BAB 16

1078 Words
Hari ini Ismail merasa lega, karena mertuanya dan emak datang ke rumah. Ia terbebas dari jerat gairah Sasha yang tak ada habisnya. Ismail terlihat kusut, matanya terdapat lingkaran hitam karena kurang tidur. Herannya mertua dan emak tak ada yang membahas penampilan Ismail. Mungkin mereka fikir, pengantin baru, maka wajar jika sampai begadang. Tapi, baguslah Mail jadi tak khawatir tentang emak. Ia takut kalau emak lihat penampilan Ismail, emak akan terkejut dan berfikir buruk. Tapi, ternyata tidak. Mereka semua beranggapan bahwa hal seperti itu adalah wajar. Pengantin baru masih hangat-hangat nya. Kalau Mail pribadi sudah bukan hangat lagi. Tapi kebakar. "Mama, papa, emak kalian datang?" Sasha nampak menyambut dengan baik. Mail dan yang lain sampai melongo. Biasanya Sasha akan jutek dan sinis. Tumben jadi ramah? "Wah, Sasha setelah menikah jadi lebih sopan?" Puji sang mama. Sasha hanya tersenyum. Ia duduk di samping Ismail. Meraih jemari Ismail dan menggenggamnya. Seakan mereka sangat mencintai satu sama lain. Orang tua mereka terlihat malu karena telah mengganggu kemesraan mereka. "Kalian sudah makan?" Tanya emak. Sasha langsung mengangguk dengan cepat. "Oh, syukurlah, oh ya, ini emak bawa makanan dari rumah besan. Emak yang masak, kesukaan Ismail. Sasha mau coba juga?" "Apa itu, Mak?" "Jengkol dan sambil teri campur pete." Sasha langsung berhenti tersenyum sejenak. "Kamu suka jengkol dan pete, Mail?" Tanya Sasha. Ismail mengangguk dengan antusias. Sasha menerima itu dan membawanya ke dapur. Tidak untuk di taruh, tapi di buang. Sasha benci makanan kampung. Setelah orang tua mereka kembali pulang. Ismail langsung dengan cepat ke dapur dan mencari makanan kesukaannya. Ia rindu sekali jengkol dan pete. Apalagi itu masakan dari emak. Imail terus mencari. Tapi tak menemukan apapun. "Bu, ibu lihat masakan emak saya? Ibu taruh mana ya?" Tanya Ismail pada Sasha yang sedang menatap ponselnya. "Di tong sampah," jawab Sasha enteng. Ismail tercengang. Sampah? Tong sampah? "Maksudnya, ibu buang masakan emak saya?" "Iya." "Tapi, kenapa?" Sasha meletakan ponselnya dan menatap Ismail. "Karena saya anti makanan kampung!" "Tapi kan, itu...." "Apa? Mau membantah saya? Sudah mulai berani?" Ismail diam. Sasha kembali mengambil ponselnya dan mengetik di sana. "Saya permisi, Bu." Sasha hanya diam. Ismail berjalan gontai ke arah kamar. Sasha meliriknya. "Tunggu." Ismail terdiam. Menoleh. "Ya?" "Besok kita mulai kerja, ingat di kantor jangan banyak tingkah. Paham!" Ismail mengangguk. Dan kembali ke kamar. ****** Di kantor Sasha bersikap seperti biasanya dingin dan jutek. Sementara Ismail menunduk lesu. Ismail heran melihat sasha yang seperti memiliki tenaga ekstra. Dirinya yang laki-laki saja kewalahan menghadapi ke-agresifan Sasha. Bahkan sampai terlihat lesu. Tapi, Sasha. Ia nampak baik-baik saja. "Ismail." Ismail menoleh dan tersenyum senang. "Bang Asep!" "Sombong kamu ah, udah nikah bukanya main ke kosan?" "Maaf bang, namanya juga pengantin baru." Ya... Bagus Mail. Berbohonglah dengan baik. Dan se-normal mungkin. "Hahaha bikin iri kamu." Ismail terdiam. Ia tersenyum samar. Iri? Haruskah Ismail bilang kau Ismail iri dengan Asep? Haruskah Ismail bilang kalau ia tak bahagia? Haruskah Ismail bilang kalau ia tertekan? "Apa sih bang? Iri kenapa?" "Ah kamu, Il, pakai nanya segala." "Hahaha... Nikah sana bang." "Sombong kamu, udah yuk ah kerja." Ismail mengangguk dan masuk pantry bersama Asep. **** Ismail menyapu seperti biasa di lantai tiga. Semua karyawan tak bosannya menggosipkan Ismail yang menikah dengan bos tapi masih jadi Ob. "Wow, pak Ismail. Masih nyapu aja, Pak?" Tanya salah seorang karyawan. Ismail melihat mereka dan ada Marco di sana. Marco nampak tersenyum sinis. "Maaf, saya tidak pantas di panggil bapak, saya hanya Ob," jawab Mail dengan sopan. "Hahaha... Lihat itu, dia sadar loh, kalau dia itu Ob?" Ejek mereka. Dan tawa mereka terus saja menggema. Hingga ruangan Sasha terbuka. Nampak Sasha berdiri di hadapan mereka. Mereka diam namun Sasha tak mengatakan apapun. Ia hanya lewat begitu saja. Bahkan tak melirik Ismail sama sekali. Setelah Sasha pergi. Karyawan itu kembali menertawakan Ismail. Ismail tak menggubrisnya. Ia memilih melanjutkan menyapu lantai. Merasa di abaikan mereka kesal dan meludah di lantai yang tengah di sapu Ismail. Ismail hanya diam. Menatap sejenak dan mengambil tisu dari saku celananya. Ia. Mengusap lantai itu agar kembali bersih. "Maaf pak, lain kali kalau meludah di tempatnya ya, ini jalan umum, takut ada yang kepeleset," ujar Mail dan hendak pergi. Namun di tahan oleh Marco. "Gue benci banget lihat tampang Lo yang sok! Nggak pantes banget tahu nggak Lo, jadi suami Sasha. Malu, dong. Istri bos suami Ob. Nggak ada otak nya Lo!" Ismail menelan ludahnya. Tenggorokannya sakit. Hatinya apa lagi. Tapi, apa yang bisa Ismail perbuat. Apa yang di ucapkan oleh Marco semua adalah benar. "Bang Mail!" Teriak Kimmy tiba-tiba. Membuat Marco dkk langsung mundur dan tersenyum ke arah Kimmy lalu pergi. "Mereka ngapain, Bang?" Tanya Kimmy. "Nggak, Mbak. Saya permisi ya, Mbak." Ismail langsung pergi. Kimmy bingung melihat Ismail yang jadi pendiam dari biasanya. Harusnya kan Ismail happy karena sudah menikah. Sama seperti Kimmy dulu. Senyum terus. Tapi, kenapa Mail nggak ya? ***** Ismail makan siang seorang diri. Ia tak mau berbaur dengan karyawan lain. Ia makan di pojok kantin. Jongkok. Sasha melirik Ismail sekilas. Lalu menggeleng kepala dan langsung menghampiri Ismail. Semua orang melihat hal itu dan jadi penasaran. Jarang-jarang mereka melihat Sasha menghampiri Ismail. "Kamu ngapain makan di sini?" Tanya Sasha. Ismail langsung buru-buru bangun. "Bu, saya...." "Saya tanya ngapain?" Nada suara Sasha semakin meninggi. Ismail sudah merah wajahnya karena malu. Semua karyawan sekarang sedang menatapnya dan menertawakannya dalam diam. "Saya hanya makan, Bu, apa saya salah?" Tanya Ismail dengan suara pelan. "Jangan bikin saya tambah malu ya, kan di sana banyak meja? Kenapa harus jongkok di pojokan seperti ini? Kamu gembel apa Ob?" Bentak Sasha. Hancur sudah harga diri Ismail. Ia tersenyum masam. Tak bisakah Ismail bernafas sejenak. "Bu, saya hanya...." "Sasha," panggil Marco. Sasha menoleh. "Apa? Jangan ikut campur?" "Bukan, Sha. Kamu nggak malu apa, lihat semua karyawan menatap kalian berdua dari tadi. Mending kita keluar aja, nggak usah ngurusin Ob itu. Ayo, malu, Sha." Sasha pun ikut pergi dengan Marco. Ismail menunduk sembari berjalan keluar kantin. Telinga Ismail tak berhenti mendengar bisikan-bisikan tentang dirinya. Dan semua salah hal buruk. Andai Ismail adalah perempuan maka Ismail sudah menangis sedari tadi. Saat Ismail hendak turun ke lantai bawah. Seseorang menarik lengannya dan mengunci pintu darurat. Ya, Ismail turun lewat tangga ia tak sanggup bila naik lift. Pasti banyak karyawan di sana. "Bu, Sasha?" Ismail tersentak saat sadar yang menariknya adalah Sasha. "Kenapa?" "Bukannya tadi ibu sama pak Marco?" "Ya, tapi saya kepikiran kamu." "Saya?" "Iya bawel." Sasha langsung melumat bibir Ismail. Mereka berciuman di tangga darurat. Hanya saat seperti inilah, Ismail merasa dekat dengan istrinya. Saat mereka b******u dan bercinta.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD