Ian merasa hilang akal, menghadapi masalah beruntun yang menghampirinya. Alasannya sungguh seperti lelucon. Dia bahkan belum memutuskan apa-apa mengenai hubungannya dengan Madeline. Ian belum menandatangani surat cerai yang ditinggalkan wanita itu. Ia bahkan belum mengambil tindakan atas hubungannya dengan Carla Ellis, tapi dia sudah dihakimi atas gossip yang beredar.
Ian benar-benar bingung, tidak tahu bagaimana caranya melewati masalah ini. Ia takut, gossip itu akan semakin berkembang dan membuat masalah di perusahaannya semakin parah.
“Tuan, saran saya, salah satu cara adalah dengan membuat pernyataan bahwa gossip itu tidak benar, Tuan,” Kata asistennya hati-hati, setelah melihat Ian lebih tenang.
“Sama saja cari mati. Semua orang sudah melihat foto-foto itu. Siapa yang akan percaya bahwa tidak ada apa-apa antara aku dan Carla. Yang ada, saya akan semakin dibuly, karena dianggap berbohong hanya untuk menutupi rasa malu.”
Asisten Ian juga masih ingat foto-foto mesra Ian dan Carla Ellis.
“Tuan benar. Foto-foto Tuan dan nona Ellis benar-benar nyata.”
Tidak kuat menahan kemarahan, Ian meninju meja. “Wanita sialann itu, kalau dia tidak memprovokasi Madeline, kita pasti tidak akan mengalami hal buruk ini.” Gerutu Ian dengan wajah muram.
Ian merasa telah melakukan kesalahan
Tapi penyesalan tidak ada gunanya. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah memulihkan nama baiknya.
“Satu solusi yang perlu dicoba juga, Tuan, mencari Nyonya Madeline dan memperbaiki yang salah, sebelum masalahnya menjadi lebih besar. Saya rasa, Nyonya mungkin bisa membantu.” Kata asisten Ian, mencoba memberi saran.
Ian mengusap wajahnya gelisah. Dia duduk di kursi dengan tubuh letih.
***
Di sebuah restoran mewah, Madeline duduk bersama dua sahabatnya, Catherine dan Sofia. Meja mereka dipenuhi dengan hidangan lezat yang menggugah selera, dan suasana malam itu penuh dengan tawa dan keceriaan. Madeline merasa lebih baik setelah sekian lama hidup dalam tekanan dan ketidakbahagiaan.
Ini adalah kota kelahirannya yang jauh lebih besar dan lebih ramai dari kota tempat Ian. Madeline tidak berhenti merasa heran, dirinya rela meninggalkan semua ini demi seorang Ian Bastian.
‘Bodohnya!’ Batin Madeline.
“Madeline, aku masih tidak percaya kau kembali!” seru Catherine sambil menuangkan anggur ke dalam gelas-gelas mereka. “Kami benar-benar merindukanmu.”
Ini adalah perayaan kembalinya Madeline. Tidak lengkap kalau tidak minum wine.
Madeline tersenyum, merasa terharu dengan sambutan hangat dari teman-temannya. “Aku juga merindukan kalian. Rasanya seperti mimpi bisa duduk di sini lagi dan tertawa bersama kalian.”
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Sofia dengan penuh semangat. “Kau pasti punya banyak ide menarik, bukan?”
Madeline tertawa, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki teman-teman yang selalu mendukungnya. “Yah, aku pikir aku akan fokus membangun karierku lagi. Mungkin aku akan mencoba hal-hal baru yang sebelumnya tidak berani aku lakukan.”
Catherine dan Sofia saling bertukar pandang dan tersenyum lebar. “Sudah waktunya menunjukkan kemampuan dirimu yang sebenarnya, Madeline. Kami mendukung rencanamu ini.” kata Catherine dengan penuh keyakinan.
Sofia mengangguk setuju. “Dan jangan lupa, kita harus sering-sering mengadakan malam seperti ini. Makan-makan dan saling berbagi cerita.”
Madeline mengangkat gelasnya, diikuti oleh Catherine dan Sofia. “Untuk persahabatan kita dan masa depan yang lebih baik!” serunya dengan penuh semangat.
“Untuk masa depan yang lebih baik!” balas Catherine dan Sofia serempak, mendetingkan gelas mereka, lalu menyesap anggur terbaik itu perlahan.
Malam itu diisi dengan percakapan hangat dan tawa tanpa henti. Madeline merasa beban yang selama ini menghimpitnya perlahan-lahan menghilang. Dia menyadari bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan dan kesempatan baru untuk memulai kembali.
“Bagaimana rasanya bisa bebas?” tanya Catherine sambil tersenyum nakal.
Madeline tertawa ringan. “Rasanya seperti bisa bernapas lega untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama. Aku merasa lebih kuat dan siap menghadapi apapun.”
Sofia memandang Madeline dengan kagum. “Kau benar-benar wanita yang luar biasa, Madeline. Kami bangga padamu.”
“Terima kasih,” jawab Madeline dengan penuh rasa syukur. “Kalian juga luar biasa. Tanpa kalian, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan.”
Percakapan mereka terus berlanjut, mengalir dari satu topik ke topik lain, hingga akhirnya malam semakin larut. Di tengah kebersamaan itu, Madeline merasa dikelilingi oleh cinta dan dukungan yang tulus, memberinya semangat baru untuk menghadapi tantangan di di depannya.
Sambil menikmati hidangan penutup yang menggugah selera, Catherine dan Sofia berhati-hati untuk tidak membahas masalah Ian Bastian lebih jauh. Mereka tahu betapa sulitnya bagi Madeline untuk meninggalkan hubungan yang selama ini dia perjuangkan dengan sepenuh hati.
Percakapan mereka berlanjut dengan topik-topik ringan dan menyenangkan, dari rencana perjalanan hingga film terbaru yang harus ditonton. Catherine dan Sofia dengan sengaja menghindari menyebut Ian atau kehidupan lama Madeline, memberikan ruang bagi Madeline untuk menikmati momen ini tanpa beban.
Ketika malam semakin larut dan restoran mulai sepi, Madeline merasa lebih ringan dan optimis tentang masa depannya. Meski banyak yang harus dia hadapi, dukungan teman-temannya memberinya kekuatan untuk melangkah maju.
“Terima kasih untuk malam ini, sahabat-sahabatku yang baik hati. Aku benar-benar bersyukur memiliki kalian dalam hidupku,” kata Madeline dengan tulus ketika mereka bersiap untuk pulang.
“Kami juga bersyukur bisa memiliki momen ini bersamamu, Madeline. Jangan ragu untuk menghubungi kami kapanpun,” jawab Catherine sambil memeluk Madeline erat.
Dengan itu, mereka berpisah, membawa pulang kenangan indah dari malam yang penuh dengan tawa dan canda. Madeline pulang dengan perasaan baru, siap untuk menghadapi tantangan apapun yang mungkin datang di hadapannya.
***
Madeline duduk di balkon kamarnya, menatap layar ponsel yang menampilkan berita terbaru tentang Bastian Corporation. Kepala berita besar-besaran tentang kegagalan mereka dalam proses tender proyek terpampang jelas di sana, diikuti oleh analisis tentang penurunan harga saham yang signifikan.
Madeline menghela napas panjang, perasaan campur aduk antara puas dan prihatin menguasai dirinya. Dia tahu betul bahwa ayahnya, bukanlah orang yang akan diam saja ketika putrinya diperlakukan tidak adil.
"Sekarang mereka merasakannya," pikir Madeline sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Ayah tidak akan membiarkan Ian lolos begitu saja."
Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana dia berusaha keras untuk mendukung Ian dan perusahaannya. Dia telah memberikan segalanya, berharap cinta dan dukungan yang dia berikan akan membuahkan hasil. Namun, kenyataan pahit yang harus dihadapinya adalah Ian lebih memilih memihak orang-orang yang merendahkannya.
"Ini pelajaran yang seharusnya sudah lama dia terima," gumam Madeline pada dirinya sendiri. "Mungkin ini akan membukakan matanya bahwa dia tidak bisa terus memperlakukan orang lain dengan buruk dan berharap semuanya baik-baik saja."
Meskipun puas melihat Ian menerima akibat dari tindakannya, bagian kecil dari dirinya masih merasakan simpati. Dia tahu betapa sulitnya membangun dan mempertahankan sebuah perusahaan. Namun, pengkhianatan Ian dan keluarganya telah menghapus segala rasa iba yang mungkin dia miliki.
‘Ini bukan hanya tentang balas dendam,’ pikir Madeline. ‘Ini tentang menunjukkan pada Ian bahwa dunia tidak akan selalu berputar sesuai kehendaknya.’
Dia meletakkan ponselnya di meja dan menatap langit yang perlahan berubah menjadi warna jingga saat senja. Madeline merasa lega. Dia tahu jalan di depannya mungkin tidak mudah, tetapi setidaknya dia tahu bahwa dia tidak lagi sendirian.
"Aku punya keluarga dan teman-teman yang mendukungku," ucapnya pelan, menegaskan komitmennya untuk bergerak maju dan meraih kesuksesan atas usahanya sendiri.
Ian duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer dengan frustrasi. Setelah kegagalan tender besar dan penurunan saham yang mengancam stabilitas perusahaan, pikirannya kembali terarah pada Madeline.
Sejak perpisahan mereka, segalanya terasa seperti berantakan, dan dia merasa bahwa mencari Madeline adalah langkah pertama untuk menyelesaikan semua ini.
Namun, pencariannya tidak membuahkan hasil. Ian sudah menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Madeline, termasuk teman-teman dekat dan rekan kerjanya dulu, tetapi mereka semua mengaku tidak tahu di mana dia berada.
“Bagaimana bisa dia menghilang begitu saja?” gumam Ian, mengacak-acak rambutnya dengan gelisah.
Ian pun terus berusaha mencari. Dia menatap layar laptopnya yang menampilkan media sosial Madeline. “Tidak ada pembaruan. Tidak ada jejak,” gumamnya, matanya meneliti setiap detail yang mungkin terlewat. “Ke mana dia pergi?”
Dia mencoba menghubungi nomor ponsel Madeline lagi, namun tetap tidak aktif. Ian memeriksa kembali email dan pesan-pesan terakhirnya, berharap menemukan petunjuk. “Jika Madeline memutuskan untuk menghilang, mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan atau alasan yang lebih besar di balik ini.”
Ian lalu meminta bantuan staf untuk mencari informasi lebih lanjut tentang aktivitas Madeline. “Saya butuh semua data yang bisa Anda kumpulkan tentang Madeline. Akses ke akun-akun media sosialnya, jejak perjalanan, apapun yang bisa memberi tahu kita keberadaannya.”
Seorang staf yang berdedikasi memeriksa semua kemungkinan, termasuk media sosial dan jejak digital lainnya. Namun, hasilnya tetap sama. Madeline tampaknya telah menghapus jejaknya dengan hati-hati. Bahkan, profil media sosialnya yang sebelumnya aktif kini telah menjadi kosong atau ditutup.
“Ini tidak mungkin. Ada sesuatu yang salah,” kata Ian, frustrasi. “Kalian harus terus mencari. Mungkin ada seseorang di luar sana yang tahu di mana dia berada atau bisa memberi kita petunjuk.”
Dalam keadaan tertekan dan semakin gelisah, Ian mulai meragukan segalanya. “Mungkinkah ada seseorang yang membantunya? Atau mungkin ini bagian dari rencana yang lebih besar?
Dia teringat kembali pada hari ketika Madeline meninggalkan rumah mereka, naik ke mobil mewah milik Daniel Reynard. Sejak saat itu, semuanya berubah drastis, dan Ian tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa Madeline memainkan peran yang lebih besar dalam hidupnya daripada yang pernah dia sadari Ian merasa semakin terjepit.
Di tengah tekanan dari keluarganya dan situasi perusahaannya yang memburuk, dia memutuskan untuk menemui Daniel Reynard. Ian berharap mendapatkan jawaban, atau setidaknya petunjuk, tentang Madeline dan hubungannya dengan keluarga Reynard.
Ian memasuki kantor Daniel dengan langkah tegas. Dia berusaha menjaga ketenangannya, meski dalam hatinya berkecamuk kemarahan dan frustrasi. Ketika dia diterima di ruang pertemuan, Daniel sudah menunggunya dengan ekspresi tenang.
“Selamat datang, Ian,” sapa Daniel dengan senyum yang sulit diartikan. “Apa yang bisa saya bantu?”
Ian menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku butuh penjelasan, Daniel. Apa hubunganmu dengan Madeline? Kenapa dia bisa begitu mudah pergi bersamamu malam itu?”
Daniel menatap Ian dengan tatapan tajam namun tenang. “Madeline adalah teman keluarga kami, Ian. Apakah ada masalah dengan itu?”
“Kau tahu ada masalah dengan itu,” Ian menjawab dengan nada menahan amarah. “Sejak malam itu, hidupku berantakan. Apa kau ada hubungannya dengan ini?”
Daniel mengangkat bahunya dengan santai. “Mungkin masalahmu bukan karena Madeline pergi bersamaku, tapi karena bagaimana kau memperlakukannya selama ini.”
Ian terdiam sejenak, mencoba meredam emosinya. “Apa maksudmu?”
Daniel bersandar ke kursinya, menatap Ian dengan ekspresi serius. “Madeline adalah wanita yang luar biasa, Ian. Jika kau tidak bisa melihat itu, mungkin sudah saatnya kau menilai kembali caramu menjalani hidup. Tapi jangan menuduh orang lain untuk masalah yang kau ciptakan sendiri.”
Kata-kata Daniel mengena di hati Ian. Namun, alih-alih merasa tertekan, kemarahan Ian justru semakin memuncak. “Kau tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan Madeline. Ini adalah urusan pribadi.”
“Tentu saja, Ian,” Daniel menjawab dengan nada sarkastis. “Tapi ingatlah, Madeline memiliki pilihan, dan dia memilih pergi dari situasi yang tidak menghargainya.”
Merasa ditelanjangi dan tersudut, Ian berdiri dengan kasar dari kursinya. “Kau tidak tahu apa-apa tentang kami.”
Daniel hanya mengangguk dengan senyum tipis. “Mungkin begitu. Tapi saya tahu satu hal, Ian. Madeline tidak akan kembali jika kau terus seperti ini.”
Ian berbalik dan meninggalkan ruangan dengan kemarahan yang membara, merasa semakin tertekan oleh situasi yang tidak bisa dia kendalikan.
Saat Ian kembali ke rumah, dia disambut dengan provokasi dari Carla dan keluarganya, yang semakin memperburuk suasana hatinya.
“Jadi, kau tidak menemukan Madeline?” sindir Carla sambil menyilangkan tangan di dadanya.