1. Pakde Suami

1343 Words
Perdebatan panjang yang dilalui Rusma dan Mama Nana sama sekali tidak mengubah apapun, wanita paruh baya itu masih keukeuh ingin agar Rusma mau menikahi gadis pilihannya. Oh ayolah, ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Sudah Rusma katakan pada mamanya kalau ia tidak ingin menikah dengan gadis yang masih sangat muda itu, tetapi mamanya terus saja memaksa. Bahkan wanita paruh baya itu mengancam Rusma akan mendepak Rusma dari keluarganya jika sampai Rusma menolak permintaan itu, Rusma tentu saja tidak ingin hal itu terjadi. Demi apapun ia menyayangi keluarganya dan sama sekali tidak ingin pergi dari keluarganya, nyatanya memang benar apa yang orang lain katakan kalau ia sama sekali tak bisa menolak permintaan orangtuanya. Dan akhirnya pernikahan yang tak Rusma inginkan pun terjadi, di mana ia harus mengucapkan ijab kabul di depan penghulu, keluarga, dan para saksi yang hadir. Ayah dari gadis yang akan ia nikahi sudah lama meninggal, hingga akhirnya paman Asri lah yang menjadi wali nikah. Meskipun tak ada cinta di hati Rusma untuk Asri, tetapi tetap saja ia merasa begitu gugup karena ini adalah kali pertama ia menikah. Mungkin, wajar saja Mama Nana mengatakan kalau Rusma sudah kadaluarsa karena diusia yang lebih dari kepala tiga ia belum jua menikah. Hal itu terjadi karena Rusma terlalu sibuk menjadi seorang CEO di perusahaan keluarganya. "Bagaimana para saksi? Sah!?" "SAHH!" "Alhamdulillah ...." Rusma dapat mendesah lega begitu kata sah sudah terucap oleh penghulu, itu artinya rasa gugupnya sudah terlewati. kini ia sudah resmi menyandang status suami, Rusma masih tak menyangka kalau ia akan menikah dengan seorang gadis desa. Entah seperti apa kehidupannya nanti, yang penting sekarang keinginan Mama Nana sudah terpenuhi. Meski rasa cinta itu belum hadir, tetapi Rusma berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah mengingkari sebuah janji suci pernikahan yang sudah disaksikan oleh Tuhan, keluarga dan para saksi yang hadir, itu adalah janjinya. Asri datang bersama dengan Mama Nana serta ibu dari gadis itu yang mengapit kedua tangannya, Rusma yang menyadari kalau perhatian semua orang mengarah pada suatu objek pun akhirnya ikut menoleh. Sejenak ia terpana ketika melihat wajah ayu Asri yang semakin cantik karena make-up natural yang menghiasi wajahnya, tetapi ia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Mama Nana dan ibu Asri yang bernama Yanie pun melepaskan tangan mereka sambil memberikan kode pada Asri agar gadis itu menghampiri Rusma, dengan senyum malu-malu dan kepala tertunduk Asri menghampiri Rusma. Namun belum sampai ia di depan Rusma, tiba-tiba saja kakinya terjungkal karpet merah hingga ia hampir saja jatuh bila saja Rusma tidak menangkapnya. "Malu-maluin aja, untung aku bisa menangkapmu." Rusma bergumam pelan tepat di telinga Asri hingga membuat gadis itu menunduk. "M-maaf, Pakde." Dengan suara yang begitu medok alias lidah yang kental dengan bahasa jawa, Asri mengatakan itu dengan pelan hingga membuat Rusma melotot tak terima. Serius ia dipanggil Pakde? Memangnya tidak ada panggilan yang lebih keren lagi dari Pakde? Sudahlah Asri ini membuat ia hampir malu karena sudah terjatuh, kini ia membuat Rusma marah karena panggilan yang begitu kampungan di telinga Rusma. "Ehem ... Rusma, lepasin dulu itu Nak Asri-nya. Ini di depan banyak orang loh, kalau mau nanti waktu di kamar aja." Suara Mama Nana mengintrupsi Rusma yang akan memarahi Asri, Rusma pun tersadar ia langsung melepaskan pinggang Asri. Akhirnya acara sungkeman serta pasang cincin itu pun berjalan dengan lancar, kini Rusma dan Asri berdiri di atas singgasana menunggu para undangan yang hadir untuk menyalami mereka sekaligus memberikan selamat. Rusma bukannya tidak peka kalau sedari tadi ia merasa jika gadis yang berdiri di sebelahnya itu merasa sangat tidak nyaman berdiri di sana, maklum saja Asri sama sekali tak terbiasa menggunakan high heels. Namun hari ini ia dipaksa menggunakan itu, Rusma yang melihat itu pun hanya bisa mendengkus keras. Kalau memang tidak nyaman mengapa terus dipakai? Dasar cewek! pikirnya heran. "Kenapa lihat-lihat!?" tanya Rusma galak ketika melihat Asri yang terus saja mencuri pandang ke arahnya. "E-enggak apa-apa, Pakde." Asri yang akan mengatakan keluhannya pun merasa sungkan begitu melihat wajah tak bersahabat Rusma. "Serius dipanggil pakde lagi? Dasar gadis kampung," gerutu Rusma yang masih dapat di dengar oleh Asri. Asri menunduk mendengar gerutuan Rusma yang sedikit mencubit hatinya, ia tahu kalau dirinya hanya seorang gadis dari desa yang memiliki pendidikan jauh di bawah Rusma. Namun, apakah perlu pria yang kini menjadi suaminya itu mengatainya secara terang-terangan? Asri juga tidak berharap kok kalau ia bisa menikah dengan Rusma, ia juga terpaksa menikah dengan Rusma karena itu adalah wasiat almarhum ayahnya yang tentu tidak akan mungkin jika tidak ia kabulkan. Ya sebenarnya dari dulu Asri dan Rusma sudah dijodohkan jauh sebelum ayah Asri meninggal dunia, tetapi hal itu baru terlaksana hingga sekarang. Setelah seratus tamu undangan terakhir yang menyalami Rusma dan Asri, akhirnya mereka dapat bernapas dengan lega. Terutama Rusma yang begitu lelah sekali, orangtuanya tak kira-kira dalam mengundang tamu. Beruntung hanya seratus yang diundang karena itu adalah permintaan Rusma sendiri, jika saja sampai seribu undangan maka Rusma tak yakin kalau ia bisa berdiri dengan tegak lagi. "P-Pakde, kaki aku sakit," keluh Asri sambil memegangi lengan Rusma. "Ih apaan sih pegang-pegang!?" Selain kesal karena Asri yang asal menyentuhnya, Rusma juga kesal dengan Asri yang terus saja memanggilnya dengan sebutan pakde. "K-kakiku sakit, Pakde. Keram banget," ucap Asri sambil memijit kakinya sendiri yang terasa keram. Sejujurnya Rusma merasa iba, tetapi apa yang harus ia lakukan? Akhirnya tanpa mengatakan apa-apa lagi, Rusma membawa Asri dalam gendongannya hingga gadis itu terpekik karena perlakuan tiba-tiba Rusma. "Ma, kata dia kakinya sakit. Rusma sama dia pergi ke kamar dulu, ya, Ma? Salamin aja sama anggota keluarga yang lain," ucap Rusma sambil menghampiri mamanya. "Ehem ... kayaknya ada yang udah enggak sabar mau belah duren nih," goda Mama Nana yang sama sekali tak Rusma dengarkan. "Mana durennya, Pakde?" tanya Asri ketika Rusma sudah mendudukkan Asri di tepi ranjangnya. "Kenapa kamu nanyain duren?" Rusma melepaskan kancing jasnya kemudian menaruhnya di atas sofa. "Tadi kata mamanya Pakde kita mau belah duren, terus durennya mana? Asri juga mau makan duren, di kampung duren sekarang lagi enggak musim. Apa di sini udah musim ya, Pakde?" tanya Asri dengan wajah polos serta antusias, bahkan ia melupakan kalau dirinya tengah sakit kaki. "Enggak ada duren! Kamu ini jangan percaya sama omongan Mama, otak kamu jadi makin aneh gini. Dan satu lagi jangan pernah panggil aku pakde!" ucap Rusma menegaskan di setiap kata-katanya. "Loh kenapa? Terus Asri harus panggil apa?" tanyanya lagi dengan polos. "Panggil apa aja terserah asal jangan pakde," balas Rusma dengan tangan yang melepaskan kancing kemeja putihnya. "Enakan panggil pakde ah, kan bagus Pakde. Pakde suami hehehehe," cengir Asri menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Sekali lagi kamu panggil aku pakde kita belah duren sekarang!" ancam Rusma yang tak main-main dengan setiap katanya. "Pakde! Pakde! Pakde!" Asri dengan sengaja memanggil Rusma dengan sebutan itu karena ia pun ingin belah duren alias makan duren yang begitu manis, tanpa tahu kalau arti belah duren yang sebenarnya bukan itu. "Nantangin, ya? Beneran mau belah duren?" tanya Rusma yang dibalas anggukan cepat Asri. Rusma menepuk dahinya, gadis ini bodoh atau polos sebenarnya? Sepertinya mengerjai gadis ini tidak masalah, ia akan melihat bagaimana kepolosan gadis itu akan bertahan. Seringai jahil muncul, perlahan-lahan ia mendekati Asri hingga wajah Asri yang semula antuasias pun berubah menjadi gugup. "P-Pakde mau apa??" tanya Asri gugup. "Katanya tadi mau belah duren, ya ayo sekarang kita belah duren." Asri menggelengkan kepalanya ketika Rusma semakin mendekat. "D-durennya mana? Kenapa enggak Pakde bawa sini? Asri mau makan duren, tapi wajah Pakde jangan dekat-dekat ... auhhh" Asri kembali meringis begitu merasakan sakit di kakinya. "Ehem, lain kali kalau mau belah duren kunci pintunya dulu, ya? Tadi niatnya Mama mau kasih kompresan karena katanya kaki Asri sakit. Enggak tahunya ...." Mama Nana menaruh baskom berisi air serta lap basah di atas nakas kemudian menatap Asri dan Rusma yang sudah menjauh satu sama lain. "Lanjutin lagi, Mama enggak akan ganggu kok," kekeh Mama Nana kemudian beranjak pergi. Rusma malu bukan kepalang, niat hati ingin mengerjai Asri agar gadis itu merasa malu. Kini justru ia yang harus menahan rasa malu. *** Ada yang menunggu cerita ini up? Mana suaranya? Siapa hayo pendukung Asri&Rusma? Author mau tahu antusias kalian dulu sebelum lanjut lagi ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD