BAB 9

1049 Words
Milly merasa sangat marah karena Keenan sudah menciumnya. Ciuman pertama yang Milly anggap sangat berharga, Keenan rampas begitu saja dari pemiliknya. Semburat merah di kedua pipi Milly muncul bukan karena tersipu melainkan karena amarahnya yang begitu meledak. Sedari tadi Milly hanya mendiamkan Keenan, gadis itu tidak bersuara lagi barang sepatah katapun. Keenan menepikan mobilnya ke sisi jalan. Pria itu merasa ada yang salah di dalam sini. Sebenarnya dia lah masalah utamanya. Kalau saja dirinya tidak sembarang mencium Milly, sudah pasti perjalanan pulang kali ini akan menyenangkan. "Saya tahu kamu marah karena saya sudah mencium kamu sembarangan. Maafkan saya, huh?" Keenan membuka suara. Ini adalah kali pertama dirinya mengucapkan kata maaf. Milly tetap bergeming dan memalingkan wajahnya menghadap jendela. Suasana hatinya benar-benar rusak karena ulah Keenan. "Oke, saya tidak akan memaksa kamu untuk memaafkan saya karena ini. Tapi saya minta kamu untuk tidak menjauhi saya setelah ini. Dan saya juga janji hal seperti tadi tidak akan terulang lagi." Ucapan Keenan terdengar sangat meyakinkan. Bagaimana pun semua sudah terjadi, ciuman itu tidak akan kembali walaupun Milly meluapkan semua amarahnya. Perlahan Milly menatap Keenan yang berada di sampingnya. "Kalau kamu ingin mengambilnya kembali, silahkan ambil." Keenan tersenyum lebar. Milly mendengus kesal. "Mas Keenan!" sungutnya dengan nada cukup tinggi. Jika Milly mengambil kembali, artinya ciuman itu akan terjadi sekali lagi. Cerdas juga otak Keenan. Keenan mengusap gemas puncak kepala Milly. "Sudah, jangan ngambek lagi," ucapnya. Setelah merasa berhasil membujuk Milly, Keenan kembali melajukan mobilnya menuju kediaman gadis itu. *** Hari ini perasaan Milly benar-benar bercampur aduk menjadi satu. Mulai dari rasa bahagia saat menghabiskan waktu bersama keluarga Keenan, rasa marah karena Keenan yang tiba-tiba menciumnya, hingga rasa sedih karena ia kembali ke dalam sangkar raksasa yang sudah mengurungnya selama ini. Sudah beberapa hari sejak kedua orangtua nya pergi ke luar negeri dan tidak ada satu kabar pun dari mereka. Bagaimana bisa orangtua bersikap demikian kepada anaknya? Setiap ingatan tentang kebersamaannya di kediaman orang tua Keenan memberikan rasa sakit yang mendalam pada Milly. Rosalie memang wanita yang baik, tapi di mata Milly dia bukan seorang Ibu yang baik. Seorang Ibu tidak seharusnya membuat anaknya merasa sangat kesepian seperti ini. Milly terus saja membandingkan nasibnya dengan Karin. Betapa Milly menginginkan Rosalie berubah menjadi sosok yang hangat seperti Elina. Bulir bening yang selama ini menjadi saksi kesedihan hati Milly, yang selalu menjadi teman bersandar dikala Milly membutuhkan seseorang, menetes perlahan di kedua sudut matanya. "Kapan kalian ada waktu untuk Milly? Apa di saat Milly sudah tidak lagi bernafas baru kalian bisa meluangkan waktu kalian?" Milly bermonolog sendiri. Monolog yang akan membuat siapapun mendengarnya seperti terhunus anak panah tepat di jantungnya. Kembali ke rumah lagi rasanya sangat menyiksa. Seharusnya Milly tetap di sana dan menghabiskan sisa kesempatan yang ia miliki sebaik mungkin. Karena jika Rosalie dan sang suami sudah kembali, berarti Milly akan kembali terkurung seperti sedia kala. Dengan cepat Milly meraih handphonenya lalu menghubungi Keenan. --- Beberapa saat yang lalu Milly meminta Keenan untuk kembali menjemputnya. Untung saja Keenan masih belum beranjak pergi dari kediaman gadis itu meski sudah lima belas menit berlalu sejak Milly keluar dari mobilnya. Sekarang mereka berdua berada di Apartemen Keenan, bersiap untuk pergi ke puncak seperti permintaan Milly. "Kamu yakin mau pergi? Kita baru bisa pulang besok jika berangkat sekarang," ucap Keenan. Milly mengangguk yakin. Hatinya tidak pernah sangat yakin seperti ini sebelumnya. "Baik, jika itu keinginan kamu." Semua persiapan sudah selesai, sekarang waktunya mereka untuk berangkat. Tidak peduli seberapa lelah Keenan sekarang, akan ia kesampingkan rasa lelah itu karena sang pujaan hati meminta. Walau ke ujung dunia sekali pun akan Keenan penuhi. Milly tersenyum senang. "Makasih, Mas!" ucapnya kemudian menghambur ke pelukan Keenan. *** Dengan kecepatan penuh mobil Keenan membelah jalanan menuju puncak. Di sana villa mewah milik Keenan sudah menghadang mereka berdua. Di usia mudanya, Keenan terbilang sangat sukses karena memiliki kekayaan yang melimpah. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu sangat handal dalam menjalankan beberapa bisnis yang ia miliki. Berbeda dengan Keenan yang fokus dengan jalanan, Milly begitu santai dan sangat menikmati perjalanan ini. Kenapa seumur hidupnya baru kali ini dirinya melihat pemandangan seperti ini. Jika bukan karena Keenan, entah sampai kapan gadis itu bisa menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Sepanjang jalan, senyum ataupun tawa di bibir Milly tidak luntur sama sekali. Seandainya saja di mobil ini tidak hanya ada mereka berdua, mungkin orang lain akan berpikir kalau Milly sangatlah norak alias kampungan. "Pemandangan ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pemandangan di puncak nanti." Beri tahu Keenan. Mendengar hal itu Milly semakin bersemangat, matanya berbinar dan hatinya menggebu tidak sabar ingin melihat pemandangan di puncak. Lalu lintas jalanan yang tadinya lancar tiba-tiba mendadak macet. Antrean mobil yang hendak menuju ke arah puncak terlihat seperti kereta api, bersusun rapi dan panjang. "Ada apa ini, Mas?" tanya Milly bingung. Keenan mengedikkan bahunya. Mobil bergerak dengan perlahan hingga dari kejauhan nampak kepulan asap yang mengepul di udara. Ternyata di depan sana sedang terjadi kecelakaan. Hal itulah yang menjadi penyebab utama kemacetan panjang ini. "Mas ...." Suara Milly terdengar bergetar. Segera Keenan meraih tangan Milly lalu menggenggamnya erat. "Jangan khawatir. Kamu aman di sini," sahutnya. Milly merasakan sekujur tubuhnya menggigil. Detak jantungnya sudah tidak beraturan lagi. Seketika Milly diserang rasa paniknya. "Mas! Gimana ini? Gimana kalau kita dalam bahaya!" Ucapnya panik. "Hei, kamu tenang dulu. Tidak akan ada yang terjadi sama kamu. Kamu aman di sini," sahut Keenan berusaha menenangkan. Milly menggeleng, matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Seharusnya kita tadi nggak usah pergi, Mas! Gimana kalau kita mengalami kecelakaan seperti itu." Pikiran Milly sudah kemana-mana. "Kita tidak bisa pulang dalam keadaan seperti ini. Kamu lihat sendiri kondisi macetnya seperti apa. Lagipula terlalu tanggung. Sebentar lagi kita sampai tujuan." Benar yang Keenan katakan, terlalu tanggung untuk mereka kembali pulang. Mereka sudah menempuh perjalanan sejauh ini. Rasanya akan sangat melelahkan dan membuang waktu jika mereka memilih untuk pulang. "Tenangkan diri kamu, oke? Di sini ada saya yang akan menjaga kamu." Keenan melemparkan senyum manisnya. Perlahan rasa panik Milly berangsur mereda. Gadis itu sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ini adalah kesekian kalinya Keenan menyaksikan kepanikan Milly sejak pertemuan pertama mereka. Apa yang Milly alami bukan hal main-main. Ketakutannya yang sangat besar seperti tadi menunjukkan jika dirinya sudah sejak lama terjebak dalam kehidupan yang memprihatinkan. Sejenak Keenan memikirkan bagaimana Milly menjalani hidupnya selama ini. Hidup berdampingan dengan rasa takut yang luar biasa seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD