Bab 9

1688 Words
“Bukan urusanmu. Jangan lupa, kamu juga berkontribusi dalam semua kekacauan ini.” sergah Ian, seraya menatap Carla sengit. Carla tersenyum meminta maaf. “Aku minta maaf, Ian. Sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu, tetapi aku prihatin dengan situasi ini.” Carla mendekati Ian sambil mengusap lengannya lembut. “Aku marah pada Madeline, karena dia menimbulkan masalah bagi perusahaan. Kerugian yang kamu derita terlalu besar, Ian!” Wajah Ian muram. Sorot matanya yang menatap Carla sedingin es. “Aku tegaskan sekali lagi, jangan mencampuri urusanku, juga perusahaanku.” Setelah mengucapka kalimat itu, Ian meninggalkan Carla sendirian, sama sekali tidak peduli Carla memanggilnya. Carla berdiri tegak dengan tangan terkepal. Dia marah sekali pada Madeline. Wanita itu terus menghalangi kebahagiaannya, bahkan saat dirinya sudah tidak lagi berada di sana. “Aku akan membuat semua berbalik menjadi milikku, Madeline!” Gumam Carla. Sorot matanya penuh tekad. *** Kekacauan melanda kantor Bastian Corporation pagi itu. Para staf terlihat panik dan bingung, berusaha memahami apa yang terjadi dengan sistem komputer mereka. Ian berdiri di tengah ruangan, wajahnya tegang saat mendengarkan laporan dari kepala departemen IT. "Semua file penting terkunci, Pak Ian. Sepertinya ada yang meretas sistem kita," lapor kepala IT dengan nada cemas. "Kami sedang berusaha memperbaikinya, tetapi ini akan memakan waktu." Lapor seorang karyawannya. Ian merasakan tekanan bertambah, masalah demi masalah terus menghampiri perusahaannya. Kegagalan dalam proses tender dan penurunan saham sudah cukup membuatnya stres, dan sekarang ini, komputer kantor diretas. Carla Ellis, yang sedang datang berkunjung, bergegas masuk ke ruangan Ian dengan ekspresi penuh kecurigaan. "Ian, aku yakin ini pasti ulah Madeline," kata Carla Ellis dengan suara yakin. "Dia satu-satunya yang punya alasan untuk merusak perusahaanmu." “Kamu datang hanya untuk menyalahkan orang lain, apa hakmu di sini? Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, Carla!” Ketus Ian. Carla tertawa kecil. “Kamu pikirkan sendiri, semua ini terjadi setelah Madeline pergi, kan?” Ian mengerutkan kening, mengingat semua kejadian yang terjadi setelah kepergian Madeline. Awalnya, dia merasa ragu untuk menyalahkan Madeline, tetapi situasi ini membuatnya berpikir ulang. Kata-kata Carla mulai mempengaruhi Ian. "Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Ian, mencoba tetap rasional meskipun hatinya berat. Carla mendekat, menatap Ian dengan tatapan meyakinkan. "Karena dia satu-satunya yang tahu cara membuatmu merasa terjepit. Dia ingin kamu merasakan bagaimana rasanya dikalahkan." “Analisamu ngawur!” Ian mengibaskan tangannya. “Kamu yakin dia tidak bersalah atau hatimu berat mengakui Madeline sejahat itu?” Kejar Carla, tidak mau memberi kesempatan Ian berpikir terlalu jauh. Ini kesempatannya, setelah dia menunggu begitu lama. Ian menatap layar laptopnya. Kalau mau jujur, dia lebih condong ke hal yang kedua. Madeline yang selama ini begitu lembut, tidak mungkin melakukan hal jahat seperti ini. “Ian, kalau tidak keberatan, aku ingin mencoba memperbaiki kerusakan ini.” Kata Carla, lalu tanpa menunggu persetujuan Ian, dia berjalan ke ruang komputer tim IT. Ian sedang bingung, jadi tidak sempat melarang Carla. Tak sampai lima menit, seorang staf IT kembali datang ke ruangan Ian. "Komputer sudah bisa diakses kembali, Tuan," lapor staf IT dengan nada lega, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. "Tapi ada masalah lain. Banyak file yang rusak dan tidak bisa dipulihkan." Ian mengerutkan kening, merasakan kecemasan semakin bertambah, tidak mendengarkan sang staf menyebut. "File apa saja yang rusak?" tanyanya, meskipun dia sudah memiliki firasat buruk tentang jawabannya. "Sebagian besar adalah gambar desain gedung dan RAB pekerjaan," jawab staf, menatap Ian dengan tatapan penuh permohonan maaf. "Kami sedang berusaha memulihkan data dari backup, tapi ini akan memakan waktu." Ian menghela napas panjang, merasakan tekanan semakin menumpuk di pikirannya. Desain gedung itu adalah proyek perencanaan penting yang sudah mereka kerjakan dengan susah payah. Kehilangan data itu berarti mereka harus mengulang banyak pekerjaan dari awal, yang bisa mengakibatkan keterlambatan proyek fisik dan kerugian besar bagi perusahaan. "Apa tidak ada cara lain untuk memulihkan data itu lebih cepat?" tanya Ian, suaranya penuh frustrasi. "Kami akan terus berusaha, Tuan. Nona Carla juga masih sedang mencoba memulihkan file-file penting." jawab stafnya. "Tapi ini adalah pekerjaan yang sangat rumit." Sambungnya dengan dahi mengerut. “Carla?” “Iya, Tuan. Nona Carla telah membantu memperbaiki kerusakan yang ada.” Stafnya menatap Ian dengan sorot kagum. Mendengar jawaban stafnya, Ian merasa terkejut. Tidak menduga Carla memiliki keahlian IT yang cukup hebat. Di luar pintu yang sedikit terbuka, Carla bisa mendengar percakapan Ian dan stafnya. Setelah beberapa menit, dia memutuskan untuk mengetuk pintu dan melangkah masuk. “Maaf, Ian. Aku akan pulang, tapi ponselku hilang, mungkin ketinggalan di sini. Bisakah aku mencarinya sebentar?” “Silakan.” Ian menjawab datar. Pria itu membiarkan Carla masuk dan mencari ponselnya di area sofa. Tak lama, wanita itu sudah tersenyum. Ponselnya ditemukan tertindih bantal sofa. “Ternyata aku juda sudah mulai pikun, Ian. Lihat saja, ponsel ini tadi ada dalam genggamanku, lalu saat aku pergi, meninggalkannya begitu saja di sini,” Kata Carla sambil tertawa geli. Ian tidak menanggapi, hanya menatap wanita itu dengan sorot mata menilai. ‘Apakah Carla memang sehebat itu?’ “Kenapa menatap aku seperti itu, Ian? Aku tidak melakukan apapun yang sudah kamu tegaskan padaku,” Carla bertanya canggung, sambil balas menatap Ian bingung. “Tidak. Bukan begitu. Tapi terima kasih sudah membereskan masalah komputer,” “Oh, tidak Ian. Aku hanya membantu sedikit. Anak buahmu yang telah bekerja keras.” Balas Carla rendah hati. Ian hanya mengangguk. Dia lalu mulai sibuk kembali di layar laptopnya. Tak bergeming, saat Carla pamit. *** Ian merasa perlu mencari tahu mengenai Madeline. Walaupun feelingnya sama sekali tidak menaruh kecurigaan berlebihan pada Madeline, namun dia perlu mengetahui keberadaan wanita itu. Dia membuka media sosial, berharap menemukan petunjuk, tetapi akun Madeline sudah tidak aktif. Tidak ada jejak digital yang bisa diikutinya, seolah Madeline telah menghapus semua keberadaan online-nya. Ian bahkan menyewa penyelidik pribadi untuk melacak keberadaan Madeline, tetapi laporan yang diterimanya sama nihilnya. Detektif itu hanya bisa mengatakan bahwa Madeline tidak ditemukan. Detektif berpendapat, wanita itu sengaja menyembunyikan dirinya dan dengan sangat hati-hati menyembunyikan jejaknya. ‘Ini tidak masuk akal, Madeline menghilang seperti ditelan bumi.’ pikir Ian, merasa semakin terjebak dalam kekacauan yang dia ciptakan sendiri. Dia mengingat kembali setiap hal tentang Madeline dan kebiasaannya, mencari petunjuk atau tanda yang mungkin bisa membantu. Walaupun di depan Carla Ian bersikeras tidak ingin mencurigai Madeline, namun, setelah masalah beruntun yang dialami, dia mulai mencurigai Madeline. Bagaimana pun, Madeline pergi dengan sakit hati, perasaan terkhianati, bukan tidak mungkin dengan dukungan kekuatan besar milik Daniel Reynard, dia merencanakan pembalasan dendam. Ian menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan frustrasi. Dalam pikirannya, satu pertanyaan terus berputar: mungkinkah semua kekacauan ini adalah hasil dari rencana Madeline? Kecurigaannya semakin membesar seiring dengan ketidakmampuannya menemukan jejak wanita itu. “Kau sungguh wanita licik, Madeline,” gumamnya dengan nada pahit. “Apa semua ini sudah kau rencanakan sejak awal?” Dia kembali mengingat bagaimana Madeline pergi bersama Daniel Reynard, seorang pria yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar di dunia bisnis. Apakah Madeline dan Daniel bekerja sama untuk menghancurkannya? ‘Madeline mungkin sudah merencanakan ini sejak lama,’ pikir Ian, dan terkejut ketika pemikiran itu menimbulkan rasa sakit menusuk lebih dalam daripada yang bisa dia terima. Ia mulai memikirkan setiap kejadian sejak perpisahan mereka, mencoba menghubungkan titik-titik yang mungkin terlewatkan. Ketika masalah mulai bermunculan, dari kegagalan tender hingga jatuhnya saham, semuanya tampak terlalu kebetulan. “Tidak mungkin semuanya kebetulan,” Ian berbisik, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Madeline pasti punya alasan untuk menghilang dan membuat semua ini terjadi.” Ian bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di kantornya. Kemarahan bercampur dengan kecemasan membayang di wajahnya. Dia merasa seperti kehilangan kendali atas semua hal yang penting baginya. Ia ingin mendapatkan jawabannya dan satu-satunya cara untuk itu adalah dengan menemukan Madeline dan mendapatkan penjelasan darinya. “Kau harus bertanggung jawab, Madeline,” ujarnya tegas, suaranya menggema di ruang kantornya yang sepi. “Aku akan menemukanmu, dan saat itu terjadi, kau harus menjelaskan semuanya.” Keputusannya sudah bulat. Ian tidak akan berhenti sampai dia tahu kebenaran di balik semua masalah yang sedang dihadapinya. Dan kebenaran itu, pikirnya, hanya ada di tangan Madeline. Dengan tekad baru, dia kembali duduk di kursinya, merencanakan langkah selanjutnya untuk mengatasi badai yang tengah melanda hidup dan perusahaannya. Sementara itu, di koridor kantor Bastian Corporation yang sepi, Carla Ellis berdiri sambil melirik sekelilingnya dengan hati-hati. Dia belum langsung pulang, karena ada hal penting yang harus dia selesaikan. Dia memastikan tidak ada yang melihat sebelum melangkah mendekati seorang staf IT yang tengah duduk di mejanya, tampak sibuk dengan tugas-tugas hariannya. "Bro," bisik Carla dengan suara lembut. Staf IT itu mengangkat wajahnya, menatap Carla dengan sorot mata terkejut. "Apa lagi yang bisa saya bantu, Bu Carla?" Tanya pria itu, setelah melihat tempatnya aman. Carla mengeluarkan amplop cokelat dari tas tangannya, meletakkannya di meja di depan staf itu. "Ini adalah bonus kecil untuk kerja kerasmu," katanya sambil menyunggingkan senyum tipis. "Tapi aku masih butuh sedikit bantuan darimu." Pria itu menatap amplop itu sejenak sebelum mengambilnya dan dengan cepat memasukkannya di dalam laci. Dia lalu melihat ke arah Carla lagi. "Bantuan seperti apa yang Anda maksud?" "Aku ingin kau membuatnya seolah-olah ada lebih banyak kerusakan pada sistem daripada yang sebenarnya," ujar Carla pelan. "Pastikan Ian percaya bahwa ini semua adalah ulah Madeline." Staf itu terdiam, ragu-ragu dengan permintaan Carla. "Tapi, Bu Carla, jika ketahuan, saya bisa kehilangan pekerjaan saya." Carla menyentuh bahu peia muda itu, menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. "Kau tidak akan ketahuan. Aku akan memastikan itu," katanya dengan nada menenangkan. Pria itu menghela napas, menimbang pilihan yang ada di hadapannya. Amplop itu jelas menggiurkan, dan dengan meyakinkan dirinya bahwa ini hanya pekerjaan sementara, dia akhirnya mengangguk. "Baiklah, saya akan lakukan," ujarnya pelan. “Satu lagi, buatlah Pak Ian Bastian tidak bisa mendapatkan data mengenai wanita itu,” Pria itu tersenyum. Kalau yang ini bisa dia lakukan dengan mudah. Toh semua data itu masuk di komputernya terlebih dulu. “Baik, Bu. Siap dilaksanakan sesuai perintah ibu,” Carla tersenyum puas, merasa rencananya semakin matang. "Terima kasih, Bro. Aku sangat menghargai kerjasamamu," katanya sambil beranjak pergi. Saat Carla melangkah memasuki lift, dia merasa lega. Dengan langkah ini, Ian akan semakin yakin bahwa Madeline adalah dalang dari semua masalah yang menimpa perusahaan. Dalam benaknya, dia sudah bisa membayangkan bagaimana kejatuhan Madeline akan memperkuat posisinya di sisi Ian. Bagi Carla, ini adalah permainan yang harus dimenangkan dengan segala cara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD