3

1418 Words
Restoran itu terletak di lantai atas sebuah gedung pencakar langit. Interior mewahnya memantulkan cahaya hangat, tenang, namun penuh tekanan tak kasat mata. Meja persegi empat di dekat jendela besar telah disiapkan—dua kursi berhadapan, satu kosong dengan posisi membelakangi jendela. Kursi itu… milik Raka Reksadana. “Silakan duduk, Nona Laras,” ujar Wiliam, bangkit menyambut saat dua wanita mendekat. Larasati, dalam balutan setelan monokrom rapi, tersenyum singkat. “Ini beliau,” katanya, lalu memperkenalkan dengan tegas, “Sekar Ayunda Maheswari. CEO dari Wirantara Group.” Wiliam membungkukkan tubuh sedikit. “Suatu kehormatan. Saya Wiliam, asisten pribadi Tuan Raka Reksadana.” Sekar menjabat tangan pria itu dengan hati-hati. Wajahnya tetap tenang, seperti biasa, tapi pikirannya dipenuhi tanya. Kenapa Raka tidak datang sendiri? Bukankah ini pertemuan penting? Terlalu penting untuk diwakilkan oleh seorang asisten. “Mohon maaf,” ujar Wiliam kemudian. “Tuan Raka sedang ada agenda mendadak dan akan datang menyusul. Beliau titipkan ini…” Ia menggeser sebuah map hitam elegan ke arah Sekar. “Proposal perjanjian investasi terhadap Wirantara Group.” Sekar membuka map itu perlahan. Matanya langsung menyapu isi halaman demi halaman—matanya tajam, dengan naluri seorang wanita yang seakan tau apa saja yang akan ia hadapi. Awalnya tampak biasa. Suntikan dana. Ekspansi aset. Divisi baru. Namun… semakin dibaca, kening Sekar mulai mengernyit. Ada perjanjian aneh. Pasal 7, Ayat 2: "Pihak pertama akan berhak untuk mengawal secara pribadi keputusan strategis CEO Wirantara Group, baik dalam kapasitas bisnis maupun agenda luar perusahaan." Lalu Pasal 9: "Selama masa kerja sama, CEO pihak kedua wajib menjaga keterikatan eksklusif dengan pihak pertama untuk menjaga kerahasiaan, keamanan, serta kestabilan emosional dalam lingkungan kerja." Kestabilan emosional? Eksklusif? Sekar mengangkat pandangan. “Ini… perjanjian investasi?” suaranya tenang, tapi matanya seakan menyiratkan hal lain. Wiliam tetap tersenyum profesional. “Betul. Tapi lebih dari sekadar investasi, Nona Sekar. Tuan Raka ingin membangun sinergi yang... strategis.” “Strategis?” Sekar menahan diri untuk tak mengernyit lebih dalam. “Atau lebih tepatnya… mengikat?” Wiliam mengangguk pelan. “Tuan Raka percaya bahwa perusahaan sebesar Wirantara Group butuh pengawasan dari sosok yang... memahami cara kerja dunia luar.” “Dunia luar?” Sekar menyipitkan mata. “Seperti dunia gelap?” Wiliam tak menjawab. Hanya diam, dan tersenyum tipis. “Kalau Tuan Raka ingin bertemu langsung, saya tunggu sepuluh menit lagi,” kata Sekar, menutup map itu. “Setelah itu, saya pergi.” Wiliam menunduk sopan. “Tuan Raka tidak pernah datang terlambat tanpa alasan, Nona Sekar. Tapi kalau pun Anda harus pergi, beliau pasti akan... menemukan cara lain untuk membuat Anda tetap di dalam lingkarannya.” Sekar menatap tajam. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, hatinya bergetar. Raka Reksadana bukan hanya investor. Dia mengincar lebih dari sekadar saham. Dia mengincar kendali. Lalu siapa sebenarnya dia? Sekar terus menatap jam mungil berwarna rose gold yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Jemarinya mengetuk meja kaca dengan ritme pelan, menyamarkan gelisah yang tak bisa ia tahan. "Ra, aku harus pergi sebentar. Rana pasti sudah keluar dari kelasnya. Dia akan mencariku," bisiknya pelan ke arah Larasati, yang duduk tenang di sampingnya. Namun, alih-alih panik, Larasati malah menyunggingkan senyum kecil. “Tenang saja. Aku sudah minta Anton jemput Rana. Dia akan langsung dibawa ke sini. Rana nggak akan rewel kok kalau sama Anton.” Sekar menoleh cepat. Matanya menyiratkan protes. "Kenapa bawa Rana ke sini? Ini bukan tempat untuk anak-anak." "Ya terus gimana? Dari pada rewel ntar. Udah nggak papa." Nada Larasati terdengar tenang. Menganggap jika tak masalah. Sebelum Sekar sempat membalas, suara sepatu kulit menyentuh lantai marmer terdengar berat—tepat dan percaya diri. Aura ruangan berubah seketika. Seakan semua terfokuskan pada satu objek. “Selamat siang. Maaf sudah membuat kalian menunggu.” Suara bariton itu terdengar dalam dan tenang. Sekar reflek mendongak. Dan waktu seakan berhenti. Matanya membelalak tak percaya. Bibirnya sedikit terbuka. Wajahnya memucat. Dan jantungnya berdentum keras. "Mas Atma..." gumamnya nyaris tak terdengar, Sekar terpaku. Dadanya sesak secara bersamaan. Ini hanya mimpi bukan? Bukan, ini bukan mimpi. Ini nyata. Tapi siapa dia. Raka Reksadana berdiri di sana. Dengan senyum tipis menghiasi wajah tampannya yang sangat mirip dengan mendiang suaminya, hanya lebih dingin dan... Entah ekspresi apa itu. “Maaf, apa dia putramu?” tanya Raka tenang, namun tatapannya menusuk. Matanya masih mengikuti bocah kecil yang tadi memeluknya di lobi. Sekar menoleh cepat. Jantungnya tercekat ketika mendapati Rana berdiri di samping Raka dengan senyum polosnya. “Aku tadi bertemu dengannya di depan,” lanjut Raka. “Dia memelukku dan bilang… aku ayahnya.” Sekar terdiam sejenak, otaknya menolak menyimpulkan apa pun, sebelum akhirnya bangkit refleks dan menghampiri anaknya."Maaf, dia anakku. Sekali lagi maaf" “Sayang…” Sekar menunduk, memeluk Rana sambil mencium pelipisnya. “Maaf mama nggak bisa jemput kamu tadi. Sudah makan?” “Sudah, Ma. Aku dibelikan es krim sama Papa,” jawab Rana riang, menuding ke arah pria di sampingnya. Sekar membeku. Suara di sekelilingnya lenyap, dan hanya detak jantungnya yang berdentum seperti genderang perang. Dengan senyum getir, ia menoleh ke arah Raka yang sudah duduk dengan angkuhnya di meja tepat di depannya, menyilangkan kaki dan menggulir pelan pena logam di tangannya. “Sayang…” Sekar mencoba mengendalikan suaranya. “Itu bukan Papa. Itu rekan kerja Mama. Panggil saja… om…” Sekar menggantung kalimatnya, menatap pria itu menantang. “Raka,” jawab pria itu datar. Sekar mengangguk sekali, meski matanya tajam. “Om Raka, ya.” Raka hanya mengangguk dan mencebik. Kemudian Sekar membawa Rana dan memangkunya, menatap Wiliam yang duduk di samping pria itu sambil membereskan berkas di meja. “Bisa kita lanjutkan?” tanya Sekar, berusaha profesional meski hatinya belum tenang. Apalagi Sekar tau, pria itu masih terus menatapnya. Raka menyandarkan tubuh ke kursi, tangan kirinya menyentuh dagu, sementara mata gelapnya mengamati Sekar dengan pandangan yang tak biasa. Lalu ia berbicara, dingin, lambat, dan mengancam, “Sebelum kita lanjutkan, izinkan saya bicara soal perjanjian yang saya ajukan, Nona Maheswari.” Sekar mengangguk tegas. “Silakan.” Raka melemparkan sebuah dokumen ke arahnya. “Perjanjian investasi ini tak hanya menguntungkan Wirantara Group, saya akan menggelontorkan dana yang kau minta. Jadi... Saya harap apa yang saya minta, anda bisa memenuhi syarat tersebut" Sekar memicingkan mata, membaca cepat halaman pertama sebelum mengangkat wajah. “Apa maksud Anda?” “Tidak ada, hanya itu saja.” Raka menyandarkan diri lagi. Sorot matanya dingin menusuk. "Karena ketika saya menggelontorkan uang, saya juga membeli kendali.” Sekar menatapnya tajam, berusaha tetap tenang meskipun sebenarnya dia sudah tak tahan lagi. Sekar menghela napas panjang. Tangannya semakin erat menggenggam tangan putranya. " Lalu? " Raka mengangguk. “Siapkan satu ruang pribadi untuk saya. Dekat dengan ruangan Anda. Dan pastikan tidak ada yang bisa mengaksesnya tanpa izin saya. Saya ingin privasi penuh.” Sekar mengangguk dua kali. “Permintaan ruangan bisa saya kabulkan.” Suaranya masih tenang, berusaha tak goyah. “Namun untuk permintaan lain… saya akan pertimbangkan. Saya ingin tahu lebih dulu, apa saja yang Anda inginkan.” Raka tersenyum tipis. “Tentu. Kita akan punya banyak waktu untuk saling mengenal kembali… dalam kapasitas yang baru.” Sekar berdiri. Ia menunduk sedikit, profesional. “Kalau begitu, saya mohon diri lebih dulu. Terima kasih untuk waktunya, Tuan Raka.” ucapnya penuh penekanan. “Senang bekerja sama denganmu... Sekar,” ucap Raka, menyebut namanya tanpa embel-embel, membuat tubuh Sekar menegang sejenak mengulurkan tangan untuk saling menjabat. Tapi Sekar hanya bergeming di tempatnya. Menatap tangan besar itu sejenak. Tak berniat untuk membalasnya. Membuat Raka menurunkan tangannya. Sekar menunduk hormat tapi sebelum dirinya keluar, Sekar menoleh pada Larasati. "Ras, kamu lanjutkan tanpa aku bisa kan? Aku pulang dulu" "Iya, nanti aku urus sisanya. Kamu baik-baik aja Kar? " "Ya, aku oke" Sekar tersenyum. Raka juga melihat senyum itu. Tapi memilih diam tak berkomentar. Raka terus menatap Sekar yang berjalan menjauh dari tempatnya. Punggungnya yang kian lama menghilang bersama putra kecilnya. Langkah kaki Sekar kian lama kian berat. Hingga saat langkahnya terhenti cukup jauh dari tempat itu, tubuh Sekar luruh dan berjongkok. Semua kekuatan yang dia bangun seakan runtuh begitu saja. Dadanya sesak. Genggaman tangan Sekar pada Rana kian mengerat. Saat ini hanya Rana penguatnya. Hanya putra semata wayangnya yang membuatnya waras. Sekar memukul dadanya. Mencoba menghilangkan rasa sakitnya. Tangis yang dia tahan akhirnya keluar dari persembunyiannya. “Kenapa aku harus bertemu dengan seseorang yang mirip denganmu mas?" gumam Sekar. Rana yang tak mengerti apa-apa hanya bisa menatap ibunya dan memeluknya. Tangan kecil itu bergerak, mengusap pipi basah itu dengan lembut. “Mama jangan sedih,” katanya polos. “Aku di sini kok.” Tapi sayangnya, ucapan Rana mampu membuat Sekar kembali menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD