebenaran yang harus diungkap. --- KEMBALI KE MASA KINI Raka meneguk habis isi gelasnya. Tenggorokannya perih, sama perihnya dengan dadanya. "Kalau saja waktu itu aku lebih hati-hati… kalau saja aku bisa kembali ke hari itu…" desisnya lirih. Ia menunduk, menyentuh dadanya. Bekas luka operasi itu masih ada. Tapi luka di hatinya jauh lebih dalam—karena telah kehilangan Sekar tanpa pernah tahu kenyataan yang sebenarnya. Namun sekarang… Sekar ada di hadapannya lagi. Dan yang paling menyakitkan… Sekar tidak mengenalinya sebagai Adyatma. Menganggap dirinya orang lain. Didepan putranya. --- Pagi ini di mansion Wirantara, kegaduhan sudah menyambut. Suara pecahan gelas terdengar dari lantai bawah. Teriakan melengking segera menyusul. "Anak kurang ajar!" suara Nindya memecah keheningan pagi, disusul jeritan pelayan yang mencoba menenangkan. Sekar yang baru saja merapikan rambut di depan cermin sontak tertegun. Jantungnya mencelos. Ia segera berlari keluar kamar, langkahnya nyaris terpeleset di anak tangga saat melihat beberapa maid berkerumun di ruang makan. Mencoba menarik putranya dari Nindya. "Ada apa ini?!" suara Sekar melengking, matanya langsung menangkap Rana yang berdiri tak jauh dari meja makan dengan mata memerah, napasnya memburu. Di tangannya masih ada bekas noda cokelat dari roti sarapan yang belum dia habiskan. Nindya memegang pergelangan tangannya yang memerah, wajahnya penuh amarah. "Lihat tangan Ibu! Dia menggigitku! Anak tidak tahu sopan santun! Dasar anak haram!" Sekar langsung melangkah maju, berdiri di depan putranya. "Jangan berani-berani lagi panggil anak saya seperti itu!" suaranya rendah namun bergetar menahan emosi. "Bu Nindya, tolong tenang—" ucap salah satu maid, tapi Nindya langsung menatapnya tajam. "Kamu diam! Semua ini salah kalian juga, membiarkan anak itu berlarian seenaknya di rumah ini! Dimana Ratih?" "Iya Bu, maaf saya dari belakang tadi" Ratih tergopoh-gopoh keluar dari pintu belakang. Rana memeluk kaki ibunya, suaranya lirih, "Mama... Rana nggak sengaja. Nenek itu mau tarik roti Rana..." Nindya mendengus, melipat tangan di d**a. "Roti? Hanya roti?! Anak ini menggigit seperti binatang hanya demi sepotong roti? Tidak heran darahnya—" "Cukup!" Sekar memotong, nadanya tajam. Matanya membara menahan marah. "Jangan pernah hina anak saya. Apapun darahnya, dia adalah cucu sah keluarga Wirantara!" Nindya melangkah maju, jaraknya hanya sejengkal dari Sekar. "Cucu sah? Jangan bercanda, Sekar. Semua orang di rumah ini tahu, kalau anak itu… tidak sepantasnya lahir di keluarga ini." Suasana membeku. Para pelayan saling pandang, tak berani bicara. Rana memandang perempuan paruh baya itu dengan sorot kebencian. Sekar tak pernah mengajarkan hal yang buruk. Hanya saja Rana yang terlalu pintar membedakan mana yang baik dan mana yang tak pantas untuk ada disekitarnya. Sekar menunduk sebentar, membelai kepala putranya, lalu menatap lurus ke arah Ratih. "Ratih bawa Rana ke atas. Kita berangkat lima belas menit lagi" titah Sekar. Lagi-lagi Sekar tak ingin membuat putranya mendengar hal yang tidak-tidak. "Heh mau kamu bawa kemana anak itu. Aku belum menghukumnya?" teriak Nindya. Sekar berhenti, memutar tubuh dengan tatapan sedingin baja. "Atas dasar apa Ibu berkata seperti itu?" suaranya rendah, tapi membuat udara di ruangan terasa berat. Nindya mendengus, melipat tangannya. "Atas dasar kebenaran. Memang benar, kan? Kau hamil saat Adyatma sudah mati?" ucapnya sambil menekankan kata terakhir. Beberapa pelayan terkejut, menutup mulut mereka, takut mendengar kalimat yang terang-terangan menuduh itu. Sekar mengangkat dagu, menatap tepat ke mata Nindya tanpa gentar. "Mulut Ibu semakin hari semakin keji. Jangan kira saya tidak tahu, Ibu sengaja menciptakan gosip murahan untuk merendahkan saya dan anak saya." "Kalau Ibu masih mau tinggal di rumah ini, jaga mulut Ibu. Saya tidak akan diam jika ada yang menyakiti anak saya—meski itu Ibu sendiri." Nindya tertawa sinis, suaranya menggema di ruang makan. "Kau pikir kau siapa di rumah ini? Hanya janda dari anak tiri saya. Kalau bukan karena saham yang kau warisi, kau sudah saya singkirkan sejak lama." Sekar menghela napas panjang, mencoba menahan dirinya agar tidak terpancing. "Saya siapa? Saya adalah ibu dari pewaris sah Wirantara. Dan mulai sekarang… saya tidak akan biarkan siapapun, termasuk Ibu, mempermalukan kami."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD