“Hai, Dad!” Madeline mengangkat muka dan menyapa saat melihat ayahnya masuk ke ruang kerjanya yang luas dengan langkah lebar.
Madeline sudah duduk di sana selama hampir setengah jam, menunggu ayahnya selesai rapat.
“Hai, Sayang. Maaf, aku sudah membuat kamu menunggu lama.” Balas Gale sambil mencium kening putrinya dengan penuh kasih.
“Tidak apa-apa, Dad. Aku juga tidak terburu-buru, dan cukup menikmati suasana kantormu. Tempat ini ngangenin, Dad!” Madeline berkata cepat.
Gale tertawa, lalu duduk di samping Madeline. “Kamu menyukai ruangan ini, kan? Aku menantikan hari di mana kamu akan mengambil alih semua ini dan aku bisa menikmati masa tuaku dengan tenang.”
“Jangan terburu-buru, Dad. Walaupun aku harus patuh pada perjanjian kita, tapi tolong beri aku tambahan waktu sedikit lagi.” Madeline menatap ayahnya penuh permohonan.
Tiga tahun yang lalu, Madeline meninggalkan rumah dan kenyamanan kasih sayang keluarganya dengan perjanjian : dia harus kembali dan menggantikan ayahnya memimpin perusahaan jika usahanya untuk memperjuangkan cinta Ian Bastian tidak berhasil.
Sekarang Ian mendorongnya pergi demi wanita lain, dan ini menjadi bukti kegagalannya. Dan sesuai perjanjian, dia harus kembali.
“Kamu meminta tambahan waktu lagi untuk apa, Madeline? Jangan bilang kalau kamu berencana kembali untuk mengemis cinta laki-laki brengsekk itu.”
“Tentu saja tidak, Dad,” Madeline menjawab sambil tertawa renyah. “Dad, aku ingin kembali untuk membereskan urusanku dengan Ian. Sampai hari ini aku belum menerima akta cerai. Jadi aku harus memastikan dia telah mengurusnya dan memberikannya padaku.”
“Rencananya kapan kamu kembali?”
“Paling lambat besok, Dad.”
“Lalu apa rencanamu?”
“Aku ingin bekerja di kantor cabang perusahaan kita.”
“Oh. Aku akan menghubungi Ronny untuk mengatur posisi pimpinan untukmu. Ini kesempatan kamu belajar memimpin perusahaan, sayang,”
“Eeh, jangan, Dad! Biar aku jadi staf biasa dulu. Aku tidak ingin urusanku terganggu dengan urusan perusahaan. Aku mau fokus pada penyelesaian masalahku dulu, Dad.”
Gale Bahrany menatap putrinya dengan penuh cinta. Tidak ada kata tidak untuk semua permintaan putri kesayangannya ini.
“Aku selalu menganggap kamu masih kecil, Maddi. Selalu khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padamu. Tapi kamu sudah dewasa. Aku hanya berharap, pengalaman buruk ini menjadikanmu lebih bijaksana.” Ucap Gale sambil merangkul bahu Madeline.
Madeline mengangguk kuat-kuat. “Pasti, Dad. Aku sudah belajar dari pengalaman.”
“Tapi aku tetap akan meminta Daniel untuk menjagamu.”
“Ok. Tidak apa-apa, Dad. Keberadaan Daniel juga sangat membantu memuluskan rencanaku,” Kata Madeline riang.
Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir lagi, jadi dia membiarkan ayahnya menambahkan sedikit pengaturan dalam rencananya.
***
Carla baru kembali dari kantor Ian. Dia merasa puas bisa memulai aksi balas dendamnya pada Madeline. Dan dia juga bisa memulai rencananya untuk merebut cinta Ian kembali.
Carla yakin, dia akan memenangkan pertempuran ini. Dia adalah wanita yang pernah Ian cintai. Cinta pertama pula. Sementara Madeline, Ian tidak memiliki perasaan apa-apa padanya.
Carla mengajak Moren dan Rina berbelanja, yang langsung disambut oleh kedua wanita itu dengan sukacita.
Mereka sudah menunggu di depan butik milik Veronica Arche yang sangat terkenal.
Carla menghampiri kedua wanita itu dengan senyum lebar.
“Ini adalah butik terbaik dan termahal. Jadi, silakan pilih apa saja yang kalian sukai. Aku traktir kalian.” Kata Carla sombong.
“Asyik!”
“Asyik! Kamu memang hebat, Carla!”
Kedua adik Ian itu langsung bersorak gembira.
Veronica Arche adalah seorang model papan atas, yang saat ini sedang menjadi trendsetter mode dan kecantikan. Semua orang tahu, barang-barang yang dia jual di butik ini dan dalam siaran livenya adalah barang branded dengan kualitas terbaik.
Setiap kali dia membuka butik dan penjualan onlinenya, antrian pembeli sudah berderet panjang. Demikian juga saat ini.
Carla dan kedua adik Ian pun memuaskan keinginan belanja mereka. Mereka membeli banyak gaun pesta dan beberapa pasang sepatu serta aksesoris. Jumlah tagihan yang harus mereka bayar membuat tercengang.
Moren dan Rina menatap Carla khawatir.
“Jangan khawatir. Aku kan sudah janji akan mentraktir kalian belanja apa saja yang kalian inginkan.” Kata Carla sambil tersenyum manis. Dia mengeluarkan kartu berwarna hitam untuk membayar. Dia merasa puas melihat kasir memproses p********n, setelah itu mengembalikan kartu itu sambil mengucap terima kasih.
Senyum lebar menghiasi wajah petugas kasir. Dia membayangkan bonus besar yang akan dia dapatkan melalui penjualan ini.
Keberuntungan sedang berpihak padanya.
Carla menatap kartu hitam itu dengan rasa puas sebelum memasukkannya kembali ke dalam dompetnya.
Mereka telah menghabiskan sangat banyak uang untuk belanja kali ini. Ian pasti akan sangat terkejut mengetahui transaksi ini. Biar saja. Toh ini yang dia harapkan.
***
Carla duduk bersama Vonny, Rina dan Moren, di ruang keluarga yang nyaman. Dia melanjutkan rencananya dengan hati-hati, memastikan bahwa mereka semua terjebak dalam jaring kebohongannya.
“Tante Vonny, sepertinya Ian semakin tertekan akhir-akhir ini,” kata Carla dengan suara manis. “Aku khawatir semua ini bisa meengaruhi kesehatannya, Tante.”
Vonny menghela napas, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Aku tahu, Carla. Ian terlihat sangat stres belakangan ini, dan semua masalah ini telah dimulai sejak Madeline pergi.”
Rina, yang duduk di sebelah ibunya, menyetujui. “Benar, Bu. Madeline meninggalkan banyak kekacauan untuk kita semua.”
Carla menatap Vonny dengan penuh simpati. “Mungkin, jika kita bisa membuat Ian mengerti bahwa Madeline bukan wanita yang baik untuknya, dia bisa melupakan wanita itu. Dengan begitu dia akan merasa lebih tenang dan fokus kembali pada bisnis keluarga kita.”
Vonny mengangguk pelan, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. “Aku selalu tahu bahwa Madeline bukan pilihan yang tepat untuk Ian. Mungkin, dengan sedikit dorongan, Ian akan melihat hal yang sama.”
“Bagaimana jika kita membuat rencana agar Ian bisa melihat betapa Ibu sangat terpukul oleh semua ini?” usul Carla, memberikan ide yang sudah muncul di benaknya. “Mungkin Ibu bisa berpura-pura sakit, agar Ian sadar betapa situasi ini mempengaruhi kesehatan Ibu.”
Moren, yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya angkat bicara. “Ibu, itu mungkin ide yang bagus. Ian selalu mendengarkan Ibu. Jika dia melihat Ibu sakit, dia pasti akan melakukan apa pun untuk membuat Ibu bahagia.”
Vonny tampak ragu sejenak, namun akhirnya dia setuju. “Baiklah, kita akan coba lakukan itu. Demi Ian, dan demi kebaikan keluarga kita.”
Carla tersenyum puas, merasa rencananya semakin mendekati keberhasilan. “Terima kasih, Tante. Aku akan berada di sini untuk mendukung kalian.”
Sementara itu, Carla terus memutar pikirannya, menyusun langkah-langkah berikutnya untuk memastikan bahwa Madeline tidak akan pernah kembali ke dalam kehidupan Ian. Dia tahu, jika bisa membuat Ian percaya bahwa Madeline adalah akar dari semua masalah, maka jalannya untuk menjadi nyonya Bastian akan semakin mulus.
Dengan perasaan penuh kemenangan, Carla merasa bahwa semuanya berjalan sesuai rencana. Kini tinggal menunggu waktu hingga Ian akhirnya menyerah pada tekanan dan setuju untuk menikah dengannya. Bagi Carla, ini bukan sekadar memenangkan hati Ian, melainkan juga pembalasan dendam yang manis atas semua yang telah dilakukan Madeline padanya.
Carla mengingat kembali malam itu dengan jelas, ketika Madeline berdiri di tengah pesta, memegang bukti yang menghancurkan rencana yang telah disusunnya dengan susah payah. Malam itu, Madeline bukan hanya merusak reputasinya di hadapan Ian, tetapi juga mempermalukannya di depan seluruh keluarga Bastian dan para tamu undangan. Kemarahan Carla membara setiap kali dia mengingatnya.
“Madeline Seana,” gumam Carla sambil menggenggam erat cangkir teh di tangannya, seolah membayangkan wajah Madeline yang tersenyum penuh kemenangan. “Gadis desa miskin itu akan membayar untuk semua yang telah dia lakukan padaku.”
Di pikirannya, Carla tidak hanya ingin memastikan bahwa Ian melupakan Madeline sepenuhnya, tetapi juga ingin melihat Madeline kehilangan segalanya. Dia ingin Madeline merasa tak berdaya, sama seperti yang dirasakannya malam itu.
Carla kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menyusun rencana berikutnya. Dia tahu bahwa untuk menghapus Madeline dari pikiran Ian, dia harus membuat Ian percaya bahwa Madeline adalah akar dari semua masalah yang dihadapinya saat ini.
“Gadis itu harus menghilang dari pikiran Ian,” katanya kepada dirinya sendiri. “Jika Ian terus mengingat Madeline, dia tidak akan pernah bisa melanjutkan hidupnya bersamaku.”
Carla memutuskan untuk memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya. Dia harus memastikan bahwa Madeline tidak bisa kembali ke kehidupan Ian, baik secara pribadi maupun profesional. Dengan rencana yang matang dan tekad yang kuat, Carla tahu bahwa ini bukan hanya soal memenangkan Ian, tetapi juga soal memulihkan harga dirinya yang telah dirusak oleh Madeline.
Dia merencanakan langkah-langkah berikutnya dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap gerakannya akan mengarahkan Ian lebih jauh dari Madeline. Dia bertekad untuk memastikan bahwa bayangan Madeline akan memudar, dan hanya ada satu wanita yang akan berdiri di samping Ian—Carla Ellis.
‘Ini adalah permainan yang aku harus menangkan,’ pikirnya dingin. ‘Dan aku tidak akan berhenti sampai Madeline sepenuhnya lenyap dari hidup Ian.’
Dengan keputusan ini, Carla bersiap untuk menjalankan rencana berikutnya, yakin bahwa kemenangan akan segera menjadi miliknya.
Sementara itu, di kantornya, Ian terkejut melihat notifikasi transaksi yang sangat besar.
Dia teringat pernah memberikan kartu ATM berwarna hitam pada Madeline.Namun seingatnya, Madeline menolak kartu itu, namun Ian sudah tidak ingat bagaimana setelahnya.
Rupanya Madeline tetap mengambil kartu itu.
Ian tersenyum sinis. ‘Pura-pura tidak butuh, tetapi sekarang dia melakukan transaksi bernilai fantastis.’
Kesan Ian terhadap Madeline pun semakin buruk.
Namun Ian terus berusaha mencari Madeline. Dia ingin berbicara dengan wanita itu dan menghentikannya mengganggu perusahaannya. Madeline benar-benar menantang kesabaran Ian.
Saat pulang ke rumah, Ian membongkar lemari dan laci di kamar mereka untuk mencari data Madeline, siapa tahu dia bisa menemukan petunjuk di mana Madeline berada.
Di dalam lemari, Ian tidak menemukan apa yang dia cari. Tidak ada apapun tentang Madeline di sana, selain pakaian yang Ian belikan. Madeline meninggalkan semuanya di sana.
Dengan dahi mengerut, Ian mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Hanya laci meja rias yang belum dia periksa.
Dia membungkuk, menarik laci paling atas, masih berharap akan menemukan sesuatu. Setidaknya Madeline menyimpan seberkas surat apalah di sana, yang bisa memberikan sedikit petunjuk untuk melacak keberadaannya.
Sepasang mata Ian yang mengamati dengan seksama terbelalak begitu laci terbuka. Wajahnya seketika menegang melihat isi laci paling atas yang terpampang di hadapannya.